32. Hadiah

201 28 5
                                    

Happy reading 💞

******

"Awshh... pelan-pelan dok," gumam Ginara. Leon dan kedua kakaknya juga ada disana. Mereka seperti body guard Ginara.

"Kenapa sampai luka sih? Pa?" tanya Artha pada Leon.

"Dia mungkin berusaha melepas tali yang diikat ditangannya." Leon menjawab pertanyaan Artha.  Ginara dibawa ke rumah sakit dimana Artha dirawat. Dia juga dapat kabar bahwa besok kakak tersayangnya itu bisa pulang ke rumah.

Artha tidak bisa marah, toh dulu juga Ginara sendiri yang berkeinginan mampu bela diri. Artha hanya bisa mengelus rambut Ginara.

"Adik Abang emang pada hebat," puji Artha.

"Abang juga paling hebat," jawab Ginara. Sebenarnya, Artha mengajaknya berbicara karena sedang mengalihkan pandangan Ginara pada pergelangan tangannya yang sedang diobati.

"Oh iya, Abang nanti lusa mau hadir ke pernikahan Melvian?"

"Eum, hadir dong, Pa. Kan temen Artha. Masa iya gak hadir di momen spesialnya."

"Sudah selesai. Jangan lupa perbannya  diganti tiga kali sehari ya. Ini salep buat lukanya. Kalau merasakan keluhan sakit. Saya juga memberikan obat antibiotik yang ini. Semoga cepat sembuh." Dokter itu berbicara panjang lebar pada Ginara.

"Tuh denger kan? Awas aja kalo gak dioles atau kamu bohong kalo itu gak sakit. Papa suruh kamu kuliah S2 di Jepang. Kamu tinggal sama kakek disana. Mau?" ancam Leon agar Ginara menuruti perkataan Dokter tadi.

Ginara menggelengkan kepalanya dengan cepat kala mendengar kata 'kakek'. Pasalnya kakaknya yang tinggal di Jepang itu sangat keras didikannya.

"Iya, Pa. Nara bakal nurut," jawab Ginara.

Saat Ginara selesai diobati oleh dokter, tepat pintu ruangan dibuka, Haydan datang dengan nafas yang tersendat-sendat. Leon dan Artha menatap Haydan dengan seksama.

"Om, izin pinjem anaknya boleh?" tanya Haydan dengan sedikit memberanikan diri.

"Boleh kok. Adik kamu gimana? Gak ada yang luka parah kan? Gara dimana?" Leon memberikan pertanyaan bertubi-tubi. Haydan bernafas lega,jujur dia takut melihat wajah Leon yang dingin auranya.

"Alhamduillah gak luka parah. Cuman bared doang Om. Oh Gara tadi kayaknya ke rumah deh. Om bentar ya nanti anaknya dibalikin kok." Haydan berpamitan dengan sopan sembari bersalaman dengan Kakak dan Ayah Ginara.

"Iya hati-hati ya. Itu kalo Ginara bandel marahin aja."

"Tenang, Om. Ginara mah anak baik." Haydan menjawabnya dengan tersenyum. Sebelah tangan dia gunakan untuk menggandeng bahu Ginara. Karena jika memegang pergelangan tangannya itu tidak mungkin.

"Perasaan kemarin mereka suka berantem deh, Pa. Tapi ikut seneng mereka akhirnya jadi pasangan." Artha bergumam dekat Leon saat mereka sudah pergi.

"Iya, Papa seneng. Tapi Papa takut," jawab Leon.
Aftha mengerutkan kenignya.

"Takut kenapa?"

"Iya takut kebablasan. Tau aja kan mereka nempel gitu."

"Iya sih, Pa. Ya kita kan sebagai lelaki tau lah gimana." Artha sekarang mengerti kenapa Leon mengatakan bahwa ia takut.

"Iya makannya dari itu. Papa mau bilang ke Abang nih sebagai anak paling tua, Abang gapapa kan kalo adeknya duluan yang nikah?" tanya Leon yang duduk di samping Artha.

Mereka jalan-jalan di atas rooftop rumah sakit.  Sambil menikmati hamparan langit hitam yang nampak gemerlap.

"Gapapa kok. Artha juga seneng Ginara gak jatuh ke cowok yang salah. Artha tau betul gimana watak Haydan. Dia bisa jaga Ginara dengan baik. Pa, Artha mah ya mau Adek duluan nikah gapapa. Abang masih nunggu Jian sadar," jawab Artha. Leon menatap anaknya dengan sendu kala mendengar nama Jian.

(Not) My Foe || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang