(3) Keraguan

171 40 6
                                    

Happy reading

please vote if you know how to respect author's work!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

please vote if you know how to respect author's work!

••••

Andai sebuah kejujuran dan perubahan adalah proses yang mudah, akan kulakukan sejak lama dan tidak akan ada yang terluka seperti sekarang — Tara.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Sebelumnya gue mau tanya, lo punya alergi serbuk bunga?" Tanya Tara pada Areta saat itu, sedang duduk bersama di gazebo dekat kantin.

"Enggak." Balas Areta santai.

"Kalau gitu gue mau kasih lo bunga ini." Imbuh Tara sambil menyodorkan bunga mawar dihadapan Areta, yang berhasil membuat gadis itu menjerit keras-keras di benaknya. "Cara kayak gini emang udah basi banget, gue tau. Tapi emang gue bukan cowok romantis yang setiap saat bisa ngasih kata-kata puitis waktu mau nembak cewek yang dia suka. Dek, gue suka sama lo. Jangan tanya alasannya, karena juga gue nggak tau kenapa bisa gue cinta sama lo dari sekian banyak cewek di kampus ini. Gue yakin lo udah tau perasaan gue, terima bunga ini dan lo jadi cewek gue atau... buang bunga ini kalau lo nolak gue."

Saat itu Areta diserang gugup luar biasa. Tangannya keringat dingin. Tubuhnya lemas. Kakinya seakan tak bisa menapak tanah saking lemasnya. Matanya tertuju pada bola mata Tara, mencari sebuah candaan yang jujur tak ia harapkan. Ia masih tak percaya, cowok yang ia suka ternyata juga menyimpan perasaan yang sama seperti dirinya. Ingin sekali ia langsung mengangguk dan mengambil bunga yang masih Tara sodorkan padanya, tapi tangannya kaku.

Tara masih terlihat serius dan tak pernah membuang arah pandangnya dari mata indahnya, membuat Areta bingung dan tambah deg-degan. Dia takut pulang kuliah dia akan masuk rumah sakit karena jantungnya tiba-tiba bermasalah karena berdetak lebih cepat dari tempo yang seharusnya. Dia masih bergeming, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Hingga suara Tara kembali menyadarkannya.

"Dek?"

"Eh, iya, Kak?"

"Gimana? Mau jadi pacar kakak?"

Areta kembali bungkam. Mengulum bibir setipis mungkin dan sibuk memainkan kuku-kukunya resah. Di satu sisi dia senang dan ingin menerima Tara, namun di sisi lain dia juga takut kalau kakak tingkat di depannya ini hanya bermain-main. Sudah cukup dia sakit karena lelaki seperti dulu-dulu. Meski kisah cintanya dulu juga terkesan bodoh dan kekanakan.

"Kalau lo mikirnya gue main-main, jangan takut. Gue serius suka sama lo. Gue nggak bisa menjanjikan apa-apa karena gue cuman manusia biasa yang nggak bisa meramalkan masa depan. Tapi gue bakal usaha buat bikin lo seneng selagi jadi pacar gue dan selagi gue bisa. Gue bukan cowok nakal, ya meski jiwa nakalnya seorang cowok tetep ada. Jadi... gimana?"

Rain In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang