*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***
***
"Papa mohon, tolong maafin Papa, Tara. Pap—"
"Anda bukan Papa saya! Buat saya, dia udah lama mati!"
DEG
"Hosh ... Hosh ...."
"Mi-mimpi sialan!"
Tara tersentak, ia terbangun dari tidurnya karena mimpi itu lagi. Untuk kesekian kalinya, ia memimpikan lagi kejadian pada hari itu dan mimpinya barusan berhasil membuat semua kejadian hari itu terputar lagi dalam memorinya.
"Kalau Papa tahu saat itu kamu hadir, Papa gak akan mungkin tinggalin kamu sama ibumu. Papa sayang ibumu, sangat say—"
"Omong kosong! Kalau memang anda sayang sama ibu saya, ada saya ataupun enggak, gak seharusnya anda tinggalin ibu saya! Ibu saya terlalu baik untuk jadi istri dari pria gak bertanggung jawab seperti anda dan jangan harap saya mau mengakui anda."
"Untuk saya, selamanya anda gak pernah ada, anda sudah mati!"
Tara tersadar dari lamunannya dan menarik napas dalam-dalam, ia yang sudah terduduk di atas tempat tidur mulai menarik kedua kakinya seraya mengusap kasar wajahnya sebelum menunduk dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya.
"Aku gak butuh dia, dia bukan siapa-siapa, jadi tolong berhenti mimpiin dia," lirih Tara dengan suara yang teramat pelan dan detik berikutnya Tara merasakan matanya kembali basah.
Dua minggu sudah berlalu sejak hari itu, namun hampir setiap malam ia memimpikan kejadian hari itu dan setiap harinya ia tak pernah tak menangis.
Tara dibuat membenci dirinya sendiri yang menjadi teramat lemah, ia benci menangisi apa yang terjadi pada hidupnya, tapi bayang-bayang Dion hari itu tak kunjung pergi meninggalkannya.
Tara benar-benar mengingat semua dengan sangat detail bahkan ia mengingat bagaimana ekspresi Shiela dan mamanya saat mendengar Dion berulang kali mengatakan jika ia adalah ayahnya.
Dion berhasil melukai Shiela dan mamanya, namun yang paling terluka tentu mendiang ibunya yang harus berjuang sendirian mempertahankannya di saat ia tahu suaminya memiliki wanita idaman lain.
Tara tak bisa membayangkan sesakit apa ibunya saat itu namun satu yang ia tahu, ia sudah menjadi anak yang sangat durhaka. Ia berulang kali membuat ibunya menangis karena menanyakan sosok ayahnya dan kini penyesalan Tara yang sudah besar pun rasanya kian menjadi.
Tara sangat menyesal.
Bukan hanya karena melukai hati ibunya dan membuat wanita itu meninggal, tetapi juga menyesal mengapa ia harus hadir jika kehadirannya hanya memberi luka permanen untuk mendiang ibunya.
Kedua bahu Tara mulai bergetar, tangisnya kian menjadi dan dadanya terasa amat sesak.
Tara ingin keluar dari situasi itu namun tak tahu bagaimana caranya sampai pemikiran untuk bunuh diri tiba-tiba memenuhi kepalanya.
Ya, hanya bunuh diri yang menjadi jalan keluar satu-satunya yang ia miliki, kan?
Tara lalu mengangkat kepalanya, tangisnya seketika berhenti saat ia mulai menatap ke arah pintu balkon.
Ia berada di lantai lima, jika ia loncat dari balkon, akankah ia mati?
Tara perlahan bergerak, ia mulai menuruni tempat tidur. Keputusannya sudah bulat, ia ingin mati saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
TARA SATYA
Romance***PUBLISH ULANG SEMENTARA*** ***ABAIKAN TYPO, BELUM REVISI*** Selama ini Tara hidup dengan mempercayai jika ia wanita spesial bagi Kafka, sosok yang sejak remaja mengisi hari-harinya dan membuatnya percaya jika di dunia ini masih ada banyak hal bai...