(39) Kemungkinan Terburuk?

76 15 7
                                    

Happy reading

please vote if you know how to respect author's work!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

please vote if you know how to respect author's work!

••••

Setelah beristirahat sejenak di rumah sakit selama dua hari, Areta diperbolehkan pulang sore nanti. Selama di rumah sakit juga ia gunakan untuk re-charge energi yang terbuang. Menenangkan hati dan pikirannya, mencoba untuk tidak memikirkan sesuatu yang membuatnya mentalnya kembali terguncang. Meski sulit, setidaknya dirinya harus berusaha, kan?

Hari ini Tara belum datang, tak tahu juga ada urusan apa. Tapi laki-laki itu sudah berjanji akan menjemputnya di sore hari dan mengantarnya pulang. Tara sempat menginap satu hari di sini, tepat saat dirinya datang pertama kali setelah selesai touring dengan teman-teman prodinya. Dan sekarang, di ruang rawat Areta hanya ada Devan dan Tante Sherrin. Azril, adiknya itu sedang ke sekolah karena harus mengurus sesuatu.

"Lepas infus berarti sore nanti, ya?" Tanya Sherrin, istri dari Om nya.

"Iya, Tante."

"Pulangnya nunggu Om pulang kerja berarti, ya, tapi agak sorean soalnya kayak lagi sibuk."

"Aku di jemput Kak Tara, kok, Tan. Nanti sore dia kesini."

"Ohh, yaudah kalo gitu." Ujar Sherrin. "Tante ke kamar mandi bentar, ya? Dev, jangan kemana-mana."

"Halah, Buk, Reta tuh udah sehat nggak perlu dijaga bener-bener." Ujar laki-laki berpakaian kemeja dan celana jeans itu.

"Tetep! Nggak boleh pergi-pergi kamu."

Devan berdecak kecil, dan Areta hanya terima tersenyum geli. Setelah Sherrin pergi, tinggallah hanya mereka berdua disana. Devan yang tadinya duduk di sofa, berpindah ke bangku samping ranjang. Mendekat pada Areta yang duduk bersandar di sandaran ranjang yang ditinggikan.

"Gue udah tahu dari Azril, loh." Ujarnya tiba-tiba membuat Areta langsung gelagapan dan menilik pintu kamarnya.

"Maksudnya?"

"Santai, adek lo cuma ngomong ke gue doang. Nggak usah tegang." Perkataan Devan membuat Areta menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Lo yakin sama keputusan lo?"

Areta menghendikkan bahunya. "Nggak tau. Saat ini gue cuma pengen kayak gini dulu. Berat, tapi—"

"Secinta itu sama dia?"

Areta mengangguk sambil memandang Devan yang barusan memotong perkataannya. Devan kini yang menghela napas panjang, bersedekap dada dan duduk rileks senderan ke belakang.

Rain In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang