47. Penolakan

1.2K 154 19
                                    



*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***




***

"Cewek sial itu mati?"

Dion menatap murka papanya, ia baru saja hendak kembali menumpahkan kemarahannya namun papanya justru mengerutkan dahi dengan senyum di wajahnya yang langsung pudar.

"Apa maksud kamu satu-satunya anak perempuan kamu? Shiela—"

"SHIELA BUKAN ANAK AKU!"

DEG!

"Papa bikin aku tinggalin Kirani dan nikahin wanita pilihan Papa itu di saat dia udah hamil tiga bulan! Dua puluh tujuh tahun aku simpan ini semua dan sekarang aku gak akan mau lagi jadi boneka kayu Papa!"

"Aku bakal ceraiin dia, aku gak peduli sama apa pun yang mau Papa lakuin karena aku mau hidup dengan anakku, aku mau tebus segala dosaku ke dia dan Kirani!"

"DION!"

BRAK!

Dion langsung pergi dari sana dan kembali membanting pintu dengan sangat kencang untuk melampiaskan kemarahannya namun ia sama sekali tak menduga jika saat ia keluar dari sana ia akan berjumpa dengan Yasmin yang memang menginap di sana selama ia dan Samudra berada di tanah air.

Yasmin mendengar semuanya dan ia hanya bisa mematung saat Dion menatapnya dengan mata pria itu yang masih digenangi air mata.

Dion langsung memalingkan wajahnya dan melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun, ia tak peduli lagi pada apa pun yang ada di sana karena detik itu juga yang ia inginkan adalah berjumpa Tara.

Dion ingin memberitahu Tara segalanya dan ingin segera mendekap erat putrinya itu.

Dion masuk ke mobilnya, ia belum pergi terlalu jauh saat ia mendengar nada panggilan dari ponselnya, Dion hanya melirik sekejap dan memutuskan mengabaikan panggilan itu saat melihat nama papanya yang tertera di layar ponselnya.

Nada panggilan itu terus berulang sampai akhirnya berhenti dengan diakhiri dengan nada notifikasi pesan masuk.

Dion yang baru saja menghentikan mobilnya karena lampu merah pun meraih ponselnya dan membuka pesan yang baru saja papanya kirimkan.

[Jangan berani-beraninya kamu ceraiin Ardila!]

Dion langsung keluar dari chat roomnya bersama dengan papanya hanya dengan membaca pesan pertama yang pria itu kirimkan saja.

Saat Dion hendak keluar dari aplikasi chatnya, matanya justru tiba-tiba tertuju pada nama Tara yang beberapa hari lalu memang sempat saling berkirim pesan dengannya.

Sorot mata Dion kembali menyendu, bahkan matanya langsung berkilau karena air mata yang tiba-tiba melapisi matanya.

"Maafin Papa," ucap Dion getir. "Papa janji bakal perbaiki semua kesalahan yang udah Papa lakuin."

Jemari Dion perlahan mengetuk nama Tara dan dalam sekejap tampilan layar ponselnya berubah.

Dion dengan penuh keraguan mencoba mengirimkan sebuah pesan yang menanyakan di mana keberadaan Tara dan tak lama ia langsung mendapat balasan dari Tara.

[Aku lagi di kantor, Om]

[Ada apa?]

Dion menghembuskan napas lega dengan senyum yang perlahan terukir di wajahnya. Ia lalu mengetikkan lagi sebuah pesan namun setelah mengirimkan pesan itu ia terpaksa meletakkan ponselnya lagi karena harus segera menjalankan lagi mobilnya sehingga ia belum sempat membaca pesan yang Tara berikan untuk pesannya itu.

Di tempat lain, Tara masih berada di ruang meeting bersama beberapa orang lainnya termasuk Kafka. Kafka yang duduk di sampingnya tanpa sengaja menoleh dan menatap ke arah layar ponsel Tara saat benda itu bergetar.

Kafka langsung mengernyitkan dahinya saat mendapati ayah mertuanya yang sudah beberapa hari tak pulang dan tak bisa dihubungi kini justru mengirim pesan kepada Tara dan emnanyakan keberadaan wanita di sampingnya tersebut.

Kafka langsung menatap Tara saat wanita itu meraih ponselnya dan terlihat mengetikkan sesuatu yang ia duga adalah pesan balasan untuk Dion.

"Ra," panggil Kafka yang membuat Tara langsung menoleh dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Maaf, tapi barusan itu pesan dari papanya Shiela, kan?"

Kini kedua alis Tara sama-sama terangkat, membuat alisnya saling bertautan dan perlahan ia menganggukkan kepalanya setelah mendengar jika Kafka melihat pesan yang baru ia terima.

"Kamu tahu Om Dion di mana?" tanya Kafka yang langsung mendapat tatapan tak mengerti dari Tara.

Tara bukannya mempermasalahkan Kafka yang memanggil Dion dengan sebutan Om, tapi ia mempertanyakan maksud pertanyaan Kafka tersebut.

Bukankah Kafka dan Shiela tinggal di kediaman orang tua Shiela? Seharusnya pria itu tentu lebih tahu di mana keberadaan Dion, kan?

"Om Dion udah empat harian gak pulang, gak tahu pergi ke mana dan sama sekali gak bisa dihubungin," ucap Kafka lagi yang langsung menjawab segala rasa penasaran Tara barusan.

"Aku gak tahu, ini baru aja Om Dion chat aku lagi," sahut Tara seraya menggelengkan kepalanya dan di saat yang sama ponselnya kembali bergetar sehingga ia langsung menatap lagi layar ponselnya namun tatapan mata Tara seketika berubah dan itu membuat Kafka bertanya-tanya apa yang tengah Tara baca di layar ponselnya kini.

Apakah itu pesan dari Dion lagi?

Namun apa bunyi dari pesan itu, mengapa Tara tiba-tiba menghembuskan napas kasarnya dan meletakkan ponselnya dengan agak kasar setelah membalas pesan barusan?

Kafka dibuat bertanya-tanya terlebih saat ia melihat Tara mengusap ujung matanya dan gelagatnya langsung terlihat sangat gelisah.

"Kenapa?" tanya Kafka yang menyadarkan Tara bahkan membuat Tara tersentak.

Tara dengan cepat menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepalanya namun itu tak membuat Kafka puas.

"Om Dion bilang sesuatu? Dia sakitin kamu?" cerca Kafka namun lagi-lagi Tara hanya menggelengkan kepalanya, ia tak bisa bicara karena ia yakin begitu ia membuka mulutnya ia hanya akan bicara dengan nada bergetar yang berujung pada tangis yang tak akan bisa ia bendung.

Kafka masih tak bisa mempercayai Tara namun saat ia hendak kembali bertanya, Tara justru bangkit dan pergi dari sana.

Di sisi lain, Dion masih belum mengecek pesan di ponselnya, ia terus melajukan mobilnya sampai akhirnya ia tiba di depan gedung kantor Tara dan Kafka barulah ia kembali meraih ponselnya.

Dion awalnya tersenyum dan merasa sangat tak sabar untuk menjumpai Tara namun senyum di wajahnya seketika sirna saat ia membaca pesan balasan yang ia dapat dari Tara.

[Tara, kamu mau ketemu Papa kamu?]

[Enggak.]

[Aku gak mau ketemu dia.]

[Aku gak butuh dia.]

[Aku cuma mau tahu dan ketemu keluarga Ibu.]

Hancur?

Tentu saja.

Hati Dion mencelos, dadanya terasa amat sakit saat membaca pesan yang Tara kirimkan dan ya, penolakan itu perlahan membuatnya menitikan air mata disertai isakan yang sangat memilukan.

Apa masih mungkin ia bisa memperbaiki semua jika Tara dengan tegas langsung menolaknya bahkan di saat wanita itu belum mengetahui jika ia adalah ayahnya?

***


TARA SATYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang