(11) Servis Motor

127 22 4
                                    

Happy reading—

please vote if you know how to respect author's work!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

please vote if you know how to respect author's work!

••••

Berbulan-bulan tidak tampil karawitan — lebih tepatnya mengiringi jalannya suatu lomba dimana dia harus bermain gamelan — ternyata cukup menguras energi. Sudah seharian Daffa berada di Gedung Soetedjo, dan sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam belum juga selesai. Tubuhnya pegal, dan Daffa takut akan terkena ambeyen karena sedari tadi hanya duduk terus.

Untungnya, sekarang mereka sedang mengiringi peserta terakhir. Tinggal beberapa menit durasi waktu itu berakhir dan tugasnya akan selesai. Daffa sudah kangen dengan kasur di kamarnya dan ingin menidurinya.

"Daf!"

Dengan tangan yang masih sibuk memukul bonang, Dafa menoleh kearah kirinya untuk melihat Chandra yang barusan berteriak padanya — karena suaranya teredam oleh berisiknya suasana gedung.

"Ngapa?" (Kenapa?)

"Nyong gathekna ket mau rika ndheleng mbak jakarta." Ujar Chandra sambil senyum-senyum sendiri.
(Gue perhatiin lo dari tadi ngeliatin si Mbak Jakarta).

Daffa memutar bola matanya, Chandra adalah tipe orang yang sangat tak tahu malu. Bagaimana bisa dia memalukan dirinya dengan teriak-teriak mengomentari apa yang dia lakukan.

"Nyong si duwe mripat, Chan." (Gue punya mata, Chan).

Chandra hanya tertawa, lalu pandangannya kembali fokus pada kain putih ditempel di paling belakang panggung dan melihat bayang-bayang wayang yang sedang dimainkan oleh peserta terakhir.

Daffa, entah kenapa sedari tadi pandangnya tertuju pada Areta. Iya, Areta. Rasanya geli, hanya sebatas tahu nama tapi berani menyebut nama gadis Jakarta itu. Tapi tidak ada larangan menyebut nama orang, kan?

Daffa juga tak tahu apa alasannya kenapa matanya selalu tertuju pada gadis unik itu. Padahal sedari tadi yang diperhatikan malah asik lendot-lendot sama pacarnya. Tertawa bersama, sesekali bercanda, juga tak jarang Daffa melihat wanita berkerudung pasmina yang lebih dewasa duduk di samping Areta ikut tertawa. Ibunya? Daffa tak yakin. Soalnya kelihatan masih muda. Dan laki-laki berkulit putih dengan setelan semi-formal — kemeja batik warna biru dengan outer hitam — yang duduk di samping wanita dewasa itu Daffa yakini adalah Ayah Areta.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rain In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang