EmpatPuluhEmpat

8 4 0
                                    

Aulia bangun tepat di jam enam pagi. Aulia melihat ke arah tempat tidur Seno, masih belum sadarkan diri. Aulia menoleh saat gagang pintu dibuka, dan itu adalah Agil yang membawa sarapan untuk mereka. Segera Aulia bangkit untuk mencuci muka sembari Agil menyiapkan makanan di atas meja.

Aulia kembali, duduk disebelah Agil dengan melamun. Sampai suara Agil membuatnya sadar sepenuhnya.

"Tidur lo nyenyak gak?" Agil meletakkan bubur di dekat Aulia dan dibalas dengan anggukan.

"Semalem gue mimpi, ada orang yang nemenin gue tidur disini semalem." Dia menoleh Agil, meminta respon tapi, Agil hanya mengangguk singkat.

"Lo mimpi kali," jawabnya.

Aulia menggeleng. "Mungkin kali ya? Atau suster?" Aulia berpikir positif, mungkin saja suster yang bertugas malam sedang memeriksa keadaan Seno tadi malam.

"Gak usah banyak mikir, keburu dingin."

Di tengah mereka menyantap sarapan Aulia baru menyadari sesuatu, sejak kapan pria ini sampai tiba-tiba saja sudah ada sambil menyiapkan makanan. Menyadari dirinya sedang di tatap Agil menoleh dengan heran.

"Pulang jam berapa semalem?" Aulia berusaha mencari pembicaraan baru, tahu bahwa dirinya sudah ketahuan.

"Gak pulang, habis kerja lansung kesini." Dan jawaban Aulia hanya mengangguk pelan.

Sekali lagi dia melirik pria disebelahnya, susah rasanya untuk menutup bahwa pipinya memerah menahan salah tingkah. Dilihat dari sejak awal mereka kenal hingga sekarang, tidak ada yang berubah. Agil selalu dengan dirinya yang to the point. Tidak memperdulikan orang lain yang sudah tidak karuan hati dibuatnya.

Selalu sama, senyum, tawa, jahil, dan cara perhatian yang dilihatkan terasa nyata bagi Aulia. Seolah apa yang ia beri adalah hal tulus. Agil tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan, jika tidak suka maka tidak suka. Tapi, untuk Aulia ada pengecualian. Tentu saja dia tidak menyukai Seno, karena Aulia dia bersedia di sana.

Aulia berhenti menyendok sarapan dari piring, tiba-tiba saja perutnya kenyang. Terlalu banyak berpikir membuatnya hanya mampu menyendok tujuh suapan. Dia jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah ini akan berlangsung lama? Apakah semua yang baru rasanya ia rasakan akan bertahan? Ataukah Agil masih ingin bersamanya di hari-hari berikutnya?

Semakin memikirkannya Aulia semakin kenyang dan terasa mual, efek makan terlalu pagi membuat perutnya sakit, biasanya dia akan sarapan di jam istirahat, membuatnya tidak terbiasa makan sepagi ini.

Entah seberapa lama dirinya melamun semua benda di meja sudah dikemas oleh Agil. Aulia mencoba menyadarkan dirinya agar Agil tidak terlalu memperhatikan.

"Aulia, maju dikit."

Ditengah jalan sembari menunggu orang menyeberang Agil berteriak memanggil, Aulia sepertinya terlalu sibuk membaca pesan membuatnya tidak fokus. Aulia memajukan dirinya lebih dekat.

"Apa?"

Bunyi kaca helm yang ditutup Agil secara mendadak membuat Aulia sedikit terkejut, gadis itu melonjakkan tubuhnya, setelah itu Aulia memukul bahu Agil dengan kesal.

"Om sebelah liatin mulu."

Aulia menengok ke sebelah kanan. Memang benar disebelah mereka juga sedang menunggu lampu merah dan memperhatikannya. Atau mungkin hanya perasaan Agil saja, setiap mereka pergi selalu begitu akan ada dimana kaca helm itu ditutup Agil secara mendadak.

"Besok-besok mending tukaran helm." kata Aulia kesal.

"Oke."

Motor kembali jalan setelah lima puluh detik berlalu, Aulia masih memperhatikan Agil dari kaca spion. Segampang itu dia menyetujui kata Aulia, padahal kata itu keluar secara asal saja.

Mereka sampai. Sepanjang koridor menuju kelas, banyak anak-anak kelas lain yang terus memandang dirinya. Bukan hanya satu tapi, beberapa anak lainnya juga melihat dengan tatapan yang sama. Aulia bahkan mengecek dandanan dari ponselnya, tidak ada yang aneh dari mukanya. Gadis itu menatap pria disebelahnya.

"Gil, gue kenapa?"

Agil menoleh, dia tahu maksud dari 'kenapa' yang Aulia tanyakan tentang tatapan orang-orang di pagi begini menatapnya dengan sangat intimidasi. Agil melirik jam tangan, mereka belum terlambat, Agil juga bingung dan hanya bisa mengangkat bahu.

"Gue duluan, ya." sampai di depan kelas Agil, pria itu berpamitan lebih dulu untuk masuk.

Aulia semakin heran dengan orang-orang, bahkan dengan teman kelasnya yang semakin kelihatan aneh. Kelas semakin ramai dan matahari juga semakin naik menambah rasa panas dalam diri Aulia.

Sampai suara mikrofon sekolah berbunyi membuat seisi sekolah makin penasaran.

"Lo lagi bikin masalah?" tanya Ega.

"Gue juga gak tau kenapa."

Suara kepala sekolah terdengar keseluruhan sekolah membuat keadaan semakin menyeramkan.

"PANGGILAN, PANGGILAN ATAS NAMA AULIA PUTRI SADEWI, ANAK KELAS SEBELAS UNTUK SEGERA DATANG KE KANTOR SEKARANG."

Aulia diikuti ketiga temannya untuk datang kekantor, Ega dengan mata yang melotot memperhatikan satu-satu orang yang berani menatap Aulia dengan tatapan aneh. Hampir sampai temannya berhenti diluar sembari menunggu.

Beberapa menit menunggu Aulia tiba-tiba saja berlari meninggalkan yang lain, gadis itu berlari tanpa memelankan sedikitpun laju kakinya bergerak, dia sedang menuju ke papan pengumuman secara otomatis dengan keterkejutan ketiga temannya juga ikut berlari mengejar Aulia yang sedang terlihat cemas. Dari kejauhan Aulia nampak dengan jelas ada satu pria yang sudah berhasil melepas kertas yang tertempel dalam Mading yang terkunci, Mading itu sudah pecah dengan batu yang dibawanya.

Larian itu berubah pelan dan berjalan pelan menuju pria yang juga terkejut dengan kehadiran dirinya.

"Balikin." ucap Aulia menadahkan tangan, namun ditepis olehnya.

"Balikin, Gil." Aulia merampas kertas dari tangan Agil, awalnya kertas itu selalu dihindari oleh Agil agar Aulia tidak dapat melihatnya, dengan kegesitan Aulia kertas itu berhasil didapat.

Aulia menatap hampa kertas ditangannya, menatap Agil dengan emosi yang bercampur aduk, ditambah dengan napasnya yang masih memburu membuatnya semakin tidak karuan. Amel, Ega, dan juga Laras sama-sama terkejut melihat kertas di tangan Aulia.

Mereka tidak merampas dari tangan Aulia, dari jarak jauh pun mereka sudah nampak, Aulia merobek kertas di tangannya dengan marah sampai kertas itu berubah menjadi hamburan kertas kecil lalu membuangnya dan menginjak-injak dengan penuh emosi. Tiga orang berlari mendekat, semua mata melihat. Itu Wildan, Bastian, dan Mario.

"Kak?" Wildan memegang pundak Aulia, berusaha untuk menatap wajah sang kakak. Aulia menunjuk pada kertas yang sudah tidak terbentuk lagi.

Agil memperhatikan semua satu persatu, dari Laras, Ega, Amel, Wildan, Bastian, Mario, dan Aulia. Semua terkejut dengan kertas yang terdapat foto Aulia tanpa busana.

"Foto juga ke sebar di grub." Bastian ikut bersuara.

Tanpa basa-basi mereka semua berlari menuju kelas satu persatu untuk di cek ponselnya. Kegaduhan ini membuat guru rapat tentang foto yang tersebar, dan Aulia menatap Agil, satu satunya pria yang masih berdiri di sebelahnya. Dia menatap tangan Agil, ada darah di tangannya. Dengan kekesalan yang teramat Agil hanya menggunakan batu berukuran sedang untuk menghancurkan Mading. Selebihnya dia menggunakan tangan untuk bisa membuka semua kaca yang menutupi sebuah besi yang berukuran kotak itu. Dia ingin semua kaca tersingkirkan dari sana.

"Agil." Aulia memegang tangannya.

Tangan Agil bergerak memegang pipi Aulia, darah sedikit menempel di pipinya. Gadis itu menangis, menangisi kejadian yang baru terjadi dan juga menangisi tangan Agil.

Siapa manusia yang begitu kejam dengan menempel foto yang sudah di edit di Mading? Parahnya lagi kunci sengaja dihilangkan agar tidak ada yang dapat membukanya. Foto itu terpajang begitu saja dan percuma saja di tutup, anak-anak yang lain pasti ikut penasaran untuk melihatnya.

Suasana SMA Perdana 1 sangat tidak baik, kelas dibiarkan kosong, guru-guru semua berkumpul dan rapat atas kasus yang menimpa Aulia. Siapapun itu sepertinya hatinya teramat membenci Aulia sampai dengan tega berbuat senekat begitu.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang