Enjoy!
"Liora pulang!" seru gadis yang sedang berbunga-bunga itu memasuki rumahnya. Ia menemukan Mamanya sedang duduk sambil mengemil cemilan di ruang keluarga.
Pantatnya mendarat mulus di sofa empuk samping Mamanya, ia tersenyum lebar mencetak kernyitan dahi Alrine.
"Kenapa, sih, senyum-senyum gitu?" tanya wanita itu pada anaknya.
"Lio baru ditembak, Ma," jawab Liora, alisnya kirinya naik turun.
"Sama siapa? Udah dapet restu Mama belum?" tanya Alrine menggoda putrinya.
"Belom," Liora menggeleng, "Tapi udah direstuin Mommy Sierra!" bisiknya lalu berdiri dan berlari kecil menuju kamarnya.
"Ehh, restu dia nggak valid!" ucap Alrine setengah teriak, kemudian terkekeh sendiri karena sosok di dalamnya berdecak kesal.
_~_
Leander berjalan sendiri di koridor sekolah, ia melewati kelas-kelas mulai yang sepi karena sudah lama bubar. Hanya tersisa murid-murid yang tinggal untuk bimbingan belajar, termasuk dirinya.
Sementara ia berjalan, tangannya ditarik hingga dirinya dan orang yang menarik tangannya masuk ke dalam salah satu ruang kelas.
Orang itu melepas hoodie hitam dan masker yang ia gunakan, membuat Leander memandangnya tak suka.
"Ap—" Mulutnya dibekap oleh tangan mulus gadis yang menariknya.
"Jangan berisik, suruhan nyokap gue bisa denger." bisik gadis itu lalu berjongkok dan menyuruh Leander mengikutinya.
Derap-derap langkah kaki datang, kedua remaja itu menahan nafas memburu.
"Sialan! Kita kehilangan anak itu," ucap suara laki-laki, "ayo cari di sebelah sana." Langkah kaki yang ramai itu pun perlahan menjauh.
"Lo bisa benci gue, tapi please sekali ini aja dengerin. Gue bakal ceritain semuanya rencana Mama ke keluarga kalian." ucap Rain masih berbisik.
Leander menatapnya tajam, "meskipun lo bantu gue, nggak bakal bikin gue maafin lo!"
"Terserah! Gue udah capek dengan semua ini," lirih gadis itu putus asa, "seenggaknya, gue udah berusaha jelasin dan membantu kalian sebelum gue pergi." Mungkin selamanya.
Rain membuang mukanya ketika bibirnya bergetar mulai menangis.
"Awalnya gue kira lo bisa nerima gue, seperti lo nerima perbuatan Mama lo."
"Jangan lo sebut orangtua gue, Mama gue berjuang untuk keluarganya. Lo pengkhianat!"
Rain terkekeh sekilas, "lo terlalu buta, Lean," ia mengusap air matanya yang sempat keluar, "tapi itu di luar urusan gue,"
Rahang Leander mengeras tak terima dengan ucapan gadis itu.
"Mama gue penyebab Mama lo kecelakaan, ajaibnya Mama lo masih hidup. Jadi Mama gue berniat mau menyiksa mentalnya melalui racun yang disuntikkan ke Liora agar Mama lo mau ngelakuin apa aja untuk putrinya. Termasuk..." penjelasan gadis itu terpotong menyadari sesuatu.
"Termasuk apa?"
Rain menggeleng lalu memberikan secarik kertas buku bertuliskan tanggal pada lelaki itu.
08 June. 23.45.
"Ini tanggal ulang tahun..."
"Ulang tahun Mama lo, sekaligus tanggal kematian Papa gue," Rain memberanikan menatap mata biru Leander, "dan itu tanggal Mama gue akan melancarkan rencana terakhirnya. Artinya, kalian punya waktu beberapa minggu lagi."
Leander membungkam wajahnya frustasi. Penjelasan Rain bukan membantunya, tetapi semakin menyiksa pikirannya.
"Dibalik kertas itu, ada teka-teki yang gue temuin di buku milik Mama. Gue tahu, lo cukup pintar buat mecahin teka-teki itu," Rain berdiri menggunakan hoodie dan maskernya kembali, "I know you're tired to hear this, but i'm really sorry. You were right, i should get out. But i can't." ucap gadis itu sebelum ia berlari keluar meninggalkan Leander termenung sendirian di ruangan itu.
_~_
"Aku ingin semuanya berhasil sesuai rencana, dimana pun itu. Pastikan acara itu akan sangat-sangat berkesan." titah Amelia diikuti senyuman licik pada wajahnya.
"Baik, Nyonya." Orang suruhannya menunduk hormat lalu berbalik pergi dari hadapannya.
Amelia berjalan menuju ruang kamarnya, kamar yang bernuansa putih emas, dengan dekor ruangan rapih nan mewah. Di atas ranjang, terdapat lukisan besar menggambarkan dirinya bersama suaminya yang telah lama meninggal, lukisan itu nampak rusak karena terdapat lubang pada kepala sang suami.
Wanita itu mengambil sebuah pistol dari laci lemarinya, mengokangnya agar siap digunakan. Dan...
DOR
Peluru melesat pada lukisan tepat di dada suaminya.
"Kepergianmu terlalu cepat, tapi terima kasih untuk anak harammu, polisi tidak bisa menangkapku sebelum aku membalaskan dendam kepada psikopat itu. Hahaha!" Suara tertawanya menggelegar ke seluruh kamar lalu tawanya berhenti tiba-tiba dan menyeringai.
"When family is only a name,"
_~_
"It comes to an end." sebut Liora ketika membaca kerta yang diberikan kakaknya, "keluarga siapa yang akan berakhir?"
"Targetnya pasti keluarga kita," Leander mengacak rambutnya frustasi, "pasti ada acara, dan keluarga besar kita pasti akan berkumpul."
Liora menggeleng menolak pemikiran kakaknya, "Nggak! Teka-teki ini berarti yang lain, kita nggak boleh pesimis."
"Terus apa, Lio?! I'm so afraid, i don't know what to do!" teriak Leander di depan wajah adiknya.
Laki-laki itu terduduk di lantai, "Gue nggak berguna!" gumamnya menggelamkan kepalanya di dalam lipatan tangan, ia menangis terisak.
Liora diam tak bergeming melihat kakaknya begitu kacau. Ia turut merasakan hal yang sama, ikatan batin antar kembar mereka sangat erat hingga Liora kadang merasakan sesak dan gelisah tiba-tiba. Liora tahu itu berasal dari kembarannya.
Semenjak kejadian penculikan itu, Leander menanggung beban yang berat, kakaknya itu sering begadang semalaman, selalu mengecek dirinya saat sedang tertidur untuk memastikan keadaannya.
Hati Liora tergerak untuk memeluk Leander, tidak berkata sepatah kata. Lidahnya keluh, ia tidak sehebat Mamanya yang bisa menenangkan dengan kata-kata.
Rahasia ini begitu besar untuk disimpan namun tak dapat dibagikan.
Keduanya hanya menangis dalam diam, mereka bersama tetapi merasa sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
P.S Don't Tell Anyone [HIATUS]
JugendliteraturLeander dan Liora Antares adalah kembar dengan sifat yang bertolak belakang. Putra-putri dari keluarga kaya, dikelilingi oleh orangtua serta keluarga besar yang menyayangi mereka, tampak sempurna bagi orang yang melihat. Sedikit yang tahu termasuk m...