Part 58. Rubah Betina

480 114 15
                                    

Moyla menepikan mobilnya di depan TPU. Segera keluar dari mobil tersebut dan membanting kuat pintunya. Dia sudah tak lagi peduli seandainya pintu akan terlepas atau bahkan mobilnya akan hancur saking kerasnya dia meluapkan kekesalannya dengan benda mati tersebut. Langkahnya pasti namun tergesa, rambut yang diikat bergerak-gerak karena angin dengan lembut menyapanya. Jika dia tidak sedang ada di TPU bisa saja orang akan menduga jika Moyla adalah seorang model. Kakinya jenjang dibalut dengan jeans, dan sepatu hak tingginya menambah kesan feminin.

"Aku datang, Bang." Perempuan itu berdiri di depan makan dengan wajah memerah. Merasa tak sanggup untuk berdiri, Moyla terduduk di sana dan seketika air matanya keluar. Isakan menyakitkan itu terdengar sangat menyedihkan. Moyla bermaksud mengadu kepada kakaknya, laki-laki yang sejak dulu selalu ada di sampingnya ketika dia mengalami kesulitan. Moyla tidak menahannya. Membiarkan sampai sejauh mana dia bisa mengeluarkan air mata kesakitan yang selama ini ditahannya.

Mengetahui fakta yang sesungguhnya, semakin membuat dirinya membenci Delima. Jika dia tidak takut dosa, mungkin dia akan membalas perempuan itu dengan tangannya sendiri. Kematian dibalas dengan kematian.

"Lalu kalau sudah seperti bagaimana lagi, Bang?" tangisnya masih teruarai, "Aku bahkan sekarang sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan menghadapi Mama dan Papa. Mereka sangat pilih kasih kepadaku hanya karena kesalahan yang bahkan aku tidak tahu aku pernah melakukannya." Moyla menelungkupkan tubuhnya di atas gundukan tanah makan Keano dan menangis di sana. Kata orang, itu akan membuat orang yang sudah meninggal ikut bersedih dengan dia melakukan itu. Tapi masa bodoh, Moyla benar-benar sudah tak tahan.

"Aku tidak akan lagi menangisi semua ini setelah hari ini, aku janji. Tapi aku akan mengeluarkan sekarang sampai tak tersisa." Janji itu pasti akan mendapatkan acungan jempol Keano seandainya lelaki itu ada di sampingnya. Karena apa pun yang dilakukan oleh Moyla, sekecil apa pun, akan mendapatkan apresiasi dari kakaknya. Moyla, sungguh merindukan lelaki itu bahkan hampir mati rasanya. Dia tercekik oleh rasa sedih yang sekarang sedang menyerbunya.

Matahari sudah tidak sepanas beberapa waktu yang lalu. Dan itu membuat Moyla semakin betah berada di tempat itu. Dulu, dia pernah hampir ikut bersama dengan Keano. Mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Tapi, selalu gagal dan gagal.

Hampir satu jam, Moyla duduk bersimpuh di samping makam sang kakak sebelum memutuskan untuk pergi dari sana. Moyla sungguh sangat lelah. Dia benar-benar perlu beristirahat. Ponselnya sejak tadi berdering pun dia abaikan saja. Mengendarai mobilnya sampai ke apartemen, perempuan itu berjalan lunglai. Kalau dia bisa merayap, mungkin akan dilakukan itu sekarang. Entah sudah berapa kali dia menghela napasnya tanda rasa lelahnya sudah di ujung tanduk.

Di ujung koridor untuk menuju ke unitnya, dia melihat Cokhi yang sedang berdiri di depan pintu unitnya sambil bersedekap. Pakaian lelaki itu masih formal tanda baru pulang kerja. Mungkin seperti itu. Moyla menatap Cokhi sambil terus berjalan dan Cokhi menoleh ketika menatap ke arah Moyla. Keningnya mengernyit ketika melihat gadisnya seperti tak memiliki semangat hidup. Tak ada kata yang dikeluarkan dan memilih menatap Moyla dalam. Bahkan lelaki itu bisa melihat mata gadis itu bengkak.

Berdiri di depan Cokhi, Moyla segera saja memeluk kekasihnya. Matanya sudah berat dan dia tak sanggup lagi mengeluarkan air mata.

"Aku capek, Ko." Katanya. "Aku capek berjalan, aku capek menangis, dan aku capek hidup."

"Lalu kamu mau mati?" Meskipun suara Cokhi terdengar dingin, tapi pelukan di tubuh Moyla menghangatkan gadis itu. "Jangan mati dulu. Aku nggak punya kenalan dukun untuk bangkitkan kamu dari kubur." Lanjutnya ngawur.

"Lalu aku harus bagaimana sekarang?"

"Tetap hidup bersamaku." Ucapan Cokhi tentu saja mau tak mau membuat Moyla tersenyum. "Kita akan menikah sebentar lagi. Abaikan masalah apa pun dan fokuslah mempercantik diri. Tampilanmu sekarang bahkan sangat buruk. Aku nggak mau punya pengantin seperti gelandangan." Begitulah cara mereka menghibur pasangannya. Tidak ada kata manis yang keluar. Bahkan kalau ada kalimat terpahit sekalipun, mereka akan mengeluarkannya.

Cokhi menggendong Moyla dan Moyla segera saja mengalungkan tangannya di leher kekasihnya. Wangi lelaki itu menusuk hidungnya. Bahkan dengan tidak tahu dirinya semakin menelusupkan wajahnya di sana dan menghirupnya dalam-dalam. Cokhi sama sekali tak komplain dan membiarkan gadis itu melakukan apa pun sesukanya. Bahkan setelah masuk ke dalam unit, Moyla sama sekali tak melepaskan tangannya.

"Kamu mau hamil lebih dulu baru nikah?" Ucapan Cokhi benar-benar terdengar menjengkelkan, tapi Moyla tahu itu hanya ucapan yang tidak akan pernah dilakukan oleh lelaki itu.

"Aku udah bilang aku sedang capek. Pengertianlah sedikit jadi manusia." Katanya dengan kesal menggigit dada Cokhi sampai lelaki itu terkejut.

"Kamu ini serigala atau apa?"

"Rubah betina." Sambung Moyla asal dengan masih tetap mengalungkan lengannya di tempat semula. Posisinya, Cokhi duduk di sofa dengan Moyla ada di atas pangkuannya tak mau lepas darinya seperti lilitan ular. Daripada terus berontak kepada Moyla, lebih baik dia diam saja. Menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dengan tangannya menepuk pelan paha Moyla seolah itu perlu dilakukan agar Moyla bisa tidur tanpa terganggu.

Lambat laun, Moyla tidur dengan nyaman di pelukan kekasihnya. Jika tidak sedang kalut, mana mungkin perempuan itu melakukan hal semacam itu. Bermanja kepada Cokhi dan berlaku lembut seperti sekarang ini. Tidak nyolot saja sudah untung. Cokhi menegakkan tubuhnya dan menatap wajah Moyla yang hanya terlihat di satu sisi. Tersenyum dan mengelus pipi gadis itu dengan lembut. Takdir terkadang benar-benar lucu. Siapa yang sangka dia bisa mencintai perempuan sedalam sekarang. Tapi dia sama sekali tak merasa menyesal meskipun perjalanan cinta mereka sama sekali tak berjalan mulut.

"Jadi, apa kita harus membicarakan tentang pernikahan sekarang?" Moyla sudah bangun dan sekarang mereka sedang menikmati makan malam mereka. Bukan Cokhi namanya kalau bisa memendam rasa ingin tahunya. Sebenarnya dia hanya ingin tahu apa yang terjadi pada Moyla hari ini, tapi dia memilih membelokkan kalimatnya sehingga bisa memancing Moyla untuk berbicara.

"Kalau aku meminta pernikahan yang super mewah. Apa kamu akan mengabulkannya?" tantang Moyla.

"Tentu saja!" bahkan sama sekali tak berpikir dua kali, "Kamu nggak tahu sebanyak apa uangku?" diucapkan dengan sungguh-sungguh seolah menantang Moyla. "Kamu mau mahar apa? Aku akan memberikannya." Cokhi si bocah kampret memang tidak ada duanya. Ketika dia sudah mencintai seorang gadis, maka tidak ada lagi keinginan untuk membuat gadis itu kecewa. Setidaknya akan diusahakan memberikan yang terbaik.

"Black card." Tantang Moyla. Alih-alih terkejut, Cokhi malah mencibir.

"Memangnya kamu mau belanja apa dengan kartu itu? Kamu nggak perlu kartu itu saat makan di angkringan." Cokhi terlihat mengesalkan dengan mengatakan itu. Membuat Moyla berdecak kesal.

*.*

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang