Sebelas

23 6 4
                                    

Bunyi lonceng masuk sepertinya itu tidak ada apa-apanya di telinga Agil. Lelaki itu masih setia di kedai sambil menghisap sebatang rokoknya yang tinggal sedikit. Dandanannya selalu saja begitu. Acak-acakan.

Agil masih santai menghisap rokok sambil melamun duduk di kursi. Kedai pak Mamad yang tergeletak tepat di sebrang sekolahnya. Tidak payah untuk membolos karna jaraknya yang begitu dekat. Selain tokoh ini toko kecil guru-guru juga malas untuk menyebrang.

Entah apa yang dipikirkan pria itu. Pak Mamad memanggilnya saja tidak ia hiraukan sampai akhirnya pak Mamad datang menepuk bahunya.

"Belum masuk?" tanya pak Mamad.

Agil tersadar. "Eh udah masuk ya pak?" Agil terlihat gegabah memasukkan rokoknya ke saku Hoodie lalu membayar kopi yang tadi dipesannya.

"Lain kali ganti rokok, setiap ngerokok melamun terus," tegur pak Mamad.

Agil tertawa. "Biasa pak, kalo ngerokok itu harus dirasain baru nikmat,"

"Mantap," kata pak Mamad. Agil balas mengangguk lalu izin pergi.

Pak Mamad hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Walaupun terlihat berandalan begitu yah nyatanya ada sifat Agil yang membuat orang betah didekatnya.

Agil akhirnya berhasil meloncat setelah sudah payah memanjat pagar samping sekolah. Kalo di depan sudah ada satpam penjaga gerbang. Agil mengibas celana abu-abunya yang terlihat kotor. Lalu mengibas tangannya yang terkena tanah. Mata Agil melotot sebelum akhirnya terdengar cengiran kuda khas miliknya muncul.

Didepannya berjarak sekitar satu meter sudah ada pak Harto sambil melipat kedua tangannya di dada. Menatap Agil sambil geleng-geleng.

"Eh bapak,"

"Macet dijalan? Atau jam dirumah kamu eror lagi?"

"Bapak salah," Agil ngeles.

"Terus?" tanya pak Harto berkacak pinggang.

"Saya lupa kalo dirumah saya nggak punya jam," jawabnya cengengesan.

"Alasan terus kamu. Sekarang keliling lapangan sepuluh kali, kalo sudah berdiri di depan tiang bendera!" titah beliau.

Entah darimana guru satu ini tahu tempat biasanya untuk masuk ke sekolah. Yang jelas Agil sudah pikirkan bahwa guru ini pasti sudah memperkirakan itu semua. Mulai dari pintu belakang yang sudah dipenuhi kursi bekas jadi susah untuk terbuka. Pintu dekat kantor pasti tidak mungkin apalagi pintu depan. Sudah jelas Agil pasti akan lewat sini.

Agil berjalan melewati pak Harto dengan setengah berlari untuk mencapai lapangan sekolah. Tak perlu lama Agil sudah mulai berlari mengelilingi lapangan. Setelah sepuluh kali putaran Agil akhirnya berdiri disebelah Mario, rupanya sahabat yang merupakan kakak kelasnya itu juga terlambat.

"Terlambat juga lo?" tanya Agil mulai hormat didepan tiang.

"Kesiangan gue, lo ngapain juga?"

"Itu mah hobi gue," jawab Agil.

Mario tertawa. "Bener juga ya, sampe dua tahun lo tinggal kelas gara-gara hobi itu,"

"Sengaja biar gue bisa cari jodoh dulu,"

Mario tertawa. "Eh Gil, itu bukannya Aulia ya?" tanya Mario menunjuk ke arah dua gadis yang berjalan di koridor sambil memperhatikan mereka.

Aulia dan Laras sengaja memelankan jalan untuk bisa memastikan orang yang sedang berdiri bak ikan asin di depan lapangan itu. Dan ternyata itu benar Agil, pria itu melambai.

"Itu hoodie milik lo bukan si?" Laras menunjuk kearah lapangan. Aulia ikut memandangnya. Iya itu hoodie miliknya yang dipinjam Agil waktu itu sampai sekarang belum ia kembalikan.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang