Chapter 48b (17+)

114 7 0
                                    

Chapter ini diperuntukkan untuk pembaca berusia 17 tahun ke atas. Berisi adegan penyiksaan, menjijikan, pembunuhan disertai kata-kata kasar. Bagi yang tidak nyaman boleh diskip ke chapter selanjutnya.

Devano terbangun ketika sekujur tubuhnya diguyur air dingin, kedua tangannya membentang terikat dengan rantai hanya lampu pijar yang memancarkan cahaya remang-remang, ia menengok ke bawah ketika merasakan kakinya digerogoti sesuatu.

Betapa terkejutnya laki-laki itu melihat kedua telapak kakinya di antara puluhan tikus berusaha keluar dari kotak akuarium.

"TOLONG! TOLONG! ARGH!" Kakinya yang memberontak membuat tikus-tikus itu bercicitan keras dan menggigit mencakar jari-jari kakinya.

Seluruh lampu menyala memperlihatkan sudut tempat itu, di tengah ruangan Alrine dengan wajah datarnya menyaksikan laki-laki itu meraung-raung tersiksa.

Melihat cipratan darah di akuarium, membuatnya menyuruh anak buahnya meminggirkan tikus-tikus itu dari kaki Devano.

Devano bernafas tersenggal-senggal, merasa lega terbebas dari tikus-tikus itu.

"Udah siap bicara?" tanya Alrine masih dengan nada biasanya. Ia sudah sepakat dengan iblis dalam dirinya untuk tidak mengganggu selama ia menginterogasi laki-laki itu.

"Maaf, tante, saya cuma ngikutin perintah." jawab Devano serak karena suaranya mulai habis.

Alrine memutar matanya tak percaya, "perintah siapa?"

Laki-laki itu diam membuang pandangannya dari Alrine.

"Taruh lagi tikus-tikus itu," suruhnya pada anak buahnya.

"Amelia! Nama Mama saya adalah Amelia!" ucap Devano meninggi sebelum pria yang memukulnya akan mendekati akuarium penuh hama pengerat itu.

Alrine tersenyum miring, betapa mudahnya menyuruh anak ini menjawab pertanyaannya. Ia membawa kursinya mendekati Devano, lalu duduk santai di sana.

"Ceritakan semua yang wanita itu rencanakan, tanpa dikurangi."

Devano mengangguk, ia terpaksa menceritakan semua rencana Amelia dari awal. Tentang awal dari dendam Amelia, kecelakaan, penculikan kembar, hingga rencana akhir.

Ia tidak punya pilihan lain, mati di tangan wanita di depannya akan lebih mengenaskan daripada disiksa Mamanya sendiri. Devano jelas lebih takut wanita di depannya.

Emosi Alrine naik kembali ke permukaan mendengar kelicikan Amelia menyuntikkan sebuah penyakit pada putrinya, ia yakin itu adalah alasan mengapa kedua anaknya pergi ke rumah sakit diam-diam.

"Dimana Amelia sekarang?"

Devano menggeleng, "saya nggak tahu, Tante. Mama selalu berpindah-pindah tempat, hanya sesekali ke rumah." jawabnya jujur.

"Takut ketahuan, huh?" tanya Alrine retoris.

"Saya sudah menceritakan semuanya, Tante, tolong lepaskan saya." pinta Devano memohon.

Alrine terkekeh, "yang bener aja, kamu tadi menikmati, kan?" Tangan kanannya meraih pisau lipat di sakunya. Ia menempelkan pisau itu pada pipi Devano, "caramu mengelus pipi putriku,"

"AAARGH!" Ujung pisau nan tajam itu menari-nari, merobek pipi laki-laki itu dari telinga hingga ujung bibirnya. Darah mengucur deras mengalir dari wajah hingga leher Devano.

Pisau di tangan Alrine berpindah menuju lengan Devano, "tangan nakalmu yang meraba tubuhnya," Pisau ditusuk sangat dalam pada bisep laki-laki itu, ditariknya kembali pisau itu hingga cipratan darah segar mengotori wajahnya.

"Jawan nane! AAARGHHH!" Devano memohon namun sulit dimengerti karena pipinya sobek. Ujung pisau nan tajam kembali menusuk lengan yang lain.

Alrine menghentikan tindakannya, merasa semuanya cukup. Laki-laki itu sebentar lagi dijemput malaikat maut, kini giliran iblis di dalamnya yang akan mengantar laki-laki itu lebih cepat.

Sierra mengambil alih tubuh Alrine, yang berarti sosok itu punya waktu lama untuk bermain-main dengan korbannya.

Sosok itu mengelus pipi Devano, "Rapih banget, ya?" puji Sierra pada goresan pisau yang dibuat Alrine. Tak ayal, wanita itu adalah dokter.

"Sayangnya aku tidak bisa bermain rapih," Sierra tertawa lalu mengambil seekor tikus di akuarium tadi lalu memasukan paksa tikus itu ke dalam mulut Devano lalu menutup mulut laki-laki itu paksa.

Tikus itu mencicit keras, memberontak dan menggerogoti lidah hingga tenggorokan laki-laki itu.

"HMMMPHH!"

Sierra mendekat mendengar apa yang Devano katakan, "Apa tadi? Kurang? Oke," ia mengambil lagi tikus lain dan memasukkan tikus itu ke dalam celana Devano.

"Ups! Salah masuk!" Tawa besar sosok itu menggelegar ke seluruh ruangan.

Tubuh laki-laki itu mengejang-ngejang merasakan sakit yang tak tertahankan terus menyiksanya.

Sierra cukup terhibur dengan ide tikus milik Alrine, wanita itu cukup jenius hingga mendapatkan ide itu. Ia pun duduk menonton laki-laki itu tersiksa hingga akhir hayat.

Tak lama, nafas Devano terhenti dengan pendarahan hebat, kepalanya tertunduk hingga seekor tikus jatuh dari mulutnya.

"Cepat sekali!" keluh Sierra menepuk-nepuk wajah berlumuran darah Devano, "mana kapakku?!" teriaknya pada semua anak buahnya.

Seorang pria berjubah hitam maju memberikan kapak yang diminta, kapak di tangan Sierra pun mengayun santai menebas kepala Devano.

Kepala itu jatuh menggelinding, ia kembali menebas kedua lengan dan pinggang milik laki-laki yang sudah tak bernyawa. Potongan tubuh dan organ-organ terletak di lantai, cipratan darah mengotori sepatu yang dipakai Alrine.

Tak salah lagi, sosok itu akan diomeli karena mengotori sepatu kesayangan pemilik raganya.

"Masukkan kepalanya di dalam kotak, dan kirimkan kepada Amelia. Bilang hadiahku untuknya." perintah Sierra langsung dituruti oleh para anak buahnya.

Setelah sosok itu selesai dengan kesenangannya. Alrine kembali mengambil alih tubuh, ia berdecak kesal melihat seluruh pakaiannya kotor oleh noda darah. Tak pikir lama lagi ia menuju ke lantai atas, tempat dirinya selalu membersihkan diri.

P.S Don't Tell Anyone [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang