LimaPuluhSatu

8 4 0
                                    

Aulia tidak mendapatkan hukuman untuk di skors, hanya saja dia harus mengganti rugi yang cukup besar. Aulia berjalan di koridor dan bertemu beberapa murid yang menyapa dengan kata-kata kasar, Aulia hanya diam berjalan sambil menunduk. Sampai saat ini pun murid yang lain masih belum bisa menerima kehadiran dirinya. Aulia sangat tertekan apalagi mengingat kejadian kemarin sangat tidak masuk akal.

Aulia sangat memahami dan mengerti. Dia juga menerima segala bentuk kekecewaan dan kemarahan mereka. Tapi, kali ini siapa dalang di balik semua ini harus segera ia ketahui.

"Bapak hanya ingin kamu mengakui kesalahan mu. Bukti rekaman sudah ada di depan." Pak Harto memutar rekaman yang terjadi kemarin sore pada Aulia. Pak Harto juga menerangkan beberapa yang mirip dengan Aulia, dari cara berjalannya saja sangat mirip.

Aulia terdiam sesaat, orang ini sangat membenci dirinya bahkan jaket yang sudah dibuangnya rela ia pungut kembali untuk di pakai.

"Tapi, pak. Itu beneran bukan saya." Aulia membela diri.

"Rekaman sudah jelas, buat apa kamu menyangkal?" tidak bisa berkata-kata, percuma saja dia membela diri. Aulia menarik napas dalam, kemudian mengangguk pelan.

Pak Harto menatap Aulia tidak percaya. "Saya melakukannya karena terpaksa pak." pengakuan itu tambah membuat pak Harto kesal.

"Kamu di jatuhi peringatan kedua, dan harus menjalankan hukuman, kamu tahu itu kan?" Aulia mengangguk setuju, sesuai kesepakatan Aulia akan meminta maaf dan mengakui semua kesalahan yang tidak ia lakukan didepan banyak orang.

"Jangan deket-deket situ, takutnya ketularan suka nyuri." mereka menggeser tempat duduk menjauhi meja Aulia, yang hanya bisa ia lakukan diam. Baiklah akan ia ikuti cara bermainnya.

"Pertama nyuri duit sama hp, sekarang malah nyuri punya sekolah. Kurang duit apa kurang kasih sayang lo? Gak di kasih sama orang tua?"

Aulia melirik pulpen yang baru saja Seno lempar yang tepat sasaran mengenai mangsanya. Masih kurang Seno melempar lagi Tipe-X lalu menatap tajam.

"Muka doang yang laki." ucapan Seno berhasil memancing emosi, Aulia menarik tangan Seno untuk berhenti membuat kegaduhan, Aulia hanya ingin belajar dengan tenang.

Seno menepis pelan tangannya dari cengkraman Aulia, ia kemudian kembali duduk dan menatap Aulia. Aulia masih diam hanya fokus pada buku yang sedang dibacanya. Seno seolah memberi gestur tubuh bertanya, gadis disebelahnya hanya menggeleng pelan. Seolah anak-anak yang lain hanya sebuah suara berisik yang nantinya juga akan diam.

Dan benar saja, selama beberapa menit akhirnya mereka diam, lelah terlalu banyak bicara dan bergosip. Tidak ada juga yang berani menyentuh Aulia, selagi masih ada Seno tidak ada satupun yang mau mencari masalah seperti Agil, mereka masih ingin melanjutkan sekolah.

Sekalinya bermain bersama Seno jangan harap akan terlepas, contoh saja Agil yang dihajar sampai babak belur padahal mereka sangat tahu Agil ikut olahraga bela diri tapi tetap salah kalah. Apalagi mereka, bisa-bisa tepar dibuat Seno.

"Kayaknya kita butuh rencana sesuatu deh." Ega mengusulkan, terlihat memiliki banyak ide di kepalanya.

Mereka terlihat biasa saja duduk nongkrong dan makan di kantin meskipun ada beberapa yang masih julid, setidaknya mereka bisa menikmati makan siang dengan tenang karna tidak ada satupun yang ke kantin untuk makan, mereka memilih makan di kelas.

"Rencana? Rencana apa?" Wildan terlihat sibuk dengan bakso yang sulit untuk di belah, hal yang paling dipikirkan olehnya adalah makan, manusia satu ini tidak pernah lepas dari kata lapar.

"Rencana party." Bastian ikut nimbrung kesal melihat Wildan yang tidak mendengarkan apa yang mereka bahas dari tadi.

Mario menepuk kepala Wildan dengan keras, meskipun jarak mereka berjauhan Mario dengan tangan panjangnya mampu menggapai kepala Wildan dengan sempurna dan memukulnya dengan sangat keras. Wildan yang mendapat pukulan keras menoleh dan baru menyadari sesuatu. Sepertinya dia belum konek dengan apa yang mereka bahas.

"Kok party?" kalo tadi Mario maka sekarang giliran Bastian yang memukul kepalanya.

"Lo berdua kenapa, sih?" kesalnya lalu membalas pukulan kedua temannya.

"Dari tadi kita bahas kakak lo, semua lo lupain kalo soal makan!" Laras ikut kelas dengan adik sahabatnya satu ini.

Wildan melirik, dari kanan ke depan lalu ke kiri, jika masih belum mendengarkan bisa dia prediksi beberapa menit kemudian akan dimakan hanya melalui tatapan saja. Dia berhenti menyuap dan mulai fokus mendengarkan.

"Kira-kira kasih nama apa ya, judulnya?" tanya Amel memegang pulpen dan buku untuk menulis rancangan mereka.

"Musuh dalam selimut." jawab Seno.

"Kenapa tuh?" tanya Laras tidak mengerti.

Seno dengan tampang menyebalkan nya membenarkan rambut kebelakang dan menatap mereka dengan serius. Kalau bukan karena Aulia yang mengajaknya untuk bergabung mereka tidak akan mau menerima Seno dalam meja ini. Mereka sangat ingin muntah detik itu juga melihat gaya Seno.

"Iyalah, apa coba kalo bukan musuh dalam selimut? Udah jelas pasti anak sini, sekolah ini."

Mereka semua mengangguk setuju. Benar apa yang dikatakannya. Tidak lain dan tidak bukan anak SMA Perdana 1. Musuh mereka ternyata teman mereka sendiri. Aulia jadi bertanya-tanya, siapa orang itu? Dan apa yang Aulia lakukan hingga membuat hidupnya tidak tenang melihat Aulia bahagia. Apakah sesuatu telah Aulia ambil darinya? Mereka semua diam, larut dalam pikiran masing-masing memikirkan cara untuk membuat jalan keluar dari masalah ini.

"Enak juga ya sepi, gak ada orang." Seno bersandar pada kursi sambil melipat kedua tangannya kebelakang.

"Itu sih, lo nya aja gak punya temen." Agil berusaha menahan tawa dari ujaran Wildan barusan. Sudah Agil jelaskan untuk Aulia ada pengecualian, meskipun berat rasanya ikut duduk dalam satu meja dengan Seno, dia tetap mau. Sesekali dia membuang muka, melihat wajah Seno benar-benar menggambarkan kejadian yang membuatnya trauma.

Seno yang kesal mendengar ujaran Wildan melemparnya dengan sedotan. Dalam beberapa detik mereka semua sudah bermain lemparan dan berlarian layaknya anak kecil.

Aulia hanya tersenyum dan sesekali tertawa melihat tingkah laku temannya. Berkat mereka Aulia masih bisa merasakan nikmat Tuhan yang diberikan. Seolah masalah yang menimpa dirinya hilang begitu saja.

Mereka semua, masih mau menerima dan membantu Aulia. Ini bukan pertemanan tapi ini cinta. Aulia dapat merasakan cinta tulus yang mereka berikan untuknya. Masa-masa seperti ini banyak dirindukan oleh mereka yang sudah lulus. Tidak ada masa terindah selain masa sekolah.

Anak SMA ibaratkan di tengah-tengah, mereka bukan anak kecil tapi mereka juga bukan orang dewasa. Sesekali kita boleh bermain sesukanya, itu bukan kekanakan tapi itu cara kita mengekspresikan perasaan. Itu bukan seperti anak kecil tapi itulah caranya bermain, menikmatinya dengan asik. Sekalipun dipaksa untuk bersikap sesuai umur juga mereka bisa. Berada ditengah-tengah seperti ini sangat melelahkan bagi mereka yang merasakan. Seperti itulah yang Aulia tangkap saat menonton drama Korea berjudul All Of Us Are Dead.

Tidak asik rasanya hanya jadi penonton, Aulia akhirnya ikut bermain dan melempar es batu kepada yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak asik rasanya hanya jadi penonton, Aulia akhirnya ikut bermain dan melempar es batu kepada yang lain. Ada yang membuat Aulia semakin tertawa kencang, melihat Agil dan Seno yang tidak sengaja melempar satu sama lain, setelah itu membuang muka dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. Mereka ber-sepuluh sangat senang bermain sampai akhirnya bapak kantin menegur. Bersamaan dengan itu bel masuk berbunyi, sebelum akhirnya diceramahi mereka lansung berhamburan menuju kelas masing-masing.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang