*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***
***
Tara hamil!
Kata-kata itu terus berputar dalam kepala Kafka dan kedua orang tuanya. Sejak tadi mereka sama-sama membisu dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri yang tentunya tengah memikirkan Tara.
"Tara ... baru pulang dari Bali," ujar Lidya memecah keheningan, ia menatap Kafka lalu melanjutkan perkataannya. "Kamu bisa cari tahu siapa yang deket sama Tara di Bali, Kaf? Kamu ... bisa cari laki-laki itu, kan?"
Kafka menatap Lidya, ia perlahan menganggukkan kepalanya walau tampak ragu dan ya, mereka bertiga menduga hal yang sama.
Tara pasti bertemu seseorang dalam pelariannya dan seseorang itu pastilah ayah dari bayi yang kini Tara kandung.
"Apa gak sebaiknya kita bicarain ini dulu sama Tara, Ma? Kita gak bisa ikut campur terlalu jauh," ujar Papa Kafka yang merasa Tara bisa saja tak suka dengan ide Lidya dan mereka lebih baik bicara perlahan dengan Tara sampai Tara mau menceritakan segalanya kepada mereka, kan?
"Tapi, Pa—"
"Ngh ...."
"Tara."
Kafka dan kedua orang tuanya langsung bangkit dari sofa yang berada tak jauh dari ranjang rawat Tara.
Ya, Tara kini sudah dipindahkan ke ruang perawatan dan mungkin ia harus berada di sana sampai beberapa hari ke depan.
"Tara," panggil Lidya dengan wajah khawatirnya, ia langsung berdiri di sisi ranjang rawat Tara dan mulai mengusap lembut kepala Tara.
"Sayang, perut kamu masih sakit?" tanya Lidya kepada Tara yang masih memejamkan matanya dan pertanyaan itu mendapat anggukan lemah dari Tara.
Tara kembali meringis, ia belum sepenuhnya sadar dengan kondisi di sana sampai ia mendengar Lidya mengatakan, "Mama panggilin dokter ya?"
DEG
Tara perlahan membuka matanya, ia langsung bertatapan dengan Lidya lalu ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan sehingga ia bis amelihat Kafka dan papanya yang berdiri bersampingan namun dengan raut wajah yang berbeda.
Papa Kafka menatap Tara dengan tatapan khawatir di saat Kafka justru menunjukkan kilatan amarah di matanya.
Ya, mengetahui Tara mengandung membuat Kafka marah terlebih Tara belum menikah dan Kafka tak tahu pria brengsek mana yang berhasil merusak Tara.
Suasana di sana seketika menjadi hening.
Tara mulai merasa takut dan tentu saja ia bisa menduga jika Kafka dan kedua orang tua pria itu pasti sudah mengetahui mengenai kehamilannya.
Memikirkan itu membuat Tara tersentak, sebelah tangannya langsung meraba perutnya dan wajahnya seketika pias.
"Ma, bayiku ...?"
Ya, Tara langsung teringat pada janinnya dan ia melupakan segalanya, ia tak peduli lagi dengan hal lainnya karena saat ini yang terpenting adalah mengetahui kondisi janinnya.
Sorot mata Lidya seketika menyendu, itu membuat debaran di dada Tara mulai meningkat dan pikiran-pikiran jelek pun sudah memenuhi kepala Tara.
"M-ma ... Bayiku gak kenapa-napa, kan?" tanya Tara dengan sorot matanya yang mulai bergetar, begitu juga dengan suaranya.
Lidya menggeleng namun itu tak membuat Tara tahu kondisi janinnya sampai akhirnya Lidya mengatakan, "Kata dokter kamu kecapekan, banyak pikiran juga makanya sampai kram, untuk sekarang bayi kamu gak apa-apa. Tapi kalau kondisi kamu masih kayak gini, kamu bisa aja sampai keguguran, Tara."
KAMU SEDANG MEMBACA
TARA SATYA
Romansa***PUBLISH ULANG SEMENTARA*** ***ABAIKAN TYPO, BELUM REVISI*** Selama ini Tara hidup dengan mempercayai jika ia wanita spesial bagi Kafka, sosok yang sejak remaja mengisi hari-harinya dan membuatnya percaya jika di dunia ini masih ada banyak hal bai...