Part 5

655 35 1
                                    

Zayan memasuki rumah mewah milik orang tuanya dengan langkah lebar. Dia ingin cepat-cepat membersihkan tubuhnya yang sudah lengket dengan keringat.

Brak

Pintu kamar tertutup dengan kasar, Zayan melempar tas miliknya sembarang arah dan bergegas pergi ke kamar mandi yang terletak di kamarnya.

Setelah membersihkan tubuhnya, suara ketukan pintu mengurungkan niat Zayan yang hendak merebahkan dirinya ke atas kasur empuk itu.

Pintu terbuka menampakkan seorang wanita paruh baya yang tersenyum hangat.

Wanita paruh baya itu berjalan menghampiri sang anak. "Tumben kamu pulang gak teriak-teriak manggil bunda? Biasanya kalau pulang langsung teriak nyari bunda."

Zayan tersenyum mendengar itu, "Iya bun, tadi abang pengen cepet-cepet mandi. Badan abang udah lengket banget sama keringat."

"Yaudah, sekarang udah kan mandi nya? Yuk turun, kamu makan dulu! Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu."

"Wah beneran bun? Ayo kalo gitu." Dengan tak sabarannya, Zayan menarik lengan sang bunda.

Sesampainya di meja makan, Lusiana Shafira, bunda Zayan itu langsung mengambilkan makanan untuk anak pertamanya.

"Makasih bun. Bunda udah makan?" tanya Zayan menatap lembut bunda tercintanya.

Jika diluar rumah, Zayan memang terkenal dingin, irit bicara dan tidak peduli dengan sekitar. Tapi jika di rumah, sikapnya akan berbanding terbalik dengan itu, dia akan bersikap manis, manja dan lembut jika bersama keluarganya.

"Bunda tadi udah makan kok sama ayah kamu. Tadi ayah kamu nyempetin pulang buat makan siang bareng bunda."

Zayan tersenyum mendengar itu, ayahnya memang akan melakukan apa saja demi membuat istri atau anak-anaknya bahagia.

"Kalo Ara kemana bun? Kok gak keliatan."

Caramel Pradipta, adik perempuan Zayan satu-satunya yang masih berumur 5 tahun itu tumben sekali tidak menampakkan batang hidungnya di depan Zayan. Biasanya ketika Zayan pulang sekolah, adiknya itu akan terus menempel padanya.

"Ara lagi main sama temennya. Udah kamu lanjutin dulu makannya, nanti abis itu boleh tanya-tanya lagi. Gak baik tau makan sambil ngomong."

Zayan mengangguk mendengar itu. Dia melanjutkan memakan makanan yang sangat enak menurutnya. Memang masakan seorang ibu itu yang paling enak pokoknya.

Lusiana yang melihat anaknya makan dengan lahap itu tersenyum. Dia bersyukur karena anak dan suaminya selalu menyukai makanan yang dibuatnya.

"Bunda ke belakang dulu ya bang. Kalo udah selesai makannya, taro piringnya di tempat cuci piring ya. Nanti biar bunda cuci."

"Gak usah bun, cuci piringnya sama abang aja, biar bunda gak capek." Satu lagi kebiasaan Zayan ketika di rumah, dia akan membantu sang bunda mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dia seolah tak ingin bundanya itu terlalu capek. Jadi selagi dia bisa membantu, dia akan melakukannya.

Di rumah yang terbilang besar ini, ah tidak sangat besar, Lusiana tidak memperkerjakan seorang pembantu rumah tangga. Untuk sekarang ia hanya ingin melakukannya sendiri, tapi jika lama kelamaan dia merasa kelelahan, mungkin dia akan membicarakan tentang memperkerjakan seorang pembantu rumah tangga dengan suaminya.

"Yaudah, makasih udah mau bantuin bunda. Bunda ke belakang ya." Setelah mendapat anggukkan kepala dari Zayan, Lusiana meninggalkan Zayan sendiri di ruang makan.

"BUNDA ALA PULANG!!" tak lama setelah kepergian bundanya ke belakang, suara teriakan nyaring dengan nada cadel itu memasuki indra pendengaran Zayan.

"ABANG!!" lagi-lagi anak kecil itu berteriak nyaring memanggil kakak laki-lakinya. Kebiasaan bocil satu ini memang suka sekali berteriak.

Zayan yang telah menyelesaikan acara makannya itu menoleh kearah sang adik yang tengah berlari kearahnya.

Hap

Zayan menangkap tubuh mungil adiknya dan membawa tubuh itu ke gendongannya.

"Ara abis darimana? Abang pulang kok Ara gak ada?" tanya Zayan dengan tangan yang mengusap keringat adiknya yang menetes di dahi lebar yang tertutupi poni itu.

"Ala tadi abis main sama temen Ala," balas Ara menatap mata abangnya.

"Ara, bukan Ala!" koreksi Zayan membenarkan.

"Ndak bisa abang. Ala susah ngomongnya."

"Pasti bisa. Masa udah besar masih gak bisa nyebut huruf r, emang mau nantinya diledekin sama temen-temen Ara?"

"Ndak mau. Yaudah nanti Ala belajal lagi sama bunda. Bunda dimana abang?" tanya Ara dengan kepala yang menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok bundanya.

"Bunda di belakang. Sana Ara samperin bunda, abang mau cuci piring dulu, nanti abang nyusul." Zayan menurunkan Ara dari gendongannya. Setelahnya bocil satu itu segera berlari kearah belakang rumahnya.

"Jangan lari Ara!" Zayan menggelengkan kepalanya melihat adiknya yang berlari dengan semangat untuk menghampiri bundanya.

***

Pagi kembali menyapa, Aleana kini tengah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, ia tak ingin telat lagi. Sudah cukup sekali dia dihukum karena telat, dia tidak ingin mengulanginya lagi.

Aleana berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Disana terlihat papi nya yang tengah duduk sambil meminum kopi.

"Selamat pagi papi!" Aleana mengecup pipi Damian setelah mengucapkan ucapan selamat paginya.

"Pagi juga princess kesayangan papi. Ayok sarapan!" ajak Damian menatap wajah cantik putrinya.

Aleana duduk di samping papi nya dan mengambil dua lembar roti tawar dan mengoleskan selai kacang kesukaannya.

"Papi, hari ini aku mau dianterin papi ya!"

"Loh tumben? Biasanya kamu mau bawa mobil sendiri."

"Gak papa, pengen aja berangkat sama papi. Papi mau kan nganterin aku ke sekolah?"

"Mau dong. Apa sih yang enggak buat princess kesayangan papi ini." Damian mengelus rambut Aleana dengan lembut.
"Yaudah lanjutin sarapannya! Nanti kita berangkat."

***



Vote dan komennya jangan lupa gaiss!!💙


Accismus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang