TigaPuluhSembilan

11 3 0
                                    

Aulia melambai pelan saat motor Agil semakin menjauh. Senyumnya terukir kala mengingat kejadian tadi. Yah, agak sedikit kesal dengan perilaku pria yang baru saja mengantarnya itu dengan tingkah anehnya yang ada saja. Jujur saja, semakin kesini Aulia semakin merasakan cinta Agil yang makin besar terhadapnya, meskipun masih diselingi gengsi.

Setelah tidak terdengar lagi bunyi motor, sebuah mobil berjalan mendekati pekarangan rumah Aulia dan berhenti tepat di depannya. Gadis itu menyapa kala mengetahui orang yang berada didalamnya. Dan bergegas membantu memegang kursi roda sembari sang anak memapah ayahnya untuk turun dari mobil. Dialah Seno, pria yang juga sekilas berpapasan dengan Agil di tengah perjalanan pulang tadi.

"Om nggak perlu repot-repot, sampe bawain Aulia martabak." mereka jalan beriringan.

"Udah lama nggak ketemu, gak masalah lah cuma martabak," Aulia memicing mata tidak senang. Siapa yang ditanya siapa yang jawab, kesalnya.

Setelah sampai di ruang tamu Aulia pamit naik ke atas untuk bebersih karna masih menggunakan seragam sekolah dan kebetulan papa juga sudah pulang, jadinya om Hendri ada teman untuk mengobrol.

Hendri adalah teman SMA papa dan sering berkunjung jika ada waktu luang. Terlebih sekarang Seno sudah di sini dan tinggal di apartemen jadi Hendri ingin sekali berkunjung setelah beberapa bulan sibuk berobat.

Pintu kamar Aulia di ketuk, gadis itu akhirnya buru-buru mengeringkan rambutnya dan segera membuka pintu.

"Apa?" tanya Aulia ketus dengan tangan terus menyisir rambut.

Seno memperhatikan dandanan Aulia dari atas sampai bawah, baju lengan pendek yang ketat, bawahan longgar yang panjang hingga menutupi kakinya serta rambut yang masih setengah basah. Astaga, mau bagaimana pun gadis ini tetap cantik, apapun bentuknya.

"Gue mau ngomong." tahu bahwa Aulia tidak akan mengizinkannya untuk masuk Seno berjalan pelan menengok ayahnya dari atas.

Aulia ikut berjalan dan melihat apa yang dilihat Seno. "Agil..." Aulia masih terdiam, menunggu kalimat berikutnya, "...apa sekarang Agil bahagia?" Seno menatap Aulia dengan wajah yang terlalu kasihan.

"Maksud lo?"

Seno menggeleng, "bukan apa-apa."

"Gue seneng akhirnya papa gak sakit lagi, semenjak mama ninggalin kami berdua." Aulia hanya terdiam, tidak tahu apa sebenarnya yang ingin Seno sampaikan.

Aulia kembali menengok ke bawah. Menatap om Hendri yang amat tertawa lepas bersama papa. Aulia tahu bahwa ibunya Seno pergi saat Seno masih berada di bangku SMP. Dan semenjak ibunya pergi om Hendri jadi sering sakit-sakitan dan harus bolak balik ke rumah sakit. Penyakit terbaru yang Aulia tahu beberapa bulan terakhir om Hendri terkena struk yang mengakibatkan kedua kakinya sulit untuk digerakkan.

Tapi, yang membuatnya bingung adalah untuk apa Seno memberi tahunya karna Aulia juga tahu sekarang om Hendri nampak baik dan juga tentang masalah ibunya ia sedikit tahu tentang itu.

"Ayah Agil itu selingkuhan mama." Aulia melotot, syok mendapati kabar mengejutkan dari Seno.

Teringat kembali dengan Agil membuat Aulia menghentikan aktivitasnya menyisir rambut. Tidak pernah ia dengar dari Agil bahwa selingkuhan ayahnya adalah ibu Seno. Gadis itu masih terdiam memikirkan banyak pertanyaan.

"Gue benci banget sama Agil, Au." mata Seno memerah, menahan tangis.

"Semuanya dia ambil dari gue, termaksud..." mereka saling tatap beberapa saat sebelum Seno kembali menatap wajah ayahnya yang tertawa riang.

"... termaksud lo."

"Gue, gue?"

"Kenapa lo gak bisa nerima gue, cuma lo yang mau denger gue, Au." Seno kembali menghapus air matanya.

"Gue rasa lo salah paham soal Agil," ragu-ragu Aulia menatap Seno.

"Perselingkuhan itu gak bisa terjadi kalo hanya satu aja yang bertindak. Kalo mama lo gak kasih peluang, maksud gue kalo Tante Sani gak bertindak, perselingkuhan ini gak bakal terjadi. Lo gak bisa nyalahin salah satu pihak, karna ini adalah perbuatan dua belah pihak."

"Tapi...,"

Aulia mengangkat tangan menandakan bahwa ia tidak ingin melanjutkan perdebatan, "Kalo lo cuma mau minta kasihan sama gue, gue peduli kok. Selebihnya gue gak berhak ikut campur." Aulia menutup pintu dengan sedikit kencang membiarkan Seno menatapnya dengan mata menyipit, Seno benci dengan perlakuan Aulia yang terus membela Agil. Apa istimewanya anak seorang perebut kebahagiaan orang lain.

Aulia menghempas tubuhnya ke kasur. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Dia tidak ingin lansung menyimpulkan, karna apa yang ia tahu baru dari Seno sedangkan ia belum mendengar dari sudut Agil, Aulia juga tidak ingin membahasnya sebelum pria itu mau membuka suara. Aulia tahu sebenarnya belum siap Agil untuk menceritakan hal ini padanya.

Belum selesai pikirannya berkecamuk di dalam kepalanya lagi-lagi sebuah ketukan membuatnya harus bangkit dan membuka pintu. Itu Wildan, memanggil untuk makan malam bersama.

"Tumben,"

"Kok tumben, biasanya gue ajak juga lo makan bareng," Wildan menekuk satu kakinya bersandar di pintu Aulia.

Tumben, yang Aulia maksud adalah mama yang menyuruh Wildan untuk memanggilnya karna biasanya hanya mereka bertiga yang menghiasi meja makan waktu malam atau hanya Aulia dan Wildan jika kedua pasutri itu sedang mendapatkan lembur kerja. Tapi, Aulia ingin sekali mendengar suara mama-lah yang memanggilnya untuk ikut bersama.

"Udah kenyang." jawab Aulia kembali rebahan di atas kasur.

"Makan apaan?"

"Makan ati!"

"Apaan sih kak, serius. Seno sama om Hendri juga udah pulang." kesal Wildan menatap kakaknya.

"Udah makan nasi bungkus tadi, udah sana gih. Gue mau tidur, ngantuk." usir Aulia membelakangi Wildan sambil menarik bantal menutupi wajahnya.

"Yaudah. Awas nyesel, ya!"

Terdengar Wildan menutup pintu dan langkahnya perlahan menjauh, beberapa menit Aulia menahan diri untuk tetap berada di kasur dan memaksa mata untuk terpejam lalu tertidur. Seolah tubuhnya enggan di paksa, Aulia bangkit berjalan perlahan menuruni beberapa anak tangga, mengintip dari balik celah yang sedang terjadi di meja makan. Wildan baru sampai setelah dari kamarnya.

"Darimana dek?" tanya Astri sambil menyiapkan piring untuk Wildan.

"Panggil kakak tadi," Wildan menggeser kursi untuk dia duduki.

"Oh, mungkin udah kenyang. Kamu aja yang makan, biar sehat." Astri memberikan sesendok sup ke piring Wildan.

Wildan menatap wajah ibunya ragu-ragu. "Coba mama yang ajakin kakak, mungkin aja kakak mau,"

"Loh, gimana sih. Kamu aja kakak nolak gimana mama?"

"Semenjak kejadian itu, mama berubah sama kakak."

"Wildan!" teriakan papanya membuat kedua orang di meja makan itu menoleh dengan cepat.

"Bener 'kan, Pa?"

"Wildan cukup!"

Suaranya makin besar dan Wildan juga masih sama, tidak berhenti membahas hal itu membuat kedua pria itu berdebat, sedangkan Astri masih diam membisu menyaksikan keduanya.

"Wildan udah kenyang."

Bunyi kursi yang di paksa bergerak membuat Aulia bergegas naik ke atas dan menutup pintu rapat sebelum Wildan sampai lebih dulu ke atas. Saat Wildan berjalan di tangga, Aulia lihat dengan jelas wajah pria itu memerah. Entah memerah karna menahan amarah atau karna menahan tangisan.

Aulia menangis untuk hal yang menyentuh hatinya. Selama ini Wildan juga merasa perubahan ibunya terhadap Aulia. Dan ternyata selama ini Wildan selalu membelanya. Dan rasa itu semakin kuat kala mendengar suara tangisan dari kamar disebelahnya. Setelah beberapa saat tidak terdengar lagi suara, Aulia jadi tertawa geli tanpa suara, bocah itu selalu bertindak layaknya seorang Abang meskipun mereka hanya berbeda satu tahun tetap saja Aulia dululah yang lahir dan menjadi kakak.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang