Prologue

3.6K 350 22
                                    

Al baru saja selesai meeting di kantornya saat Kiki meneleponnya.

"Ada apa, Ki?"

"Mas Al... Mbak Andin, Mas. Mbak Andin..." Suara Kiki terdengar panik dari seberang telepon.

"Andin kenapa, Ki?" Tanya Al cemas.

"Kiki ga tau, Mas. Tapi waktu Kiki sama Mbak Mirna baru balik dari pasar, Kita liat Mbak Andin keluar rumah sambil nangis lalu pergi buru-buru naik taksi. Dan waktu kita ke dapur, semua piring, gelas, dan barang-barang yang ada dapur pecah berantakan di lantai, Mas." Kata Kiki terengah-engah.

Al terhenyak mendengar cerita Kiki. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Waktu dia pamit ke kantor tadi pagi, Andin terlihat normal seperti biasa. Atau jangan-jangan ada sesuatu terjadi pada calon bayi mereka?

Ga, Al. Lo ga boleh berpikiran yang macam-macam. Andin sama bayi lo baik-baik aja.

Dengan pikiran berkecamuk, Al menutup telepon dari Kiki dan langsung menghubungi Andin tapi handphone Andin tidak aktif.

Al menelepon teman-teman Andin sesama dosen, tetapi jawaban mereka semua sama kalau Andin tidak ada di kampus. Al menelepon dokter Erin, dokter kandungan Andin, dan menanyakan apakah Andin ada disana tetapi dokter Erin bilang kalau Andin sudah meninggalkan klinik dua jam yang lalu dan tidak ada masalah dengan kandungannya.

Al kembali mencoba menghubungi handphone Andin tetapi hasilnya tetap sama. Al kemudian menelepon Michi, Katrin, Rendy, Angga, dan bahkan Mama Rossa yang sekarang sedang berada di Penang untuk menghadiri pernikahan salah satu anggota keluarga, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang tahu keberadaan Andin.

Al keluar dari kantor dan menyetir tak tentu arah merasa cemas, khawatir, gelisah, marah, dan kehilangan akal sehatnya.

Dimana Andin? Batin Al berteriak. Bayangan Andin yang terluka atau pingsan disuatu tempat nyaris membuatnya gila.

Al menelusuri jalanan ibukota selama berjam-jam sambil terus mencoba menghubungi Andin dan menanyakan update dari orang-orang terdekatnya tentang keberadaan Andin. Ketika hari sudah gelap, Al memutuskan bahwa satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah menunggu. Jadi Al pulang kerumah dan menunggu Andin disana.

Sudah pukul sebelas malam dan Andin belum juga pulang.

Al pergi ke luar, duduk sendirian di bangku di halaman belakang dengan perasaan kalut dan marah, hanya ditemani dengan cahaya lampu temaram dari pepohonan. Rasa khawatirnya berubah jadi amarah seiring dengan berjalannya waktu dan dia melampiaskannya dengan meninju pohon yang ada di halaman belakang dengan brutal.

Beberapa saat kemudian, Al mendengar suara klakson mobil dan gerbang yang dibuka dan langsung berlari ke halaman depan dan melihat Andin keluar dari taksi dan berjalan memasuki pintu rumah. Andin bahkan tidak memiliki kesempatan untuk terkesiap sebelum Al meraih bahu Andin dan mencengkeramnya. Al kehabisan napas, dia tidak bisa berbicara selama beberapa saat.

"Dari mana saja kamu?" Al tercekat, menarik Andin dalam pelukannya. "Saya udah seperti orang gila karena khawatir." Al menekan kepala Andin ke dadanya. "Ya Allah, Ndin... Kemana saja kamu?" Tanya Al gemetar.

"Lepasin..." Perintah Andin dengan suara dingin yang tidak Al kenal. "Lepasin sekarang juga!"

Al melepaskan pelukannya dan melangkah mundur kebelakang mendengar nada suara Andin.

Andin menatap Al dengan tatapan penuh amarah. Dia mengenakan gaun merah pendek seksi dan stiletto yang juga berwarna merah. Mata dan wajahnya tampak bengkak seperti menangis selama berhari-hari dan rambutnya yang tadi pagi masih panjang melewati bahu sekarang dipotong pendek sebatas leher. Al tidak mengenali wanita yang sedang berdiri dihadapannya ini. Wanita yang menghilang seharian dan baru pulang ke rumah pada pukul dua belas malam dengan mengenakan pakaian seksi dan stiletto.

Aldebaran, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang