60. Udah Boleh, Kan?

1.3K 165 24
                                    





*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***





***

"Maafin gue, Tara."

Satya mulai mengurai pelukannya setelah lima menit lebih memeluk Tara tanpa mendengar respon Tara.

Jangankan memberi respon dengan ucapan, gelengan maupun anggukan saja tak bisa Tara berikan untuk merespon perkataan Satya sebelumnya, namun Satya tentu tahu jika Tara menangis.

Punggung Tara agak bergetar sehingga tadi Satya sempat mempererat pelukannya juga.

"Maafin gue, ya. Gue sekarang sadar kalau yang gue lakuin salah dan gue bener-bener nyesel bikin lo menunggu terlalu lama," ujar Satya seraya menunjukkan senyum lembutnya dan sebelah tangannya kembali mengusap wajah Tara untuk menghapus linangan air mata wanita di depannya itu.

"Gue udah jahat sama lo, tapi hampir setengah tahun ini gue udah dapat balasannya, Tara. Hidup gue bener-bener gak pernah tenang setelah lo tinggalin gue dan gak pernah sehari pun gue lewati tanpa merindukan lo."

Tara menatap Satya lamat-lamat seakan mencoba mencari kebohongan dari sorot mata Satya namun yang terjadi setelahnya justru tatapannya sendiri yang mulai bergetar lagi, ia tahu Satya tak mengatakan kebohongan.

Kepergiannya benar-benar berhasil mengubah Satya.

"Tara, lo mau nikah sama gue, kan?" Satya kembali mengutarakan ajakan menikahnya.

Satya menatap Tara dengan tatapan yang sangat teduh namun sorot berharap di matanya juga tergambar jelas dan Tara menyadari itu.

Keduanya saling bertatapan cukup lama dengan Satya yang tetap menunggu jawaban Tara dan Tara yang masih bingung untuk mengungkap jawabannya sampai akhirnya Tara memejamkan matanya dan perlahan menganggukkan kepalanya.

"I-iya ... gu-e mau," sahut Tara pelan namun sukses membuat senyum dan kebahagiaan langsung mengembang di wajah Satya.

Satya tersenyum lebar namun senyum itu kembali memudar saat mendengar Tara mengatakan, "Tapi ...."

"Tapi apa?" tanya Satya yang dadanya bahkan langsung berdebar kencang takut Tara langsung berubah pikiran dalam waktu beberapa detik saja.

Tara tak langsung menjawabnya, ia bingung harus mengatakan apa sehingga ia hanya diam dengan mata yang tetap menatap Satya.

Melihat tatapan Tara yang seketika tampak sendu membuat Satya tiba-tiba teringat sesuatu dan ia yakin hal itu yang mengganjal di hati Tara.

"Setelah nikah nanti, kalau lo gak mau tinggal di Jakarta, kita tinggal di Surabaya aja, ya?"

Ya, Satya tahu itu yang mengganjal di hati Tara. Tara mungkin belum siap untuk kembali dan berjumpa lagi dengan Dion.

Tebakan Satya sama sekali tak salah sasaran, buktinya ia melihat sorot mata Tara yang kian sendu di saat wanita di depannya itu mulai menggigit bibir bawahnya sendiri.

"Gue gak akan paksa lo untuk kembali ke Jakarta, jadi kita tinggal di Surabaya aja sama Ayah juga Bunda, ya?" ucap Satya lagi kembali dengan nada lembut seakan ingin menenangkan Tara dan pilihan kota Surabaya pun ia pilih bukan tanpa alasan.

Cabang perusahaannya yang terbesar ada di kota itu sehingga Satya yakin berpindah ke sana tak akan mempengaruhi produktifitas perusahannya.

Sedangkan untuk masalah Dion, Satya mungkin nanti akan memberitahu Tara jika kondisi Dion juga tak pernah baik-baik saja setelah Tara menolaknya dulu.

Dion beberapa kali jatuh sakit bahkan harus mendapat perawatan di rumah sakit dan Tara harus mengetahui itu, kan?

Setidaknya Tara harus tahu jika Dion pun sama-sama menyesali apa yang terjadi di masa lalu.

Tara kembali menatap Satya kini dengan tatapan terharunya, ia tak menduga jika Satya bahkan sampai akan melakukan hal seperti itu hanya demi dirinya.

Jadi salahkan Tara jika kali ini ia benar-benar yakin pada pria di hadapannya itu?

Keduanya masih saling bertatapan, tak tahu jika dari kejauhan Aryan tengah menatap mereka dengan kilat emosi di matanya.

"Gue tetep harus sakih tahu Tara soal perasaan gue, gue gak boleh biarin Tara balik sama Satya," gumam Aryan yang tubuhnya seketika membeku saat melihat Satya dan Tara saling mengikis jarak.

"Brengsek!" maki Aryan yang langsung berbalik dan pergi dengan kemarahan yang memuncak.

"Gue boleh cium lo?" tanya Satya di sisi lain, Tara kembali tak menjawab namun Satya kian mengikis jarak hingga akhirnya mempertemukan bibir mereka.

Satya mencium Tara dengan sangat lembut hingga perlahan Tara mulai membalas ciuman itu tanpa memperdulikan situasi sekitar.

Ciuman itu tak bisa berlangsung lama, namun Satya dan Tara sama-sama mendapat kehangatan dari ciuman itu.

Suara dari jam tangan Tara menyadarkan mereka berdua, Tara langsung menunduk menatap jam tangannya dan ya, ini sudah waktunya untuk ia kembali bekerja.

"Udah jam masuk ya?" tanya Satya dengan suara agak seraknya.

Tara langsung mengangguk membuat Satya kembali tersenyum dan mengatakan, "Ya udah, lo balik kerja ya, gue nginep di hotel ini kok nanti gue tunggu lo lagi di lobi pas jam pulang ya?"

Tara kembali menganggukkan kepalanya lalu membiarkan Satya kembali memeluknya satu kali lagi dan akhirnya kembali ke bangunan hotel seraya bergandengan tangan dengan Satya.

"Kerjanya yang bener ya, jangan mikirin gue," ucap Satya saat mengantar Tara sampai ke dekat meja resepsionis.

Dua orang resepsionis yang berjaga langsung menatap Tara dan Satya khususnya menatap tangan keduanya yang masih saling menggenggam.

"Beneran pacarnya Bu Tara deh," bisik salah satu resepsionis itu.

"Iya, deh kayaknya, genggaman tangan kayak gitu, mana cowoknya senyum terus, sweet banget deh," timpal resepsionis yang satunya.

"Terus selama ini sama Pak Aryan gimana ya? Padahal aku kira mereka pacaran."

Bisik-bisik itu terus berlanjut dibarengi dengan tatapan dua resepsionis itu yang tak kunjung teralihkan.

Mereka terus menatap Tara dan Satya sampai dibuat hampir menjerit saat melihat manisnya perlakuan Satya terhadap Tara.

"Jangan lupa save lagi nomor gue ya, nanti kabarin gue kalau udah mau selesai," ucap Satya yang kembali mengusap sisi wajah Tara.

Jika saja di sana tak ada orang, Satya mungkin akan melakukan hal yang lebih dari sekedar mengusap saja. Ia ingin mencium Tara lagi, ia masih merindukan ciuman Tara.

"Ya udah, gue balik kerja dulu ya," pamit Tara yang bersiap untuk pergi namun baru saja ia berbalik, ia sudah merasakan lagi cekalan di tangannya.

Walau Satya mengatakan agar Tara fokus kerja dan tak memikirkannya, kenyataannya Satya justru belum mau melepas Tara pergi.

Sebelah alis Tara terangkat saat ia kembali berbalik dan menatap Satya, ia seakan bertanya, "Ada apa?"

"Sampai nanti ya ... Sayang ...."

DEG

Tara terkesiap, ini kali kedua Satya menyebutnya dengan sebutan itu namun tentu saja rasanya berbeda dengan saat kali pertama Satya memanggilnya dengan sebutan tersebut.

"Sekarang ... gue udah boleh panggil sayang, kan?"

***

TARA SATYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang