Part 6. (Dikejar Target)

1K 134 13
                                    

"Hai, Bro." Cokhi berjongkok di samping sebuah makam sambil mengelus batu nisan bertuliskan nama seseorang beserta tanggal lahir dan tanggal kematiannya.

"Gue selalu nggak nyangka kalau lo bener-bener ninggalin gue. Lo bilang gue adalah sahabat kesayangan lo meskipun gue orang tergila yang pernah lo temui." Berbicara dengan sebuah makam, seolah bukan hal yang tabu bagi Cokhi. "Tapi lo ternyata pergi ninggalin gue waktu gue tinggal pergi sebentar. Lo emang nggak setia kawan."

Meskipun ucapan itu lancar diucapkan oleh Cokhi, tapi mata lelaki itu terlihat memerah karena membayangkan sahabatnya tersebut. Mengakhiri omongannya, dia membacakan doa untuk lelaki yang sudah terkubur di dalam tanah bertahun-tahun yang lalu.

Berdoa dengan khusuk supaya doa yang keluar dari mulutnya untuk arwah sahabatnya itu di terima dengan baik.

"Gue nggak bisa lama-lama di sini, kerjaan gue numpuk. Lo tahu sendiri, gue adalah lelaki tampan yang sibuk." Merasa geli dengan ucapannya, dia terkekeh seorang diri. "Lo sekarang yang dekat sama Malaikat, bilang ya, kalau cepet kirimkan jodoh gue, supaya emak gue nggak uring-uringan terus kalau lihat pasangan pengantin." Setelah mengatakan itu, dia membalikkan badannya dan berlalu dari sana.

Menengadah ke langit, dan tersenyum seolah dia bisa melihat sahabat yang sangat di sayanginya itu.

Mereka adalah sahabat semasa SMA. Jika sekarang, Cokhi memiliki tiga sahabat sehidup semati sejak mereka berada di bangku kuliah, maka saat SMA pun, dia memiliki itu juga. Mereka bersahabat sejak kelas satu SMA sampai suatu kejadian menimpa sahabatnya tersebut sampai meninggal dunia.

Tak hanya tangis yang keluar dari bibir Cokhi kala itu, dia tergugu dan terus memeluk jasad sahabatnya karena merasa semua itu tak nyata. Dia tak pernah ingin mengingat-ingat kejadian masa itu, dan membungkusnya rapat di dalam hati dan memorinya. Dia tak akan membiarkan orang lain mengetahuinya.

Keluar dari TPU, lelaki itu kembali ke kantor untuk melanjutkan bekerja. Hari ini adalah tanggal dimana sahabatnya itu meninggal, dan tak pernah sekalipun Cokhi melewatkan untuk tak mengunjungi makam sahabatnya tersebut.

"Selamat siang, Pak!" sapaan itu dia terima dari seorang gadis yang sedang menjadi perbincangan di perusahaannya karena kinerjanya yang luar biasa. Cokhi berhenti dan menatapat gadis tersebut dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.

"Selamat siang." Jawabnya. "Kamu orangnya." Bukan sebuah pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang membuat gadis itu seketika berdegup karena pikirannya yang kemana-mana. Namun sayangnya gadis itu memiliki pengendalian diri yang cukup tinggi sehingga detakan jantungnya yang cepat tak sampai membuat rona merah di wajahnya.

"Maaf?" begitu tanyanya untuk memperjelas apa yang baru saja Cokhi katakan kepadanya.

"Kamu yang mengusulkan pembuatan aplikasi game kemarin bukan?" anggukan itu langsung gadis itu berikan kepada Cokhi.

"Benar, Pak." Jawabanya tanpa perlu memikirkan lagi.

"Good." Kini Cokhi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Tetaplah memikirkan ide-ide yang kreatif, karena saya suka dengan karyawan yang bertalenta seperti anda." Cokhi memang bukan seorang pimpinan yang galak. Bahkan dia murah sekali senyum, hanya saja jangan pernah memanfaatkan kebaikannya, karena kalau sampai itu terjadi, entah hal sulit apa yang akan terjadi kepada orang tersebut.

Karyawan tersebut menatap Cokhi yang sudah meninggalkannya dengan wajah yang terlihat sekali ceria dan mendamba, tapi hal itu disimpannya di dalam hati. Lelaki yang baru saja memujinya adalah lelaki yang luar biasa, dan dia suka dengan hal itu.

Rambutnya memang masih gondrong, tapi hal itu tak mampu menutupi wajah tampannya. "Gue memang ditakdirkan menjadi laki-laki ganteng, jadi mau bagaimanapun gue, wajah gue nggak bisa berbohong." Setidaknya itu adalah pengakuan yang dikatakan kepada ibu dan sahabatnya ketika dia diminta untuk memotong rambutnya.

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang