TigaPuluhDelapan

9 3 2
                                    

Hari ini Aulia terlihat tidak semangat. Laras sedang izin keluar kota, sedangkan Agil hari ini pria itu kedapatan jadwal untuk mengurus bunda yang masih di rumah sakit. Rasanya hari ini nampak sepi, entah karna tidak ada Laras atau tidak ada sang pengganggu. Sepertinya tidak ada keduanya membuat Aulia lesu, apalagi di tambah pria sok keren di sebelahnya ini yang kehadirannya saja sudah membuat beban Aulia bertambah.

Dikelas pun ia fokus. Aulia sebenarnya tidak terlalu mendengarkan apa yang sedang di sampaikan guru, pandangannya memang ke depan tidak dengan isi pikirannya.

"Maksudnya ini gimana, Au?"

"Ha?" Aulia sampai tidak sabar sudah ada dua orang duduk di depannya.

"Mikirin apaan dah, kita dari tadi bahas kerja kelompok." protes Amel.

"Sorry, gue laper belum sarapan tadi."

"Makanya jangan pikirin gue mulu." timbal Seno yang duduk disebelahnya.

Ega yang diseberang Seno menatap jijik laki-laki yang sok kepedean ini. "Dih, kepedean lo mending kecilin dikit,"

Aulia dan Amel hanya menahan tawa mendengar celetukan Ega yang tiba-tiba. Tahu sendiri saja mulut Ega yang seperti apa. Mendapat serangan tak terduga dari Ega Seno hanya bisa terdiam, kalah mutlak dari cewek nyebelin di depannya. Akhirnya kerja kelompok itu hanya dilakukan dengan gerakan tangan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Tak terkecuali dengan Aulia, ia juga kalut dengan pikirannya sendiri. Agil, nama itu terus saja teringat di otaknya. Kabar pria itu dan juga kabar bunda. Sudah tiga hari Agil menghubungi lewat pesan. Dan selama itu juga Aulia belum melihat wajah dan batang hidung pria menjengkelkan itu. Terlalu memikirkan Agil sampai tidak sadar bel pulang sudah berbunyi.

"Eh, mau kemana?" tanya Seno saat Aulia dengan cepat membereskan semua barangnya di atas meja dengan asal.

"Toilet!" jawab Aulia lari.

Aulia sebetulnya tidak ingin ke toilet, alasan itu ia berikan agar Seno tidak mengejarnya untuk di ajak pulang bersama. Tipe-tipe Seno adalah tipikal memaksa hanya dengan alasan itulah ia bisa terlepas dari Seno. Sekarang gadis itu bersembunyi di belakang sekolah menunggu motor Seno yang terlihat dari pandangannya itu pergi.

Melihat Aulia tidak ada di toilet Seno pasti akan pulang dan mengira Aulia sudah pulang duluan. Dugaannya benar, tujuh menit kemudian Seno datang menghampiri motornya dan pergi. Tiga menit kemudian Aulia memutuskan untuk pulang karna dirasa Seno sudah agak menjauh.

Aulia berjalan sambil berdoa agar Seno betul-betul pulang dan tidak mencarinya. Aulia menoleh sesaat setelah ada motor yang berjalan pelan disebelahnya. Gadis itu menoleh dengan terkejut.

"Agil." gumamnya pelan. Sambil memperhatikan pria disebelahnya sedang tersenyum menatapnya.

"Ngapain, sih, tadi lo ngumpet di belakang sekolah?" Agil mengehentikan motornya, menyerahkan helm pada Aulia.

"Sekarang, kerjaan lo jadi tukang mata-mata?" Aulia naik ke atas motor.

"Nggak, gue tadi habis nyapa pak Mamad." ujar pria itu tancap gas.

Aulia tahu maksud dari menyapa yang Agil bilang bisa jadi Agil merokok dan memang berniat untuk menunggunya. Tapi, Aulia juga tidak terlalu percaya diri untuk itu. Tidak mungkin juga Aulia sepesial itu Dimata buaya satu ini.

"Btw, gue boleh jenguk bunda?" pertanyaan itu terasa geli di telinga Aulia membuatnya tertawa.

"Ya, bolehlah. Lagian bunda kemaren juga nanyain kabar lo."

"Mau sekarang?" tanya Agil lagi. Sontak Aulia mengangguk mantap saat Agil menatapnya dari kaca spion. "Beli buah dulu."

***

Aulia terlihat tegang. Dalam pikirannya keluarga Agil yang lain pasti masih ada di sana, nanti kira-kira apa yang harus dia bicarakan atau apa yang harus ia katakan. Secara ini pertama kalinya dia melihat keluarga besar Agil. Aulia menelan ludah, semakin takut saat Agil mulai membuka gagang pintu kamar ibunya. Langkahan kakinya semakin terasa berat dan jadi grogi saat itu juga Aulia merasakan tangan Agil menggenggam tangannya dengan pelan.

Sedetik setelah memasuki kamar Aulia terlihat lebih lega karna kerabat Agil hanya sepasang suami istri yang sedang menjaga bunda. Dan saat itu pula suasana mulai mencair saat Aulia melihat ada Cantika di sana. Mereka memasuki kamar dengan mengucapkan salam terlebih dulu.

"Eh, Aulia!" suara bunda terdengar antusias.

"Bunda, ini Aulia bawain buah." Aulia meletakkan buah di meja sebelah bunga terbaring.

"Nggak usah repot-repot, bunda nungguin kamu loh buat dateng,"

"Sibuk sekolah Bun," Agil menjawab disebelahnya.

Sepasang suami-istri yang tadi sedang tertidur pulas bangun saat Cantika merengek. "Ada orang ya, maaf tadi ketiduran jadi nggak sadar." Tante Vivi bangkit.

"Tante, kalo cape istirahat dirumah Agil aja, biar Agil aja yang jaga bunda."

Tante Vivi geleng kepala. "Kamu tuh, udah berapa hari nggak sekolah, mending besok sekolah aja." tante Vivi lalu menoleh ke sebelah. "Loh, ada Aulia ternyata."

Aulia tersenyum sembari menyalami tangan tante Vivi. "Apa kabar, Tante?"

"Baik, kebetulan kalian disini jagain Cantika ya, Tante sama om mau cari makan."

Aulia mengangguk mantap begitu juga dengan Agil. Baru beberapa menit Tante Vivi keluar Cantika sudah merengek minta susu. Agil yang tidak tahu harus berbuat apa hanya mengikuti saja apa kata Aulia, disuruh minta air panas ia segera berlari ke kantin. Disuruh membuat susu, ya Agil ikut saja.

"Susunya yang agak banyak, Gil. Bukan gulanya." Otomatis Agil menuang kembali gula kedalam tempatnya dan menyendok kembali susu sesuai takarannya.

Bunda yang hanya diam sedari tadi hanya cekikikan melihat tingkah kedua remaja yang sama-sama panik hanya sekedar membuat susu. Setelah susu jadi Cantika akhirnya berhenti merengek dan kini asyik bermain bersama Aulia.

"Lucu ya kak."

"Siapa, Bun? Aulia?" Bunda menepuk pelan tangan anaknya. Anaknya ini tidak bisa mengondisikan situasi, terlalu bucin dan tidak mengenal tempat.

"Kakak yakin dengan keputusan kakak ini?" bunda nampak serius melihat Agil setelah beberapa lama memandang Aulia dan Cantika yang sedang heboh berdua saja.

Agil juga menatap bunda tak kalah yakin. "Yakin."

Selang beberapa saat kemudian Tante Vivi kembali sambil membawa kantong kresek berisi empat bungkus nasi, kebetulan juga bunda juga sudah makan akhirnya Tante hanya membeli empat saja untuknya dan suami juga untuk Agil dan Aulia.

"Aulia, ayo makan bareng." ajak Vivi.

"Di maklumi aja Tante, Aulia ini agak pemalu butuh adaptasi buat dekat orang." Agil menarik pelan tangan Aulia untuk mendekati tante dan juga om nya.

"Sini, Aulia. Gak usah malu-malu om ini juga ayahnya Agil. Anggap aja kaya ayah sendiri, gitu loh." Aulia tersenyum kaku, ragu-ragu mengambil nasi bungkus pemberian dari om Aji. Anggap aja kaya ayah sendiri terdengar asing di telinganya. Beberapa tahun terakhir Aulia tidak tahu bagaimana rasanya peran seorang ayah selain menafkahinya. Kejadian itu benar-benar merenggut segalanya dari Aulia.

Sore itu, dihabiskan dengan mereka bercanda ringan dan membahas hal-hal random mulai dari tentang kegiatan di sekolah berakhir membahas buku novel. Dan di sore itulah Aulia merasakan makanan yang ia makan terasa nikmat. Kehangatan dari keluarga yang selama ini ia cari kembali.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang