EnamPuluhDua

4 3 0
                                    

Laras berdiri di depan dua gadis yang tengah duduk di atas bangku dan sedang membahas sesuatu. Mereka masih sibuk pura-pura sedang membahas pekerjaan sekolah yang belum selesai, sengaja tidak memperdulikan. Lelah tidak di respon Laras mengeluarkan suara, meminta kedua orang di depannya untuk menatap dan mendengarkannya. Keduanya nampak tidak senang dengan kehadiran Laras. Dengan muka yang biasa saja Laras menatap keduanya, tidak ada rasa bersalah atas apa yang sudah di perbuatannya.

"Lo berdua nggak mau temenan sama gue?" tanya Laras, wajahnya memelas seolah minta di kasihi.

"Bisa cukup nggak? Gue sama Amel lagi sibuk." balas Ega ketus.

Dengan wajah sok polos sekarang datang minta di kasihani, benar-benar tidak masuk akal dan hampir tidak percaya ada orang seperti Laras dan masih menunjukkan muka di depan semua orang. Kesal diperlakukan seperti itu Laras berbicara pelan tapi, terdengar jelas kata demi kata ia tekankan. Menyebut nama Aulia yang selalu beruntung bahkan ketika dia berbuat salah masih ada yang membelanya, merendahkan diri sendiri dan selalu membandingkan Aulia dan dirinya. Amel yang mendengarkan risih dengan perilakunya, tidak menyangka dia dulu pernah memiliki teman bentuk titisan setan.

Laras selalu mencari perhatian dan selalu bertingkah, di banding dirinya yang dulu, pendiam tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh, komplain atau banyak maunya. Orangnya dulu ceria, sekali bicara pedas dan menohok bagi siapa yang berani menganggu ketenangan teman-temannya. Tidak suka cari perhatian bahkan menghindari publik. Laras sangat tertutup dan orang banyak tidak tertarik soal dirinya.

Mungkin itu alasannya, terlalu banyak memendam lalu pada waktunya meledak dengan sendiri. Laras tipe yang selalu mendengar curhatan dari sahabatnya, mereka sampai lupa bahwa Laras juga ingin di dengar. Setahu Amel, Laras sangat dekat dengan Aulia, bahkan Aulia yang paling mengenal Laras. Hanya kepada Aulia Laras banyak bicara dan mencurahkan segala isi hatinya. Tidak tahunya dari balik itu semua Laras juga iri terhadap Aulia.

Amel menyesal, terlalu mudah percaya dengan tipuan Laras waktu itu, seharusnya dia memikirkannya dulu, tidak mungkin Aulia sejahat dan sekejam yang dikatakan Laras. Aulia tidak begitu. Semua sudah terlambat, dia sudah termakan tipuan itu, dia sudah mengecewakan Aulia dan dia sudah kehilangan teman masa kecilnya.

"Lo masih nggak sadar? Ras, Aulia itu udah nggak ada di sekolah ini. Bisa lo bersikap normal? Jangan kaya orang gila!" kesekian kalinya Laras mendengar dirinya dikatakan begitu, dia tersenyum sepertinya memang benar dia sudah gila.

Selama ini dia hanya pura-pura, dia memang sudah gila. Sekian lama memendam sendirian tidak boleh dia meluapkan gilanya? Tabung otaknya sudah penuh selalu dipendam dan menumpuk, waktu lah yang membuat tabung meledak, siapa waktu itu? Mereka, mereka yang membuat Laras seperti ini.

"Tapi semua rencana bukan dari gue, iya kan, Mel?"

Amel mengangkat wajahnya, beradu tatap dengan Laras, senyumnya terangkat sebelah seperti seorang psikopat gila yang senang menatap korban tersakiti. Tidak mampu menatap Laras, hatinya sudah sangat kotor. Amel berdiri pergi dari sana tidak tahan lagi dengan psikopat gila yang masih belum puas.

Ega mengikutinya dari belakang, terus berteriak dan menyuruhnya berhenti. Tapi, langkah kakinya terus berjalan enggan untuk diam. Ega juga tidak mau kalah, dia tetap melajukan langkah kakinya, berlari mengejar Amel.

Amel menyesal, membenci perbuatannya sendiri. Benar apa yang dikatakan Laras, semua rencana ini adalah idenya. Bagaimana bisa dia sekejam itu terhadap temannya sendiri? Amel juga tidak mengerti dengan isi kepalanya saat itu, yang jelas dia sudah dipengaruhi. Amel termakan racun yang di berikan Laras. Amel membenci dirinya, menyesali segalanya. Tapi, apa sekarang ada gunanya?

Tidak ada. Hanya buang waktu dan percuma, penyesalan sekarang tidak dapat menghentikan atau mengulang agar tidak terjadi. Semua sudah berlalu dan inilah yang terjadi, hasil dari yang ditunggu. Mereka kehilangan segalanya.

"Mel, berhenti." Ega menarik tangan Amel untuk berhenti, dari belakang terdengar jelas Ega menangis. Mendengarnya membuat hati pilu, dia ikut menangis. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi rasa sesak di dada.

"Lo sendiri dengar apa yang Laras bilang, semua ini emang salah gue." Ega mengangguk, apa yang sudah terjadi tidak bisa lagi di salahkan. Namun, apa yang terjadi tidak bisa hanya dibiarkan, di tangisi, dan pasrah terserah alurnya saja. Pasti ada jalan, juga pasti ada cara lain. Cara itu Ega juga tidak tahu.

Mereka berdiri di atas rooftop sekolah, hanya menatap dari atas sambil ditemani angin yang berhembus memberi kesejukan dan ketenangan. Dari kejauhan mereka dapat melihat dari berbagai sudut, ada yang tengah bermain bola, berkeliaran di sekitar lapangan dan hanya menatap pohon-pohon yang bergoyang di tiup angin. Baru di sadari ternyata sekolah mereka besar dan sangat luas. Dengan cuaca yang mendukung, tidak terlalu panas jauh lebih baik perasaan mereka dari tadi, sehabis menangis mereka kehabisan tenaga, dan hanya mampu diam memikirkan banyak hal.

"Lo nggak mau melakukan sesuatu?" Ega bersuara, membiarkan bel masuk berbunyi, kaki mereka terpaku untuk bergerak, seperti paku besar sedang menahan kaki mereka.

Amel menggeleng, "Kayaknya gue nggak pantas dapat maaf, eh iya kalo di maafin." Amel tertawa renyah, belum tentu juga Aulia akan memaafkannya, dia terlalu percaya diri. Ega melirik tidak senang.  Tidak terima dengan ucapannya barusan, lalu menghembuskan napas pelan dan kembali memandang depan.

"Kita nggak kenal dekat, ya?" mereka kompak menoleh bersamaan. Amel menunjukkan wajah tidak mengerti. Belum paham apa yang di katakan Ega.

Ega mengangguk pelan, "Buktinya lo aja nggak kenal Aulia siapa, nggak pernah tahu Aulia itu seperti apa."

Amel membuka ponsel, melihat grub chat milik mereka, dia melihat anggota yang tersisa. Masih utuh, tidak ada yang keluar dari sana. Dia tertawa pelan, menyadari sesuatu. Dia memang tidak mengenal Aulia, dia belum tahu Aulia itu seperti apa.

"Memangnya, Aulia itu siapa?" tanya Amel pura-pura.

"Dia itu yang paling dewasa di antara kita, dia sering ngalah untuk kita dan dia yang paling peduli sama kita, umurnya lebih muda di antara kita tapi dia yang paling dewasa dan sabar, paling banyak berkorban. Lo tahu nggak artinya apa?" tanya Ega, menatap serius kedua bola mata Amel. Amel menggeleng tidak tahu.

"Artinya dia sayang dan cinta sama kita." Amel seketika terdiam, matanya membulat besar baru menyadari sekarang.

Selama ini apa yang Aulia berikan untuk mereka, sangat tulus. Dia berteman dengan hati, mencintai mereka dan sangat peduli pada mereka. Masa-masa kecil terbayang, teringat semua kejadian yang terlupakan di otaknya. Aulia selalu mengalah jika mereka ingin yang Aulia pilih, Aulia selalu memberi apa yang mereka minta. Teringat pula saat SMP di mana mereka memesan es krim dan yang datang malah bukan selera Amel, Aulia mengganti dan menukarkan dengan miliknya. Hal-hal kecil yang tidak terlihat selama ini adalah bentuk kasih sayang tulus yang Aulia berikan. Saking kecilnya ketulusan itu mereka tidak bisa menyadari betapa berharganya Aulia di hidup mereka.

Ega melirik Amel yang kembali menangis, kembali terisak merenung apa yang sudah terjadi. Ega tersenyum kecut, semalaman dia puas menangis baru menyadari ketulusan hati dari Aulia. Saat dimana mereka bertengkar Aulia yang menjadi penengah, dia sangat dewasa, seharusnya mereka beruntung mendapatkan teman seperti Aulia.

Semalam Ega membongkar lemari, niatnya ingin membersihkan dan membuang barang-barang yang tidak terpakai, dia menemukan album dan saat dibuka dia menemukan banyak kenangan kecilnya. Dia mengambil sebuah jepit rambut berwarna biru dihiasi dengan gambar Doraemon. Teringat pemberian Aulia yang membelikannya dengan uang tabungan yang di tabung selama sebulan penuh.

Ega tahu betul jepit rambut itu harganya sudah cukup mahal untuk anak sekolah dasar, tapi Aulia mampu menahan diri untuk tidak jajan hanya untuk membelikan hadiah yang menjadi incarannya sejak lama. Saat itulah dia sadar Aulia banyak berkorban untuknya. Ega meringkuk menangis sambil memeluk bantal guling, puas menangis dengan sendirinya tertidur dengan kedinginan. Pagi-pagi dia sudah terbangun dan kamar sudah rapi, dia juga sudah di tutup selimut menjaga kehangatannya, dan dia tahu betul semalam ayahnya mendengar tangisan nya yang tanpa henti sampai jam dua pagi.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang