*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***
***
"Gue gak suka lo deket-deket sama Tara!"
Satya langsung menunjukkan senyum sinisnya, lalu menghentak tangannya dari cekalan Kafka dan perlahan mencoba turun dari tempat tidur.
"Kenapa gue gak boleh deket sama Tara sedangkan lo boleh deket sama Shiela bahkan sampai rebut dia dari gue?"
Kafka terdiam, ia tahu Satya masih sangat marah namun sumpah demi apa pun, sejak awal ia tak pernah memiliki niatan untuk merebut Shiela, justru Shiela yang perlahan berjalan mendekat kepadanya sampai ia mulai merasakan perasaan lain untuk wanita itu, dan Satya sendiri yang menjadi penyebab Shiela berpaling dari pria itu.
"Gue gak suka lo deket sama Tara karena gue tahu lo cuma mau balas gue dengan cara sakitin Tara," tuduh Kafka yang membuat Satya seketika melebarkan senyumannya.
"Ide bagus, gue bahkan gak terpikirkan hal itu sebelumnya ... dan mungkin gue bisa coba, gue pengen lihat apa lo beneran akan tersiksa kalo gue sakitin Tara?"
Kafka mengepalkan kedua tangannya erat, rahangnya bahkan mengeras dan ia benar-benar merasa marah.
Kafka lalu menarik Satya, menyeret pria itu sampai keluar kamar Tara karena takut jika keributan yang ia buat akan membuat Tara terbangun.
"Gue gak suka lo deket-deket Tara karena gue tahu, lo cuma mau nyakitin Tara!"
Begitu pintu kamar Tara tertutup, Kafka menaikan volume suaranya juga mendorong Satya hingga membauat pria itu hampir terjatuh namun Satya lalu menunjukkan senyum yang membuat Kafka semakin marah.
Keributan yang dibuat Kafka berhasil membuat kedua orang tuanya dan kedua orang tua Satya terkejut. Mereka dengan cepat menghampiri dua orang yang jika dilihat-lihat seperti akan segera saling memukuli satu sama lain itu.
"Ada apa?!" tanya Lidya dengan nada paniknya, ia sudah berdiri di samping Kafka dan langsung menarik lengan putranya itu.
"Mama ngapain biarin dia di kamarnya Tara sih?" tanya Kafka dengan nada marahnya yang membuat Lidya kembali dibuat terkejut.
"Dia itu deket-deket sama Tara karena mau nyakitin Tara!" tuduh Kafka yang membuat semua orang kini langsung menatap Satya.
Haura tentu sangat terkejut mendengar tuduhan Kafka untuk putranya itu sehingga ia menatap Satya dengan tatapan bertanyanya.
"Udah berantem karena Shiela, apa sekarang kalian juga harus berantem karena Tara?!" tanya Hendra—Papa Kafka yang tampak agak emosi dan apa yang ia katakan membuat Kafka menundukkan kepalanya.
Ya, ia dan Satya sudah berkelahi karena Shiela dan kini hampir berkelahi lagi karena Tara.
"Sat ... kita pulang," ujar Haura tiba-tiba, ia tak mau ada perkelahian yang lebih dari ini dan tak mau Tara terganggu padahal wanita itu tengah membutuhkan ketenangan.
Satya tak bisa menolak saat tangannya mulai ditarik, ia hanya terus menatap Kafka sampai akhirnya harus menuruni tangga.
"Maafin Kafka ya, Sat ... nanti Tante coba tegur Kafka," ujar Lidya yang mengantar hingga halaman depan rumahnya.
Satya hanya menganggukkan kepalanya lalu akhirnya masuk ke dalam mobil bersama orang tuanya dan kembali membiarkan ayahnya yang mengemudikan mobil mereka.
"Kamu beneran mau nyakitin Tara doang, Sat?" tanya Haura begitu mobil mereka melaju dan sudah cukup jauh dari kediaman orang tua Kafka.
"Aku bahkan gak kepikiran buat lakuin itu," sahut Satya dengan wajahnya yang menghadap kaca mobil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TARA SATYA
Romance***PUBLISH ULANG SEMENTARA*** ***ABAIKAN TYPO, BELUM REVISI*** Selama ini Tara hidup dengan mempercayai jika ia wanita spesial bagi Kafka, sosok yang sejak remaja mengisi hari-harinya dan membuatnya percaya jika di dunia ini masih ada banyak hal bai...