Chapter 42

100 11 0
                                    

Minal Aidin wal Faidzin bagi readers yang merayakan!

Enjoy!

Di tempat yang jauh dari tanah airnya, seorang wanita sedang bersandar di kursi santainya menikmati suara ombak laut dari atas kapal pesiar mewah. Sesekali ia menyeruput segelas champagne mahal, merayakan awal dari kemenangan atas rencananya. Semburat senyuman seolah tidak hilang dari bibir tebalnya membayangkan penderitaan wanita yang telah membunuh suaminya.

Tak jauh darinya, seorang gadis tidak sesenang wanita itu. Hatinya sesak, merasakan penyesalan mendalam yang terus menyiksa. Ia memandangi ponselnya, berharap seseorang membalas pesan yang ia kirimkan.

Gadis itu tersadar dari lamunan ketika ponselnya direbut.

"Kak!"

Laki-laki yang merebut ponselnya tertawa remeh membaca chat yang dikirimnya.

"Lo masih hubungin cowok itu? Ngarep dimaafin terus dipacarin?" tanya laki-laki itu mencibir, "naif banget lo, Rain!"

Rain merebut kembali ponselnya dari kakaknya, tiba-tiba ia mendapat dorongan kasar pada kepalanya hingga ia hampir saja terjatuh dari kursi yang diduduki.

"Devano!" panggil wanita tadi membuat laki-laki bernama Devano pergi meninggalkannya.

Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya mengalir, Rain terisak menangisi keadaannya. Sejak kematian Papanya yang tidak pernah ia ingat, Mamanya dan kakaknya tidak pernah memperlakukannya layaknya keluarga.

Dipukul, ditendang, dilempari benda-benda tumpul. Ia telah merasakan semua itu sejak masih belia. Seakan mereka hanya menganggapnya sebagai benalu dalam keluarga dan diperalat untuk mendekati Leander, anak dari wanita yang dikatakan Mamanya sebagai pembunuh Papanya.

Rain tidak mengerti bagaimana Papanya dibunuh.

Rain bahkan tidak pernah melihat foto Papanya.

Yang ia tahu, adalah Mamanya memiliki dendam besar pada orangtua Leander. Seharusnya waktu itu, ia menuruti perkataan laki-laki itu.

Ingatannya berputar pada kejadian dua hari yang lalu, ia tidak menyangka perbuatan Mamanya bisa membahayakan nyawa adik Leander.

Sekarang nasi telah menjadi bubur, ia semakin terjebak dalam penjara tak kasat mata Mamanya. Leander sudah tidak mempercayainya, ia kembali sendirian.

Tenggelam pada kesepian menyiksa seperti saat sebelum ia mengenal laki-laki itu.

Maaf, Lean. Aku terlalu lemah untuk melawan.

_~_

Leander membaca sekilas pesan dari gadis yang mengkhianatinya. Pesan-pesan itu berisikan permintaan maaf, namun maaf saja tidak akan merubah kekecewaannya. Perbuatan keluarga Rain terhadapnya dan Liora sangat keterlaluan. Ia tidak akan pernah memaafkan gadis itu, bila efek dari suntikan itu dapat merenggut kebahagiaan adiknya.

"Lean," panggil Liora baru keluar dari ruang pemeriksaan. Plester kecil terlihat di lengan adiknya. Setelah menemukan alasan yang tepat, akhirnya kedua kembar itu pergi ke rumah sakit Bakti Mulia untuk memeriksakan kesehatan Liora.

"Udah?" tanya Leander lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

"Iya, hasilnya sejam lagi kayaknya. Mau cari makan siang dulu?"

Leander mengangguk dan merangkul adiknya berjalan keluar rumah sakit.

Tanpa mereka sadari seorang pria mengawasi dan mengikuti mereka.

"Mereka di rumah sakit Bakti Mulia, Nona baru keluar dari ruang pemeriksaan. Baik, Nyonya, saya akan ikuti." lapor orang itu pada seseorang di seberang.

P.S Don't Tell Anyone [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang