Chapter 9

3.6K 362 39
                                    

Disclaimer: 🔞

Dokter Andi mengambil tablet dan stylus pen-nya dan menatap Al dan Andin.

"Baik, mari kita bicarakan apa yang terjadi malam itu." Kata dokter Andi. "Tadi Pak Al sudah menceritakan sudut pandangnya. Bagaimana dengan Anda, Bu Andin?"

"Sejujurnya saya ga bisa menggambarkan dengan kata-kata bagaimana perasaan saya waktu itu." Kata Andin menundukkan kepalanya, bibirnya gemetar. "Saya merasa benar-benar sakit secara emosional. Saya merasakan rasa sedih yang mendalam, benci pada diri sendiri, rasa bersalah, dan yang paling utama rasa takut kehilangan."

Dokter Andi tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya duduk disana dengan sabar menunggu Andin mencurahkan perasaannya.

Andin menghela napas dalam-dalam dengan gemetar. "Setelah Mas Al pergi, saya benar-benar ketakutan kalau Mas Al ga akan kembali untuk selamanya and my body started to shut down." Ungkap Andin, merujuk kepada keadaan tubuhnya yang tidak responsif saat itu.

Dokter Andi mengangguk dan menatap Andin dengan tatapan matanya yang ramah dan menyiratkan rasa simpati. "Tubuh yang tidak responsif biasanya terjadi akibat respon atas ketakutan yang berlebihan. Saat merasa takut, orang akan merespon dengan tiga cara yaitu melawan, lari, atau membeku—fight, flee, or freeze—dan waktu itu Bu Andin meresponnya dengan cara freeze yang membuat semua emosi dan gerakan dibekukan atau dimatikan sementara dengan harapan Anda tidak lagi merasakan ketakutan tersebut."

Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat sebelum dokter Andi melanjutkan. "Tadi Pak Al menyinggung tentang kalian yang berhubungan intim waktu itu di saat emosi kalian masih sama-sama kacau." Dokter Andi menatap Al dan Andin bergantian. "Boleh saya tau siapa yang memulai?"

Hening. Tidak ada yang menjawab. Andin melirik Al yang duduk disampingnya dan merasa wajahnya memanas.

"Saya tau topik ini membuat kalian tidak nyaman." Kata dokter Andi kemudian, menyingkirkan tabletnya. "Tapi hal ini sangat penting untuk dibicarakan. Dulu kita pernah mengungkit hal ini sedikit. Tentang kalian yang berhubungan seks beberapa kali sehari dan kemungkinan seks digunakan sebagai senjata untuk menyelesaikan masalah. Apa sampai sekarang frekuensi seks nya masih seperti itu?"

Wajah Andin semakin memanas.

Ibu jari Al membelai punggung tangan Andin. "Iya." Kata Al singkat.

Dokter Andi melirik Al. "Seperti yang saya katakan sebelumnya, penting untuk mendiskusikan kehidupan seksual kalian." Kata dokter Andi pada Al. "Tadi Anda sudah mengungkapkan kalau Anda memendam amarah yang besar pada Bu Andin. Oleh karena itu, kita perlu membahas kemungkinan bahwa seks juga sering digunakan sebagai cara untuk meluapkan amarah tersebut. Dan sebaliknya..."

Dokter Andi mengalihkan tatapannya kepada Andin. "Bu Andin memendam rasa bersalah dan rasa takut kehilangan. Dan oleh karena itu, akan cenderung menggunakan seks untuk meredam amarah suami Anda sebagai cara untuk mempertahankan hubungan. Bisakah kalian melihat masalahnya disini?"

Hening sejenak sebelum dokter Andi menatap Al dengan matanya yang tajam dan cerdas. "Anda akan cenderung berhubungan seks setiap kali Anda marah untuk meluapkan emosi Anda sementara Bu Andin tidak akan menolak dan menerima apapun yang Anda lakukan karena takut ditinggalkan. Masalahnya adalah angry sex atau seks yang dilakukan pada saat marah cenderung berbahaya karena Anda bisa saja melukai Bu Andin tanpa sengaja dengan permainan seks yang kasar. Jadi, apakah Anda masih berpikir tidak ada yang salah dengan kehidupan seksual kalian?"

Al menggosok wajahnya dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Dia duduk disana, tidak mampu mengungkapkan begitu banyak hal yang berkecamuk dibenaknya. Akhirnya dia menghembuskan napas dengan kasar dan berkata, "So, what should we do?"

Aldebaran, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang