Tiga

58 9 0
                                    

Wildan berlari dari dapur ke ruang tengah  mengangkat panggilan dari telpon rumah. Entah siapa di siang hari yang panas ini menghubungi rumahnya. Wildan segera mendekatkan ke daun telinganya, rasanya saat itu juga ingin kesal karena menggangu waktunya membuat air minum dingin untuk dinikmati.

Belum sempat kata atau kalimat memakinya keluar, dia mendengar suara asing di telinganya. Awalnya dia pikir kerjaan Agil atau Bastian yang tidak ada kerjaan mengganggunya, seperti itulah mereka jika Wildan tidak bisa dihubungi dari ponselnya. Tapi, sepertinya kali ini bukan dua mahluk tersebut. Wildan terdiam menunggu.

"Enak dong di antar," suara dari sebrang.

Tunggu. Sepertinya Wildan mengenali suara itu. Wildan mendekati telepon ke telinganya lebih dekat agar terdengar jelas suara sang penelepon.

"Gue di motor serasa pengen terbang," jawab Aulia, kakaknya. Wildan dapat menebak dengan yakin.

Ini pasti kerjaan kakaknya yang menelpon menggunakan telpon rumah yang jelas semua telpon rumah terhubung ke aliran telepon ruang tengah. Entah kakaknya yang dengan sengaja atau lupa memutuskan aliran panggilan hingga dengan bodohnya mereka sedang membicarakan Agil. Untung bukan mama dan papa yang mengangkat. Jika iya sudah pasti tamatlah riwayat Aulia.

Wildan masih mencuri pendengaran kakaknya dengan Laras. Lama-lama mungkin dirinya akan ilfeel mendengarkan semua pujian dari kakaknya untuk Agil sang Playboy kelas kakap.

Agil memang benar-benar gila. Entah pelet apa yang digunakannya hingga sang kakak atau Aulia bisa di mabuk asmara seberat ini.

Jadi selama ini yang kakaknya bilang pangeran manis adalah Agil? Oh, yang benar saja. Wildan menatap kamar Aulia di atas yang bersebelahan dengan kamarnya. Sepertinya Aulia lah yang gila, seperti tidak ada cowok lain di muka bumi ini. Jelas dia bisa mencari cowok lain, sekelas atau kakak kelasnya, ini malah menyukai adek kelas. Wildan geleng-geleng kepala.

"Oh ya, ntar lagi ya gue pengen turun bentar," pamit Aulia.

"Okay, gue tutup ya," hubungan terputus. Pintu kamar Aulia terbuka. Wildan dengan buru-buru meletakkan telepon dan segera naik ke atas.

Aulia melirik Wildan yang baru saja dari bawah menuju ke atas. Aulia menggerai rambutnya kebelakang karna menghalangi pandangannya.

"Dari mana dek?" tanya Aulia.

"Ha? Itu dari bawah habis nelepon," jawab Wildan lalu berlari kecil ke kamarnya dengan membawa satu gelas air es.

Aulia mengangguk lalu melanjutkan turun ke bawah. Beberapa detik kemudian, seperti menyadari sesuatu Aulia menghentikan langkahnya, apa Wildan bilang? Menelepon. Apakah Aulia sudah memutuskan aliran panggilan rumah?

Aulia segera berlari ke ruang tengah dan memeriksa telepon rumah. Aulia menepuk jidatnya dengan kuat.

"Astaga, gue lupa mutusin alirannya!" Aulia lalu berlari ke kamar Wildan dengan kencang layaknya mempunyai kemampuan lari cepat.

"WILDAN!" teriak Aulia sambil menggedor pintu.

"Apa?!" kesal Wildan membuka pintu.

"Lo nyuri pembicaraan gue ya?!" tuduh Aulia.

"Nggak,"

"Tunggu dulu!" Aulia menahan pintu dengan tangannya saat Wildan ingin menutup pintu.

"Boong!"

"Gue nggak nyuri tapi gue denger," jawab Wildan santai.

"Kok lu nggak bunyi-bunyi sih?!"

Wildan menatap Aulia kesal. Entah anugerah apa hingga dirinya harus menjadi adik Aulia yang mencintai sahabatnya sendiri.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang