EnamPuluhEmpat

7 3 0
                                    

Aulia pulang dengan jalan kaki, tidak lagi menoleh jalannya lurus ke depan. Selalu begitu prinsip yang Aulia pegang, tidak lagi menoleh ke belakang jika sudah maju ke depan. Sama sekali tidak ada rasa dendam. Memang sudah terjadi harus bagaimana lagi, untuk apa pun yang terjadi di masa lampau Aulia sudah ikhlas, ikhlas nya dengan tidak lagi menghubungi mereka, mencari tahu, atau semua yang berkaitan. Bukan urusan Aulia lagi untuk ikut campur, hidup seperti ini saja, hidup urusan sendiri, atur sendiri bagaimana nasibmu. Jangan merasa iba, kasihan atau empati kepada orang lain. Secukupnya saja, Aulia belajar hari ini bahwa yang berlebihan tidak baik.

Hari sudah hampir malam, melelahkan jalan sejauh ini dan jarak rumahnya masih sangat jauh. Tidak apa, sedikit berolahraga bisa membuat pikiran kembali tenang. Aulia membuka ponsel yang terus berdering tanpa henti, ada banyak pesan masuk meminta untuk di balas. Dia menutup kembali ponselnya, mengabaikan panggilan yang masih berdering. Aulia melanjutkan langkah kakinya menuju rumah, lagi-lagi ponsel berbunyi. Aulia mengalah mengangkat panggilan menjawab telepon dari orang yang menganggu masa tenang nya.

"Lo bisa ke sini nggak?" suaranya terdengar berat, sepertinya Seno habis menangis.

"Jangan sekarang, gue capek." suara Seno bergetar, Aulia jadi heran dengan sikapnya yang aneh. Untuk sekarang Aulia merasa ingin cepat-cepat pulang, mandi dan tidur. Lelah untuk berjalan atau bertemu seseorang. Seno memaksa lagi, dengan nada memohon, dari balik telepon bisa Aulia dengar dengan jelas Seno menangis. Menangisi apa Aulia juga tidak tahu.

"Seno, gue mohon. Gue beneran capek." Aulia terdengar lelah, memohon agar Seno jangan mengganggunya sekarang.

"Sekarang, Aulia." kata Seno lalu memutuskan panggilan secara sepihak.

Aulia duduk di pembatas jalan, dia berpikir lama, haruskah menemui Seno sekarang sedangkan untuk melanjutkan jalan pulang saja Aulia tidak mampu. Dari suaranya Seno terdengar sangat frustasi, Aulia jadi khawatir tentang kondisinya. Firasatnya mengatakan Seno sedang mabuk, Aulia jadi takut terjadi sesuatu terhadap Seno, dia memutuskan memesan taxi menuju apartemen mengecek sendiri kondisi dan keadaan Seno.

Keras kepalanya sangat tidak bisa dilawan, sesuka hatinya melakukan apa pun. Pasti terjadi sesuatu sehingga Seno minum hingga mabuk. Entah berapa gelas yang di minum hingga menyebabkan dia berkata ngawur. Setelah Seno di atasi barulah besoknya Aulia akan memarahinya, tidak baik terlalu memaksakan diri apalagi dia hanya tinggal sendiri. Taxi yang di pesan datang, dia segera menuju apartemen Seno dan meminta supir untuk lebih cepat menjalankan mobil.

Dalam perjalanan Seno masih menghubunginya, Aulia memijit kepalanya yang terasa berdenyut, sudah keras kepala tidak sabaran pula manusia satu ini. Aulia memandangi jalan raya di malam hari, tidak ada panggilan lagi. Aulia mulai menikmati perjalanannya.

Aulia berhenti di parkiran, setelah membayar dia mengecek ponselnya. Seno mengirimkan pesan satu menit yang lalu, Aulia berhenti untuk membaca pesannya. Sudah kelewatan mabuk, sampai menulis pesan saja banyak salahnya.

Aulya, masfin gue. Gye satang lo, gue nyesel seumur hiduo gai busa jaga lo dengsn baik.

Cukup lama Aulia mengamati tulisan yang dikirim Seno, butuh beberapa kali mengulang hingga akhirnya pesan itu dapat dibaca dengan jelas, bunyi suara jelas berada di depannya, jarak dua meter. Aulia melirik sepatunya yang terkena cipratan. Ragu-ragu dia menatap ke depan, dengan kedua bola matanya nampak jelas tubuh hancur dan beberapa organ tubuh yang keluar, di depannya sendiri orang yang beberapa menit lalu mengirimnya pesan meloncat dari atas gedung.

Aulia tidak tahan dengan apa yang baru dilihatnya, detik itu juga dia pingsan tak sadarkan diri. Setelah sadar Aulia sudah berada di ruangan serba putih, dia sudah berada di rumah sakit. Seorang polisi wanita datang menghampirinya dengan wajah khawatir.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang