Chapter 4

245 18 0
                                    

Kalo nggak ada halangan, hari ini ku publish 3 chapter. Okey.

Happy reading,

Enjoy!

"Nak Liora baik-baik aja, dari hasil CT-Scan dan Rontgen tidak ada yang mengkhawatirkan. Setelah dijahit lukanya akan pulih dalam beberapa minggu." jelas seorang dokter spesialis saraf yang bekerja di rumah sakit milik Alrine.

"Periksa lagi!" ucap Alrine dengan nada memerintah membuat dokter itu tersentak.

"Sayang," Lionel menenangkan istrinya, ia tahu betul perempuan di sampingnya ini sedang dalam mode marah besar. Siapapun di depannya akan kena imbas amarahnya. Termasuk dokter spesialis yang masih muda didepannya.

"Saya gaji anda bukan untuk asal-asalan. Periksa anak saya sekali lagi! Gunakan MRI," titah Alrine final. Bukannya ia berharap terjadi sesuatu pada Liora, tetapi ia ingin benar-benar memastikan kesehatan anaknya.

"Baik, dok." Dokter itu menunduk dan segera melakukan yang disuruh atasannya.

Lionel menatap dokter itu iba, lalu mengajak istrinya keluar dari ruangan.

"Harusnya kamu jangan gitu dong, masa kamu nggak percaya kinerja dokter rumah sakitmu?" tegur Lionel pada Alrine setelah menutup pintu.

Tatapan Alrine menajam, "Aku mau memastikan kesehatan anakku salah? Iya?!"

Lionel menghela nafas lalu meraih tangan istrinya, ia sedang tak ingin berdebat dengan istrinya yang sedang dalam emosi yang tidak stabil, "Nggak salah, aku juga mau yang terbaik buat anak kita tapi jangan kamu melampiaskan amarah pada orang lain yang nggak salah. Inget loh udah janji."

Wanita itu menunduk, matanya mulai tergenang air mata. Ia menyadari kelalaiannya meninggalkan kedua anaknya sendirian hingga mereka pergi ke tempat sepi yang rawan penculikan.

Lionel menarik Alrine dalam pelukan menenangkan, "Sekarang kamu hibur Lean, dia cukup terguncang karena kejadian tadi. Aku temenin Lio, ya?"

Alrine mengangguk lalu mengusap air matanya, ia berjalan menuju kantin rumah sakit menghampiri Leander yang duduk disamping Alrian yang sedang menemani anak itu.

"Lean masih diam, udah gue beliin makanan tapi nggak mau makan." ucap Alrian sendu. Ia tak tega melihat keponakannya yang masih kecil merasa bersalah karena kejadian yang tidak diinginkan.

Alrine mengambil piring makanan yang tak disentuh anaknya, "Lean, makan dulu ya?"

Lean hanya diam menatap Alrine, matanya mulai bergelinang air mata. Anak itu memeluk Alrine.

"Maaf, maaf, maaf, Mah," Alrine terhenyuh dengan Leander yang terus meminta maaf.

"Mama malahin Lean, Mah. Lean salah." Anak itu menangis keras hingga membuat orang-orang di kantin melihat ke arah mereka dan berbisik-bisikan.

Rumah sakit cukup heboh dengan berita anak pemilik rumah sakit yang dirujuk dengan luka di kepala. Terlebih Liora memang dikenal oleh para perawat dan dokter rumah sakit.

Alrine membalas pelukan Leander dan mengelus-elus bahu menenangkan anaknya yang sesegukan.

"Makan atau tinggalin tempat ini!" bentak Alrine pada perawat-perawat  yang terang-terangan menonton mereka. Perawat-perawat itu pun menunduk dan melanjutkan makannya.

Alrian menahan tawa karena ekspresi takut orang-orang tadi. Coba-coba saja mengganggu Alrine pada saat marah, bahkan kutu saja mati kutu.

"Lean nggak salah. Semua yang terjadi bukan salah Lean, ya. Jangan nangis, Mama nggak kuat lihat Lean kayak gini." lirih Alrine sesekali mengecup kepala anak sulungnya. Matanya memanas ikut merasakan penyesalan anak laki-lakinya yang masih sangat muda.

"Lean janji nggak akan ajak Lio pelgi sendilian lagi," ucap Lean tegas meskipun masih sesegukan.

Alrine mengulas senyumnya, "Mama percaya Lean kok. Sekarang makan ya?" bujuknya. Leander mengangguk dan membuka mulutnya saat disuapi Alrine.

"Lean mau ketemu Lio, Mah."

"Iya, habis ini ya, Lio masih diperiksa dokter."

"Lio nggak apa-apa kan, Mah?"

"Doain supaya Lio baik-baik aja, ya."

Leander langsung melipat tangan mungilnya untuk berdoa. Mendoakan kesembuhan adiknya.

Alrine dan Alrian terkagum melihat kepintaran dan kedewasaan Leander walaupun masih kecil. Kelak nanti, ia akan menjadi sosok kakak yang bertanggung jawab bagi adiknya.

_÷_

Selesai diperiksa untuk kedua kalinya, Liora diperbolehkan pulang karena lukanya hanya goresan dan benturan ringan. Rumah si kembar pun ramai dengan keluarga besar Janvers yang heboh sebab anak perempuan satu-satunya terluka dan hampir diculik.

"Lio tadi dua kali masuk kapsul loh! Ada bunyinya teet teet tit," Liora dengan perban di dahinya tampak antusias menceritakan pengalamannya yang seperti habis menaiki wahana.

Alvaren dan Brandon duduk di kasur fokus mendengar, sementara Leander dengan telaten menyuapi adiknya sepotong pizza. Sejak kejadian tadi, perhatian Leander pada adiknya semakin bertambah, anak laki-laki itu selalu menemani adiknya kemana pun bahkan ke toilet.

"Ih Alva mau juga!" sahut Alvaren polos.

"Brandon juga ah! Mau ajak Papa nanti!" timpal Brandon tak mau kalah.

Sementara di ruang tamu, para orangtua sedang berbincang mengenai penculikan tadi.

"Kamu yakin itu bukan musuh perusahaan atau... komplotan mafia teroris?" tanya Andina khawatir.

Alrine terkekeh, "Bukan, Mah. Itu cuma penculik biasa yang minta tebusan." jawabnya.

"Kali aja ada orang yang iri sama perusahaan Leo, terus kirim orang buat nyulik Lean dan Lio, semoga penculik itu cepat tertangkap."

"Papa udah suruh anak buah papa cari mereka sampe ketemu, biar membusuk di penjara." Richard menimpali ucapan istrinya.

Alrine hanya tersenyum tanpa ada yang menyadari makna senyuman itu.

_÷_

Lionel baru saja menidurkan kedua anaknya ia kemudian menuju kamarnya karena sudah larut malam. Ia mendapati Alrine dengan pakaian yang biasa dipakai untuk tugas malamnya.

"Pulang jam berapa?"

Alrine mengambil beberapa pakaian ganti dan memasukannya ke dalam tas.

"Kayaknya besok deh. Aku nginap di markas, kamu jaga anak-anak ya."

Lionel mengangguk lemas, "hati-hati."

"Besok aku kasih hadiah," Alrine menyeringai nakal lalu memberikan kecupan singkat pada suaminya.

"Ya ya ya, pergi sana sebelum kutagih sekarang." ucap Lionel disertai kekehan, Alrine mengulas senyumnya lalu melangkah meninggalkan Lionel di kamar.

***

Wah wah wah bahaya nih induk macan lagi tidur dibangunin

Ada extra part dari chapter 4, yang mengandung adegan gore. Tapi dari awalnya saya mau buku ketiga ini sedikit "aman" untuk remaja/orang nggak kuat adegan sadis. Jadi part  4b hanya untuk 17+ aja yaa!

P.S Don't Tell Anyone [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang