*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***
***
"Hei, kenapa nangis?"
Suara Satya yang terdengar lemah itu membuat Tara tersadar dan membuat Tara perlahan kembali melengkah mendekat ke ranjang rawat Satya.
Satya kembali menunjukkan senyumnya, lalu perlahan merentangkan tangan kanannya seriring dengan Tara yang kian mendekatinya.
"Sini," pinta Satya yang berada dalam posisi setengah terduduk itu.
Ia meminta Tara untuk semakin mendekat lalu perlahan membawa Tara ke dalam pelukannya.
Satya sudah mendengar semua dari bundanya, termasuk mendengar jika Tara tak hentinya menangis dan meminta maaf karena merasa bersalah telah membuatnya terbaring di rumah sakit.
Tara yang sudah terduduk di sisi ranjang rawat Satya pun langsung membenamkan wajahnya di atas tulang selangka Satya dengan tangisnya yang kian menjadi.
"M-ma-af ...," ujar Tara di tengah tangisnya itu.
"Gak apa-apa, gue kayak gini bukan karena salah lo," sahut Satya dengan tangan kanannya yang berusaha mengelus punggung Tara.
Satya sedikit meringis karena ternyata posisi memeluk itu sedikit menekan perutnya, namun ia berusaha menahan rasa sakitnya seraya terus membisikkan kata penenang untuk Tara.
"Ke-napa Kafka ... bisa pukulin lo sampai gini sih, Sat?" tanya kira dengan suara kecil yang terdengar serak dan ia sama sekali tidak mengubah posisinya. Ia masih menangis di cerukan leher Satya.
"Kafka tendang perut gue," sahut Satya yang seketika merasakan tubuh Tara menegang dalam pelukannya.
Tara sama sekali tidak mengetahui itu sebelumnya dan ia kira benturan yang dikatakan dokter itu terjadi karena Kafka menduduki perut Satya ketika ia memukuli Satya tadi.
"Tapi kenapa Kafka sampai tendang sama pukulin lo?"
Satya tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ada keraguan untuk menjawabnya.
"Sat ...," tegur Tara yang kembali menyadarkan Satya dan membuat pria itu menyandarkan pipi kanannya di atas puncak kepala Tara.
"Gue ... bilang soal tanda yang gue tinggalin di leher lo," jawab Satya yang membuat Tara seketika menarik dirinya dari pelukan Satya dan langsung menatap Satya dengan tatapan tidak percayanya.
"Lo ngapain sih ungkit lagi soal itu?!" tanya Tara dengan nada agak membentaknya.
Tentu ia tak habis pikir dengan apa yang Satya lakukan, pantas saja Kafka sampai memukulinya dan pantas saja Kafka menuduhnya yang tidak-tidak jika Satya benar-benar mengatakan hal itu.
"Gue kesel, soalnya dia larang gue buat deket-deket sama lo! Dia suruh gue jauhin lo!"
"Tapi lo hampir mati, Brengsek!" bentak Tara yang membuat Satya terkejut.
Tara membentaknya namun dengan mata yang terus mengeluarkan air mata walau wanita itu sudah berusaha menghapus kasar air matanya itu.
"Guenya lagi sakit ... jangan dikasarin gitu dong, Tara," ujar Satya yang kemudian kembali meringis karena rasa sakitnya terasa lagi.
"Ya lagian lo ada-ada aja! Kalau tadi lo gak selamat gimana?!"
Tara benar-benar kesal, ia kembali berkata dengan nada tingginya dan dibuat sangat kesal saat melihat Satya justru tersenyum.
"Lo khawatir sama gue?"
Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari bibir Satya yang membuat Tara rasanya ingin mencekik pria dihadapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TARA SATYA
Romance***PUBLISH ULANG SEMENTARA*** ***ABAIKAN TYPO, BELUM REVISI*** Selama ini Tara hidup dengan mempercayai jika ia wanita spesial bagi Kafka, sosok yang sejak remaja mengisi hari-harinya dan membuatnya percaya jika di dunia ini masih ada banyak hal bai...