62. Sayang

1K 142 15
                                    




*** PUBLISH ULANG SEMENTARA ***



***

"Aku tahu kamu mungkin belum mau balik ke sini, Ra ... tapi perusahaan butuh kamu."

Tara menyugar rambutnya ke belakang dengan sebelah tangan yang lain memegang ponselnya di sisi telinga kanannya.

Tara tampak gelisah dan tentu itu terjadi karena apa yang disampaikan Kafka dari seberang sana.

"Aku gak bisa handle ini sendirian, aku butuh kamu ... perusahaan butuh kamu. Jadi tolong, pertimbangkan hal ini. Banyak orang yang bergantung sama perusahaan kita dan untuk masalah Om Dion, aku bakal pastiin dia gak akan samperin kamu sampai kamu sendiri yang bersedia ketemu sama dia."

Kepala Tara seketika terasa pening, ia bisa mendengar nada Kafka yang amat memohon dan ia tahu ia tak bisa menolak permintaan Kafka.

Ia harus kembali ke Ibu Kota, namun apakah ia akan mampu bertahan setelah kembali ke sana?

Tara menarik napas dalam-dalam, matanya terpejam erat dan akhirnya ia menjawab, "Oke, aku pikirin dulu permintaan kamu, Kaf. Dan tolong jangan sebut nama itu kalau lagi bicara sama aku!"

Hembusan napas kasar Kafka langsung terdengar dari seberang sana, selama ini ia dan kedua orang tuanya sudah berupaya membujuk Tara namun jangankan untuk memaafkan Dion, mendengar nama Dion saja langsung membuat mood Tara berubah.

"Ra, sampai kapan kamu mau kayak gini? Tara yang aku kenal gak akan mungkin lakuin hal kayak gin—"

"Itu dia, ternyata selama ini kita sama sekali gak saling kenal, Kaf. Kalau kita saling mengenal, harusnya kamu paham apa yang aku rasain dan harusnya sejak awal aku tahu kalau kamu jalin hubungan sama Shiela!"

Tara tak ingin mengalah sehingga panggilan yang awalnya hanya meminta Tara kembali ke Ibu Kota pun justru menjadi perdebatan yang cukup sengit.

Kafka lagi-lagi menghembuskan napas kasarnya, jika ia terus meladeni Tara, yang ada Tara akan menolak untuk kembali ke Ibu Kota, kan?

"Oke, aku salah, aku minta maaf," ujar Kafka memilih untuk mengalah saja daripada semuanya kembali hancur berantakan.

Ia sedang benar-benar membutuhkan Tara dan berdebat dengan Tara hanya akan membuat berkurangnya kepercayaan Tara kepadanya, Kafka tak bisa membiarkan itu.

"Apa pun yang kamu mau, Ra. Aku janji dia gak akan pernah datangin kamu kalau kamu pulang ke sini," ucap Kafka kembali mencoba membujuk Tara dan akhirnya menyudahi panggilan itu.

Tara langsung duduk kembali di kursi kerjanya, kepalanya benar-benar berdenyut nyeri karena tertekan oleh permintaan Kafka. Ia ingin menolak, namun Kafka benar, ada banyak orang yang hidupnya bergantung kepada perusahaan mereka dan Tara tak boleh egois.

Selain demi perusahaan mereka, kembali ke Ibu Kota juga akan mempermudah Satya, kan?

Pria itu tak harus pindah dari Ibu Kota jika Tara memutuskan kembali, kan?

Tara menyandarkan punggungnya, matanya kembali terpejam dan kini banyak yang harus ia pertimbangkan.

"Kayaknya gue harus bicara sama Satya," gumam Tara pelan.

Ya, ia sepertinya harus bicara dengan Satya dan mendengar pendapat Satya.

"Nanti malem gue kasih tahu dia deh," gumam Tara lagi yang kemudian dikejutkan dengan suara ketukan di pintu ruangannya.

"Tara, ayo makan siang," panggil Aryan yang langsung membuka pintu ruangan Tara dan tersenyum lembut ke arah Tara.

Tara melirik jam tangannya, ia bahkan tak sadar ini sudah waktunya makan siang karena seingatnya tadi saat Kafka menelponnya istirahat masih cukup lama.

TARA SATYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang