*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***
***
Hancur.
Mungkin hanya satu kata itu yang kini tergambar dari sorot mata Tara setelah menceritakan apa yang selama hampir sepuluh tahun ini ia simpan sendirian.
Ya, di balik kecelakaan yang merenggut nyawa ibundanya, nyatanya ada penyesalan besar yang selalu menghantui Tara dan membuat Tara takut untuk memiliki keturunan.
Hampir selama hidupnya, Tara selalu menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa kehadirannya memberi banyak luka bagi mendiang ibunya dan yang terparah ia juga menjadi sosok yang menghilangkan nyawa ibunya dulu.
Jika saja ia tak pernah hadir, mungkin ibunya tak akan terbuang dari keluarganya sendiri dan tak harus hidup di tengah-tengah kepahitan terutama setelah pria yang seharusnya bertanggung jawab akan dirinya dan Tara pergi meninggalkan mereka tanpa alasan.
Ibunda Tara membesarkannya di tengah kesulitan namun ia tak pernah mengeluh dan tak pernah menyalahkan Tara namun Tara tahu kehadirannya hanya membawa kesialan dan itu yang membuatnya takut untuk menjadi orang tua atau lebih tepatnya membuat ia merasa jika ia tak akan pernah pantas untuk menjadi seorang ibu setelah membunuh ibunya sendiri.
Tara masih berada dalam pelukan Satya yang sejak tadi tak mengatakan apapun namun tak pernah sedetik pun mengendurkan pelukannya. Pria itu tetap di sana dengan sesekali memberikan kecupan di dahi juga dengan tangan yang tak hentinya mengusap punggung si wanita, berharap dengan itu Tara tahu jika ia tak sendirian dan ia akan tetap ada di sisi wanita itu.
Sarapan yang harusnya terjadi dengan kehangatan kini justru diselimuti rasa sendu. Satya bahkan memutuskan untuk membeli makanan secara online setelah acara memasak Tara terhenti dan ia merasa Tara tak akan bisa melanjutkan kegiatannya dalam kondisi seperti sekarang.
Suara bel tanda datangnya sang pengatar makanan pun membuat Satya akhirnya mengendurkan pelukannya, ia mengecup lagi puncak kepala Tara sebelum akhirnya bangkit untuk membuka pintu dan setelah kembali ia mengajak Tara untuk makan terlebih dahulu.
Tara hanya makan beberapa suap saja dan Satya tak bisa memaksanya untuk makan lebih banyak lalu setelahnya mereka memilih kembali ke atas tempat tidur dan duduk di sana dengan punggung yang menyandar pada kepala tempat tidur.
Tara kembali berada dalam pelukan Satya dan untuk saat ini ia hanya bisa berharap jika ia tak akan pernah kehilangan lagi pelukan hangat yang sudah sangat lama tak pernah ia rasakan itu.
Satya yang awalnya hendak pulang pun akhirnya memutuskan untuk tetap berada di sana sampai pagi hari berikutnya setelah melihat Tara lebih baik, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah orang tuanya.
Hari senin pagi, Satya baru saja sampai di depan apartemen Tara dan baru saja turun dari mobilnya saat melihat Tara keluar dari pintu utama. Satya yang awalnya tampak khawatir bisa bernapas lega saat melihat Tara tersenyum ke arahnya padahal ia sudah berpikiran yang tidak-tidak seperti menduga jika setelah ia pulang kemarin mungkin Tara kembali menangis sendirian namun itu sepertinya tak terjadi jika di lihat dari mata Tara yang tak menunjukkan tanda-tanda bekas menangis.
"Udah enakan?" tanya Satya saat Tara tiba di depannya dan Tara langsung menganggukkan kepalanya.
"Semalem tidurnya nyenyak?" tanya Satya lagi yang kembali Tara jawab dengan anggukkan kepala dan itu membuat Satya tersenyum dengan sebelah tangan yang terulur untuk mengusap puncak kepala Tara lalu sebelah tangannya yang lain terulur meraih tangan Tara sehingga setelah mengelus kepala Tara, Satya pun membawa Tara ke sisi pintu penumpang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TARA SATYA
Romance***PUBLISH ULANG SEMENTARA*** ***ABAIKAN TYPO, BELUM REVISI*** Selama ini Tara hidup dengan mempercayai jika ia wanita spesial bagi Kafka, sosok yang sejak remaja mengisi hari-harinya dan membuatnya percaya jika di dunia ini masih ada banyak hal bai...