SembilanBelas

18 6 0
                                    

"Aulia, turun!" teriak Astri dari bawah.

Aulia yang baru saja mandi terpaksa memakai baju cepat-cepat tanpa menggunakan handbody terlebih dahulu. Selesai baju terpakai Aulia lekas turun menemui ibunya masih dengan handuk di kepalanya.

"Kenapa?" tanya Aulia masih berada di tangga nomor satu paling bawah.

"Kamu kan udah mama bilang jemput Nia. Kenapa bisa lupa? Nia nangis di sekolahnya." Astri duduk di sofa menatap Aulia dengan rambut basahnya.

Aulia menoleh pada Wildan yang berdiri disebelah sofa. "Kan gue udah minta tolong lo!" kesal Aulia membenarkan handuknya.

"Gue juga lupa," jawab Wildan takut-takut.

"Nggak usah alasan, Aulia. Yang mama suruh kan kamu, jangan nyalahin Wildan lagi!"

"Tapi, ma. Aulia baru pulang,"

"Seharusnya tanggung jawab Aulia! Dari kecil kan mama udah ajarin kalian!" marah Astri.

"Liat sekarang, Nia jadi cegukan begini, seharusnya kamu sadar Aulia, bahwa—"

"Bahwa apa ma?" potong Aulia. "Bahwa papa Nia hilang karna Aulia?" nafas Aulia memburu.

"Sampai kapan sih ma? Mama selalu nyalahin Aulia kalo kehilangan Abang itu karna aku?!" sentak Aulia matanya berkaca-kaca.

"Au!" tegur Wildan.

"Apa Wil? Kalo pun gue tau waktu itu abang bakal hilang, biar gue. Biar gue yang pergi cari kak Meli di sana!" Aulia sudah tidak tahan, air matanya mengalir begitu saja.

"Sampai kapan papa mama ngerti, aku juga ini anak kalian."

"Aulia maksud mama bukan begitu," Astri jadi tak enak hati. Matanya juga ikut berkaca-kaca.

"Gimana ma? Aku capek ma, aku capek melawan semua ini. Kalo boleh aku aja yang mati abang jangan!"

"Aulia!" bentak Wildan. "Udah, lo nggak kasian sama mama?!" Wildan mengelus pundak Astri menenangkan ibunya memaksa untuk kembali duduk.

"Wildan," ujar Aulia pelan.

"Udah Au, cukup. Ngertiin perasaan mama!"

"Ayo ma, Wildan antar ke kamar." Wildan mengantar Astri ke kamar dan menggendong Nia untuk ikut beristirahat.

Aulia menggeleng tak percaya dengan perlakuan Wildan. Aulia lantas naik dan mengganti baju, mengeringkan rambut lalu menguncir nya asalan.

Memakai celana pendek dan baju kaos Aulia turun dan pergi tanpa pamit. Menyusuri jalanan dengan jalan kaki. Membiarkan kamar yang berantakan bekas dirinya mengacak-acak isinya lalu pergi begitu saja.

Kejadian itu kembali teringat. Sudah lama berlalu kejadian itu terjadi dan nampaknya papa dan mamanya tak kunjung memaafkannya. Semua itu telah berubah. Dengan kepergian abangnya.

"Bang... Aulia kangen,"

Aulia menghentikan tukang ojek, naik dan minta di antar ke suatu tempat. Mungkin, tempat itu bisa dijadikan tempat untuknya berteriak sepuasnya.

Tempat indah, rekomendasi dari Laras. Tempat itu memang indah, Aulia sangat bersyukur Laras memberi tahunya tempat terpencil itu.

Sampai di sana Aulia berteriak dengan sepuasnya. Tidak ada orang disini, dia bebas melakukan apa saja.

Aulia menatap langit yang kini mulai berubah menjadi ungu ke orenan. Saatnya senja datang. Dengan angin yang menyejukkan membuat senyum tipis Aulia terukir.

"Aaaaa," Aulia berteriak. "tenang banget disini!"

Aulia kembali berteriak, kali ini lebih kencang. Membuatnya tertawa seperti orang gila. Segala sesuatu yang membuatnya lega sangat lucu untuk ditertawakan. Apalagi kejadian tadi, bodoh mengapa juga dirinya harus menangis. Dasar lemah.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang