EnamPuluh

10 4 0
                                    

Agil merapikan rambutnya menggunakan sisir. Kesehatannya sudah agak membaik setelah bunda membawakan obat semalam, cukup ampuh untuk meredakan sakit kepalanya. Berhari-hari sakit, demam dan pusing setelah minum obat pil itu lansung menghilang segala sakit yang diderita Agil.

Mematikan musik yang mengiringi pagi, Agil segera keluar menyapa bunda, tidak lupa sebelum berangkat dia sempat mengelus kepala Raki berpamitan. Pas di pintu luar Agil menghirup udara pagi begitu nyaman, terlalu lama tiduran di kamar membuatnya seperti burung lepas kandang, sangat bebas dan nyaman. Agil menghidupkan motor dan pergi berangkat.

Menjalani hari yang berbeda dari hari sebelumnya membuatnya tidak terbiasa, hampir lupa tugasnya sekarang tidak lagi menjemput gadis di jalan empati. Kalau biasanya dia lansung memutar stang sesukanya sekarang Agil harus memutarkan balik arah.

Hari berubah menjadi kosong, hari atau hati Agil tidak tahu yang jelas hidupnya terasa tidak memiliki tujuan lagi. Untuk apa dia ke sekolah, untuk siapa dia akan jahil, dan untuk apa dia belajar. Sangat susah menggantungkan sesuatu kepada orang lain. Pelajaran baru yang dapat ia ambil jangan menggantung dalam bentuk apapun kepada siapapun, sekalinya orang itu hilang harapanmu juga hilang.

Seandainya Aulia tahu isi hatinya ingin dia katakan, bahwa dia merindukannya. Menyesal karna tidak memikirkan secara panjang dampak yang akan dia terima, menyesal kenapa dia masih saja bisa terperdaya dengan cinta Aulia. Seandainya saja waktu itu dia mendengarkan hatinya untuk memilih pindah dan memutuskan hubungan dengan Aulia mungkin Aulia tidak akan sesakit ini dan mereka masih bisa memiliki ikatan sebatas mantan.

Sayangnya Agil tertipu daya dengan Aulia. Auranya begitu memikat siapapun tidak akan mampu menolak dan melepaskannya begitu saja. Agil terbuai dalam jiwa tenang milik Aulia, semua mudah terpikat hanya dari senyuman manisnya.

Andai dan angan-angan sudah memiliki tanggal kadaluwarsa, dia sudah kehilangan Aulia, dia melepaskan dan membuang begitu saja. Tidak ada kata menyesal lagi, apa yang ditanam itulah yang dipetik. Makan dan telan sendiri hasil yang kau buat.

Dia sudah sampai di sekolah. Masih sepi belum terlalu ramai, bayangan Dejavu kembali terputar. Mengetahui Aulia sudah pindah, membuatnya merasa bahwa Aulia masih disini, disekolah ini. Sekarang dia sedang ke perpustakaan duduk sendirian membaca novel sambil menunggu bel masuk berbunyi.

Agil segera berlari, sekali lagi akal sehatnya menyadarkannya, pintu perpustakaan terkunci, belum ada yang masuk. Dia meraih kunci di atas celah pintu dan membukanya. Kata hatinya menyuruhnya untuk membuka dan memastikan ada atau tidak Aulia di dalam meski akal sehat sudah memperingati tentu tidak ada orang di sana dalam keadaan terkunci Agil tetap ingin memastikan lewat kedua matanya.

Dia mendengarkan kembali suara hatinya yang berkata Aulia berada di kelas. Dia mengikuti instruksi berlari ke kelas sebelas dan tidak menemukan Aulia. Meja tempat duduknya kosong malah orang yang ditemuinya adalah orang yang membuatnya sadar sepenuhnya. Dia telah kembali ke akal sehat, telah sadar Aulia tidak lagi disini, tidak ada di sekolah ini.

Melihat wajahnya Agil teringat sesuatu, dia pernah bertemu saat dia pulang setelah mengantar Aulia sampai rumah. Kala itu dia melihatnya di tepi sungai sendirian, dia melemparkan sebuah benda jauh ke sungai, Agil hanya lihat sekilas sambil terus berjalan. Tidak mengetahui benda yang sedang dilempar adalah kunci.

"Kok orang gak tau malu ada disini." Agil mendengar suara yang dibesarkan agar semua orang mendengar.

"Iya, nikung temen sendiri lagi."

"Kan urat malunya udah putus, udah pasti dong sok polos seperti biasanya."

Semua orang menyindir Laras secara terang-terangan, dia hanya mampu berpura-pura tuli dan terus memainkan ponselnya, tidak memperdulikan mereka yang masih terus mengejeknya. Dia harus tetap sabar dan tahan demi menyelesaikan sekolahnya.

Matanya tidak sengaja tertuju pintu masuk, dia melihat pria sedang menatapnya, Laras balik menatap meminta belas kasihan. Bukannya kasihan pria itu malah pergi begitu saja. Laras mengejarnya, laju jalan pria itu lebih cepat dan besar darinya butuh larian untuk bisa mengejar agar bisa menyeimbangkan. Pria itu berjalan berbelok ke belakang sekolah, seolah memang mengajaknya untuk berbicara empat mata.

"Bantuin gue sama seperti lo bantuin dia." kata Laras saat mereka berhenti dan saling tatap.

"Gue gak pernah bantuin orang, apa yang gue lakuin itu cinta, dan gue gak cinta sama lo." kalimat itu sedikit sesak di dengarnya, Laras menatap Agil masih dengan raut yang sama, meminta di kasihani.

"Masih kurang? Apa perlu Aulia gue buat celaka lagi?!" kali ini nadanya mengancam, Agil sama sekali tidak takut atau ngeri. Tatapannya semakin tajam, risih dengan perlakuan gila darinya.

"Gue minta lo berhenti jadi orang gila, kalo udah waras mungkin gue bisa bantu." Agil memutar badan dan berjalan beberapa langkah lalu terhenti kembali setelah lawan bicaranya kembali bersuara.

Sepertinya kata-kata saja tidak cukup untuk gadis gila yang terlalu obsesi seperti Laras. Hanya kata saja tidak membuatnya berhenti untuk mendapatkan apa yang dia mau. Harus setajam apalagi kalimat untuk bisa membuatnya sadar. Agil tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan nya, yang terdengar hanya nama Aulia di ujung. Sensitif sekali nama itu didengar membuat darahnya naik pitam. Berhenti menyebut namanya, berhenti menyakiti orangnya. Kali ini emosinya tidak terkontrol, Laras benar-benar melewati batas. Kalo begini Agil tidak bisa menahan amarahnya sekali pun Laras adalah perempuan. Agil meludah ke depan dan hampir mengenai sepatu Laras, dia menatap Laras sangat tajam.

"Kalo lo berani, jilat." dia menatap ludahnya di tanah. Laras terdiam tidak menyangka dengan apa yang Agil lakukan, secara spontan dan mengejutkan.

"Kalo lo jilat pun, gue gak mau sama lo. Kotor dan lebih menjijikkan daripada ludah gue."

"Lebih kotor dan menjijikan lagi orang kayak lo yang berperan sok sebagai pahlawan." Agil tersenyum, orang yang mencuri pendengarannya terpancing untuk keluar dari persembunyiannya.

Dari tadi Agil sudah tahu ada dua orang yang mengikutinya di belakang dan dia juga menyadari persembunyian Danial, akhirnya dia memunculkan diri, lalu sekarang siapa yang menjadi pahlawan kesiangan kalau begini?

Agil menatap Danial membaca ekspresi wajah, sudah kelihatan jelas ada sesuatu dari Danial untuk Laras. Agil mengangguk, membuat Danial semakin kesal, itulah yang memang diharapkan Agil.

"Atau mungkin pura-pura jadi sahabat yang baik ternyata dia juga yang terang-terangan nusuk dari depan?"

"Lo tau soal ini dan lo juga yang diam."

Lalu dia harus berbuat apa? Mengatakan sebenarnya pelaku dibalik semua ini adalah sahabatnya sendiri? Mengatakan kebenaran dan bilang tentang kebusukan mereka? Tentu Agil bersedia jika Aulia lansung percaya, jika Aulia memang tidak mengaggap mereka adalah sahabat dan sudah seperti keluarganya sendiri. Sudah pasti Agil membongkarnya sejak awal dia tahu siapa pelaku sebenarnya. Sayangnya Aulia terlalu percaya dan yakin bahwa mereka mungkin saja bisa menembak Aulia dari jarak dekat.

Lalu jika iya dia tahu sebenarnya, sehancur apa nanti perasaannya? Agil memilih diam sambil memikirkan cara agar Aulia tidak terluka, tapi belum sempat itu terpikirkan mereka sudah melangkah satu langkah memikirkan cara untuk melukainya. Dan semua itu terjadi begitu saja.

"Bawa dan jaga dia, gue udah selesai urusan sama lo berdua."

Agil berlalu begitu saja membiarkan dua orang yang terdiam menatap kepergiannya, tangan Laras ditahan Danial untuk pergi mengejar Agil. Laras hanya diam, tidak dapat berkutik.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang