TigaPuluhEmpat

20 4 0
                                    

Aulia membuka pintu, lampu ruang tengah masih menyala. Sepertinya Wildan masih menonton televisi. Aulia masuk berniat ingin naik dan segera tidur. Suara terdengar menghentikannya di tangga pertama.

Aulia menoleh dan membulatkan mata. Dia melirik jam kembali di atas dinding. Sekarang baru jam tujuh malam kedua sepasang suami istri itu sudah pulang?

"Wildan dapet nilai bagus kak, liat deh." ujar sang papa sambil memperlihatkan kertas ulangan milik Wildan.

"Liat Aulia, adikmu pintar pasti dapet juara pertama ini di kelas," sambung mama.

Air mata sudah menampung di ujung pelupuk matanya. Sakit ini lah sakit yang sesungguhnya. Dadanya terasa ditusuk berulang kali dengan benda tajam yang di panaskan terlebih dulu.

Alasan inilah yang menjadikannya menangis didepan Agil, ini pula alasan betapa sakitnya saat Laras dipuji satu kelas, ini pula yang menjadikannya alasan untuk belajar lebih keras.

Hanya untuk mempertahankan posisi pertama di sekolah. Hanya agar orang tuanya tidak pulang lebih awal untuk memberi selamat kepada adiknya. Hanya untuk itu...

Tapi, semua gagal.

Gagal total. Semua yang sudah ia pertahankan selama empat tahun sudah gagal karena kecerobohannya. Tidak ada lagi rapat mendadak, tidak ada lembur, tidak ada klien yang harus diurus. Semua dinomor duakan hanya untuk Wildan.

Apa yang lebih sakit dari ini? Tidak dianggap dari orang tua sendiri lebih menyakitkan dari apapun.

"Kak gue sama mama papa mau nonton, lo mau ikut nggak?"

"Nggak gue cape mau tidur." jawab Aulia lansung naik ke atas.

Air yang ditampungnya kini keluar begitu saja dengan deras. Ia menjatuhkan tubuhnya dengan keras ke ranjang. Memiringkan tubuhnya dan memeluk sendiri tubuhnya untuk merasa lebih tenang.

"Asal lo tau bang, semenjak lo hilang semua dari gue juga hilang. Gue nggak minta apapun gue cuma minta lo balik!"

"Gue capek bang, kalo boleh gue aja yang pergi!" Aulia semakin hilang kendali, air matanya terus mengalir.

"Lo kenapa sih egois banget." Wildan berdiri depan pintu, matanya merah menahan emosi.

"Lo yang egois Wil, lo nggak tau gimana rasanya jadi gue. Setiap pagi selalu ada bekel tapi cuma satu di atas meja, pulang sekolah kamar lo udah rapi, bahkan motor aja cuma buat lo. Gue? Gue mana?!" teriaknya.

"Lo sekali aja ngertiin orang bisa nggak sih, jangan egois Au, maunya lo terus yang di ngertiin!"

"Kurang ngerti apa gue? Empat tahun Wil, empat tahun gue ngerasa pulang ke rumah selalu asing, ngerti bagian mana maksud lo?" suara Aulia tercekat.

"Ngertiin mama itu butuh waktu, mama stres mikirin abang. Lo pikir orang tua mana yang bisa ikhlas gitu aja dengan kehilangan anaknya?"

"Keluar." usir Aulia.

"Jangan egois Au,"

"Gue bilang keluar!" teriaknya.

"Disini bukan cuma lo yang sakit, semuanya juga sakit kehilangan Abang,"

"KELUAR!" bentaknya.

Wildan menunduk memendam emosinya. Perlahan pria itu mundur dan keluar. Aulia memukul bantal didekatnya. Dering ponsel berbunyi. Aulia tidak ingin berbicara kali ini, ia menekan tombol merah untuk menutupnya.

Pikirannya kacau, sebelum akhirnya suara mobil terdengar bergerak dan keluar dari pekarangan rumahnya. Air matanya turun kembali kali ini dengan isakan yang kencang.

Agil SaputraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang