DelapanBelas

16 6 0
                                    

Agil berbaring di kasur dengan headset terpasang di telinganya. Pada dasarnya memang hari libur siang dihiasi dengan lantunan lagu yang menenangkan dan AC yang menyala, membuat hari yang terasa sangat panas jadi lebih menenangkan.

Agil jadi teringat Aulia saat dua hari yang lalu Aulia datang kerumahnya. Sifat gadis itu sangat berbeda. Cantika, Raki bahkan bunda begitu menyukainya. Padahal sangat jelas mereka hanya satu kali bertemu. Agil jadi tersenyum. Aulia punya ciri khas tersendiri hingga bisa memikat orang-orang yang disayanginya.

Gaya rambutnya, senyum manisnya, cara berpikirnya, perlakuannya. Semua, semua itu terasa sangat berarti. Iya, Agil akui Aulia memang berbeda.

Tapi, jika Aulia mengetahui tentangnya akankah gadis itu tetap bertahan? Atau malah membencinya? Agil tersenyum lagi, kali ini tersenyum kecut. Betapa beruntungnya dia bisa mengenal Aulia.

Aneh-aneh saja kali semisal Aulia memang benar menyukainya. Apa yang Aulia sukai darinya? Kenakalannya? Kejelekannya? Atau semua keonaran yang selalu dibuatnya? Bahkan Agil sendiri membenci dirinya sendiri lalu kenapa bisa gadis sempurna itu menyukainya?

Entahlah, Agil juga tidak tahu. Mungkin benar kata sahabatnya, dalam dirinya ini ada lem pemikat.

Agil menyahut saat Bundanya memanggil untuk turun kebawah. Melepaskan headset lalu segera duduk dari tidurnya dan turun kebawah dengan senyum yang menghiasi setiap langkahnya.

Langkah yang tadinya berlari menuruni anak tangga kini berubah menjadi jalan berat, senyumnya berubah pudar menjadi datar. Rasanya Agil tidak mau turun setelah mendapati satu pria duduk di meja makan dengan mata terfokus pada ponsel.

"Ayo, kak. Makan." ajak Arin sambil menyiapkan makanan.

"Kakak nggak laper bunda." Agil memutar badan hendak kembali naik ke atas.

"Kak," panggil Arin. "Nggak laper kok turun sih, ayo makan bareng. Udah lama kan nggak makan bareng ayah,"

Demi bunda Agil akhirnya duduk. Mengambil piring dan ikut sibuk membantu Arin menyiapkan makanan, menghindar kontak mata lansung dengan ayahnya.

"Udah biar bunda, ini buat kakak dan ini buat ayah." Arin memberikan nasi ke piring dua laki-laki disebelahnya.

Mereka sibuk dengan makanan. Agil hanya makan dengan mata tertuju pada piring, malas menatap pria di seberangnya.

"Sekolah kamu gimana kak?" tanya Rudi menatap putranya.

Agil tidak menjawab malah kembali menyuap nasi. "Baik kok," Arin menjawab.

Rudi mengangguk, sepertinya Agil masih enggan berbicara dengannya. "Sekolah Adek gimana? Lancar aja kan?"

"Lancar-lancar aja tuh," jawab Agil datar.

"Kak, sopan dikit sama ayah," tegur Arin.

"Bunda kenapa sih? Kok nerima tamu asing begitu aja," sergah Agil.

"Ayah, ayah mau ngobrol sama kamu sebentar. Boleh ya?" Arin menatap putranya tersenyum.

"Nggak, Agil sibuk!" Agil berdiri hendak kembali naik lagi.

Untuk apa lagi berbicara dengannya. Membicarakan bahwa ayahnya itu akan minta maaf? Lalu mengulangnya kembali. Kesempatan itu sudah Agil berikan saat itu, saat dimana Arin masuk rumah sakit. Agil sampai bermohon agar Rudi pergi menemui Arin.

Tapi, nyatanya pria itu lebih memilih pergi bersama selingkuhannya. Membiarkan sang istri koma di rumah sakit.

Pantaskah kesempatan diberi lagi untuk orang yang suka menyia-nyiakannya. Jadi, menurut Agil sudah tidak ada artinya lagi jika harus berbicara.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang