EmpatPuluhLima

7 4 0
                                    

Aulia perlahan mendekati meja kepsek. Terlihat agak ragu dan takut, jujur saja sampai saat ini dia belum tahu apa penyebabnya di panggil. Aulia menatap wajah pria paruh baya di depannya dengan wajah lelah, entah lelah atau apa Aulia merasakan mimik wajahnya menandakan hal yang sangat tidak ia sukai.

Setelah selesai dengan urusan buku di depannya kepsek melirik Aulia, membuang napas pelan sebelum akhirnya memulai.

"Satu ini tidak bisa ditoleransi, Aulia. Ini bukan lelucon."

"Maksudnya, pak? Saya nggak ngerti," Aulia mengerutkan dahinya.

"Foto kamu ada di Mading sekolah dengan pakaian tidak senonoh, kuncinya hilang dan sudah berusaha kami tutup tapi, fotonya sudah tersebar di beberapa grub chat—" belum habis kepsek menerangkan dia sudah berdiri duluan, pamit dan akhirnya berlari tanpa menghiraukan teman-teman yang ikut berlari dan meneriakinya untuk berhenti.

***

Agil mendengar suara anak kelasnya yang berbisik-bisik. Tanpa melihat pun Agil tahu mereka sedang membicarakan dirinya. Agil tetap diam, menyimpan tas di atas meja dan tidur sembari menunggu guru datang. Awalnya suara mereka tidak Agil hiraukan, lagi pula sudah terbiasa dibicarakan didepannya lansung. Makanan sehari-hari mendengar hal yang tidak ia lakukan.

Menurutnya pendapat orang lain tidak penting, selagi tidak benar dan tidak membuatnya rugi Agil tidak perduli. Tapi, dari banyaknya mereka yang berbicara dua percakapan yang paling terdengar dan jelas di kedua telinganya.

"Fotonya di pajang di Mading, sengaja banget biar dilihat banyak orang kalo tubuh dia seksi."

Matanya lansung segar tubuhnya ikut tegap dan melirik orang yang baru saja berbicara seolah tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

"Tau kok, Gil. Aulia cantik."

Agil mencerna, sesaat kemudian dia menangkap sesuatu dari yang mereka bicarakan. Dia berlari menuju Mading, sebelum sampai dia berhenti dan membawa satu batu berukuran sedang yang ia temukan. Tanpa pikir panjang dan hal yang akan dia diterima setelah memukul kaca Mading hingga pecah.

Tidak perduli membiarkan suara kepala sekolah yang terus memberi instruksi untuk tetap berada di kelas dan jangan sedikitpun untuk keluar jika tidak akan di kenakan sanksi. Dia terus memukul sampai sedikit celah terlihat. Kaca Mading cukup tebal dan butuh batu lebih besar untuk bisa pecah dia butuh mengeluarkan banyak effort untuk mendapatkan celah.

"Buka, sialan!" makinya pada kaca, tentu kaca itu tidak akan mendengarkannya.

Kesal dengan tenaga yang dikeluarkan tidak cukup, Agil melempar batu dari jarak jauh, lobang semakin besar, celah semakin nampak. Agil menggunakan tangannya untuk menarik kaca yang menghalangi matanya. Darah yang keluar tidak membuatnya berhenti, dan akhirnya kertas yang tertempel sangat rapi berada di tengah-tengah kertas lain berhasil ia ambil.  Kertas yang juga kena darah baru saja ia pegang sudah dirampas. Dia melihat Aulia yang masih mengatur napas terdiam menatap wajah dirinya di dalam kertas putih yang terkena bercak darah.

Dengan emosi yang tidak dikendalikan kertas di robek kecil seperti debu lalu dibuangnya dan diinjak dengan penuh emosi.

"Gue gapapa."

Kata itu semakin membuat Aulia terisak, darimana nya dia baik. Aulia menarik tangan Agil, mengelap darah yang masih menetes menggunakan baju bagian bawahnya. Tidak perduli sakit yang Agil rasakan Aulia tetap menghapus darah yang melumuri tangan pacarnya.

Setelah darah berhenti menetes, Aulia mengeluarkan selembar tisu membalur luka Agil untuk menghentikan darah kembali keluar. Membiarkan bajunya sudah berwarna merah, masih terisak menatap luka Agil sambil bergetar. 

Wildan yang baru sampai berlari mendekati Aulia memeluknya dengan khawatir, Aulia dapat merasakan tubuh Wildan sekarang bergetar ketakutan.

"Ada gue, kak." ucapnya menengangkan padahal dirinya sendiri bergetar hebat.

"Fotonya juga tersebar di grub." Bastian baru sampai memberikan info yang baru dilihatnya.

Wildan lebih dulu berlari disusul, Mario, Bastian, Danial, dan anak cewek lainnya. Tanpa berkata mereka sudah tahu untuk membagi tugas, masing-masing berlari ke kelas, mengecek satu persatu ponsel, tentu mereka menyimpan foto itu untuk pribadi.

Dengan gesit mereka memeriksa ponsel anak SMA Perdana 1 yang jumlah siswanya tentu bukan sedikit. Aulia sendiri masih berdiri mematung menangis, Agil dengan sabarnya tetap menjaga Aulia di sebelahnya.

Suasana SMA Perdana 1 sangat riuh dengan sorakan dan teriakan dari banyak murid. Beberapa bahkan melempari dengan kertas dan baru kerikil menghakimi Aulia begitu parah tanpa ampun.

"Maaf," ucapnya lirih.

"Maafin gue, Gil." Aulia mengangkat wajahnya menatap Agil. Menatap pria dengan wajah pucat dan mata memerahnya, pria itu menggeleng memberinya tahu bahwa ini bukan kesalahannya. Rasa sakit yang sekarang Agil rasakan bukan rasa sakit dari tangannya, sakitnya datang saat melihat Aulia terluka, hati dan pikiran Aulia terluka, Agil tahu.

Aulia kembali di panggil ke kantor setelah namanya disebut kembali dia diberi skorsing selama beberapa hari dan dia diizinkan pulang hari ini untuk beristirahat. Sebelum pulang, dia sempat menghubungi Wildan. Hanya satu nomor itu yang dikirimkannya pesan, setelahnya dia menonaktifkan ponselnya lalu pulang memesan ojek.

Dia meninggalkan tas di sekolah, pulang secara mengendap-endap dan bersembunyi dari teman-temannya, terutama Agil pria yang paling dihindarinya untuk bertemu. Dia sudah membuat banyak masalah untuk Agil, kali ini dia ingin sendiri dan tidak merepotkan Agil. Dia berpikir mereka butuh waktu untuk sendirian, Agil juga sepertinya begitu.

Aulia tidak meminta untuk di antar ke rumah, dia malah memilih datang ke sebuah tempat, dia naik ke lift memencet tombol nomor yang di tuju nya. Saat sampai di depan pintu dia termenung sebentar. Memikirkan kenekatan dirinya untuk masuk, sangat tidak sopan rasanya masuk ke dalam meskipun tuan rumah sudah mengizinkan bahkan terang-terangan memberikan sandi pintu.

Akhirnya Aulia memilih menekan sandi dan menampilkan kondisi ruangan yang gelap. Dia menyalakan senter dari ponsel, mencari tombol saklar untuk di hidupkan.

Setelah hidup dia memperhatikan sekitar, baju berserakan, bungkus makanan yang menumpuk di tempat sampah, dan kodisi rumah yang benar-benar berantakan. Aulia mulai membereskan dari mengumpulkan baju yang tergeletak di sembarang tempat, lanjut mengumpulkan sampah. Di atas kasur, dibawah kolong, di tempat TV dan dilantai. Lanjut menyapu dan mengepel, entah berapa lama rumah ini tidak dibersihkan.

Selesai mengepel Aulia berjalan ke arah dapur, banyak piring kotor menumpuk. Sambil mencuci baju di mesin cuci Aulia mencuci piring sambil mendengarkan musik dengan salon box yang terpajang rapi di dekat tv, benda itu satu-satunya barang yang tidak kotor. Seno sepertinya sering menggunakan box itu karena dia seorang pecinta musik.

Aulia tipe orang tidak suka berantakan, kotor dan itu sarang penyakit. Rasanya jika dia tinggal dalam keadaan kotor seperti ini bisa saja dia sakit dalam beberapa hari.

Selesai mengerjakan semua Aulia mengistirahatkan tubuhnya ke atas kasur, satu jam lebih membersihkan ruangan cukup luas ini terbilang cepat, tidak menyangka bisa secepat ini membersihkannya sendiri.

Aulia merasa perutnya keroncongan, dari pagi belum sarapan hingga sore begini membuat Aulia lemas, dia menengok lemari di sebelahnya, mengambil baju Seno berniat untuk mandi.

Tanpa persiapan Aulia memilih untuk tidur di sini, sebagai gantinya dia juga sudah membersihkan rumah ini, selagi Seno belum sadarkan diri dia ingin menginap di sini sendiri.

Habis mandi perutnya terus berteriak meminta makan, Aulia membuka kulkas dan tidak mendapatkan apapun. Ternyata isinya kosong hanya ada beberapa sayur yang sudah busuk. Malas untuk memesan, Aulia memilih tiduran di atas kasur sambil menonton TV.

Aulia juga tipe orang malas, tidak ingin memperibet hidup jika tidak ada lebih baik tidak usah makan, dengan baju yang kebesaran sore itu Aulia tertidur dengan tv menyala dan perut lapar, menurutnya rasa lapar akan hilang saat dibawa tidur.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang