55. Akhir?

1.2K 162 44
                                    





*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***


***

"Tara di mana?"

"Gue yakin lo pasti tahu Tara pergi ke mana, Kaf."

"Tolong kasih tahu gue Tara di man—"

BRAK!

"Gue udah bilang, gue gak tahu Tara di mana!"

Satya menatap Kafka dengan tatapan putus asanya, ini sudah sepuluh hari sejak mereka mengetahui jika Dion adalah ayah kandung Tara, dan seminggu sudah Tara menghilang tanpa kabar.

Ya, Tara pergi entah ke mana, Satya dan yang lain tak ada yang tahu ke mana Tara pergi namun beberapa hari belakangan Satya mulai mencurigai Kafka sehingga kini ia mendatangi Kafka.

"Lo bohong!" sanggah Satya yang benar-benar yakin dengan dugaannya.

"Lo pasti tahu Tara di mana karena lo gak mungkin bisa duduk tenang kayak gini kalau emang lo gak tahu dia ada di mana!"

Ya, Satya berpikiran demikian bukan tanpa sebab, ia melihat jika Kafka terlalu tenang dan itu membuatnya yakin jika Kafka pasti tahu di mana Tara berada kini.

Kafka menghembuskan napas kasarnya, ia rasa ia tak bisa mengelak lagi namun ia tetap tak akan memberitahukan apa yang ia ketahui kepada Satya.

"Kalaupun gue tahu, lo pikir gue bakal kasih tahu lo?" Kafka bangkit dari kursi kerjanya lalu menatap Satya dengan kedua tangan yang terkepal erat.

"Gue gak akan kasih tahu lo, Sat ... Karena Tara sendiri yang gak mau ketemu sama lo."

DEG

Kafka terlihat marah, namun segaris senyum sinis terbit di wajahnya di saat Satya justru bergeming karena apa yang sebelumnya Kafka katakan.

Mengapa Tara tak ingin bertemu dengannya di saat Tara tahu jika wanita itu begitu berharga untuknya?

"Ke-napa?" tanya Satya dengan gumaman pelan yang justru membuat senyum sinis Kafka kian lebar.

"Kenapa? Menurut lo kenapa? Kalau emang lo sama Tara punya hubungan yang lebih dari sekedar temen, Tara pasti gak akan pergi dari lo, Sat."

DEG

Dada Satya seketika berdebar lebih kencang, perkataan Kafka mengingatkannya pada perdebatannya dengan Tara hari itu. Perdebatan itu belum usai.

"Tara lagi butuh support dari orang terdekatnya, tapi lihat dia pergi tanpa kasih tahu lo, gue sadar kalau lo mungkin bukan orang terdekatnya Tara," sambung Kafka lagi namun Satya kembali bergeming, ia masih melamunkan perdebatannya dengan Tara hari itu.

Ini kesalahannya.

Ya, jika saja hari itu mereka tak berdebat dan ia tak membuat Tara kembali mempertanyakan hubungan mereka, Tara pasti tak akan pergi meninggalkannya seperti ini.

Alasan utama Tara pergi mungkin memang karena Dion, tapi alasan lainnya wanita itu pergi pastilah karena dirinya tak kunjung memberi Tara kepastian.

Senyum sinis Kafka perlahan pudar saat ia melihat langsung sekaget apa dan seberantakan apa Satya saat ini.

Kafka menyadari sesuatu yang ingin selalu ia sangkal.

"Tara pergi tanpa kasih tahu lo, jadi jangan paksain keadaan. Jangan paksa Tara untuk ketemu sama lo lagi kalau dia belum siap," ucap Kafka lagi dengan suaranya yang lebih pelan dari sebelumnya bahkan ada kesan memohon dalam ucapan Kafka itu.

Tara tak baik-baik saja, wanita itu butuh waktu untuk menenangkan dirinya dan Kafka tak ingin Satya menghampiri Tara lalu memberi Tara tekanan lainnya.

BRAK

"Tara, Tara, Tara! Apa di dalam kepala kalian itu isinya cuma ada Tara? Kenapa gak satupun dari kalian yang bisa ngertiin perasaanku!"

Satya dan Kafka langsung berbalik, suara pintu yang dibuka dengan kasar dan nada kemarahan itu berasal dari Shiela yang ternyata mendengar semua pembicaraan Kafka dan Satya.

Shiela masuk ke sana dengan marah namun kedua matanya justru memerah dan terlapisi air mata.

Bukan Tara satu-satunya yang terluka dan butuh perhatian, ia juga korban sama seperti Tara, kan?

Hari itu bukan hanya Tara yang mendengar kenyataan pelik, tapi Shiela juga harus mendengar jika ia ternyata bukanlah putri kandung Dion.

Shiela sama terlukanya seperti Tara, tapi Kafka dan Satya bahkan semua orang tampaknya lebih mengkhawatirkan Tara daripada dirinya.

Ini semua juga tak adil untuknya, terlebih kini ia tak tahu siapa dan di mana ayah kandungnya berada, berbeda dengan Tara yang akhirnya tahu siapa dan di mana ayah kandungnya.

Hari itu, setelah Tara mendengar perkataan Dion, situasi menjadi tak terkendali.

Tangisan, kemarahan, kebencian, kekecewaan dan kebingungan menguasai Tara tanpa bisa dibendung. Satya dan Lidya mencoba menenangkan namun itu semua percuma. Tara meluapkan segalanya di saat Dion hanya terus menangis seraya mengucapkan kata maaf yang tak bersambut.

Setelah perdebatan yang terjadi Tara lalu pergi dan tak membiarkan Satya mengantarnya, selama beberapa hari setelahnya Satya selalu datang ke apartemen Tara, Tara ada di sana namun memilih mengurung diri di kamarnya.

Tara enggan keluar untuk bertemu maupun bicara kepada Satya sampai di hari ke empat, saat Satya datang ke sana, ia tak menemukan Tara. Satya justru mendapati barang seperti sofa dan yang lainnya tertutup kain putih.

Kain itu digunakan untuk menghalau debu namun juga memberi arti jika Tara pergi bukan untuk waktu yang singkat. Tara akan pergi lama dan bisa saja memutuskan untuk tak pernah kembali ke sana.

Setelah itu Satya mencari Tara, ia telah mencari Tara ke manapun namun hingga detik ini ia tak bisa menemukan Tara.

Satya sudah kacau saat datang ke sana untuk menemui Kafka lalu semua perkataan Kafka berhasil menyadarkan Satya dari kebodohannya dan kini Satya tak memiliki waktu untuk mengurusi Shiela yang bukan siapa-siapanya.

"Satya aku lagi bicara sama kamu juga!" pekik Shiela saat melihat Satya memalingkan wajah lalu berjalan melewatinya yang baru saja berjalan memasuki ruangan itu.

"Kenapa kamu berubah, Sat? Padahal kamu sendiri yang bilang kalau kamu gak akan berubah dan akan sellau ada untuk aku walau aku pilih Kafka," sambung Shiela dengan air matanya yang sudah tak bisa lagi ia bendung.

Langkah kaki Satya terhenti, ia terdiam cukup lama namun tak repot-repot berbalik untuk menatap Shiela lalu ia tiba-tiba mengatakan hal yang membuat Shiela semakin terluka.

"Kamu punya Kafka, Kafka suami kamu, semua pertanyaan tadi lebih pantas kamu tanyain ke Kafka ... Aku ... bukan siapa-siapa kamu, dan Tara jauh lebih membutuhkan aku daripada kamu."

Dingin dan datar.

Ya, Satya mengatakan itu dengan nada datar yang dingin seakan menegaskan jika sudah tak ada lagi sedikitpun perasaannya yang tersisa untuk Shiela.

Shiela seharusnya bersyukur karena ia masih memiliki ibu juga suami. Sedangkan Tara, wanita itu benar-benar terluka sendirian.

Shiela tak mampu merespon perkataan Satya, selain terkejut, Satya juga langsung pergi seakan tak ingin memberi kesempatan untuk Shiela kembali mengatakan sesuatu kepadanya.

Satya pergi tanpa mendapat informasi yang sangat ia butuhkan dari Kafka, namun kini ada satu hal yang mengganjal di hatinya.

Jika Tara memang tak ingin ia tahu di mana keberadaan wanita itu, haruskah Satya berhenti mencari Tara?

Apakah ini balasan untuknya yang tak kunjung memberi kejelasan untuk Tara?

Dan apakah ini menjadi akhir dari kisahnya dengan Tara?

***











TARA SATYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang