Part 23. Dilema

801 149 36
                                    

Sudah berlalu dua hari acara di rumah Cokhi, dan lelaki itu masih benar-benar tak membeli perabotan untuk rumahnya. Pekerjaannya semakin menjadi saja dan dia semakin sibuk. Bahkan, dia sering sekali lembur di kantor. Seperti sekarang ini misalnya, dia sampai di lobby kantornya dan akan pulang saat sudah pukul delapan malam.

Tubuhnya sepertinya benar-benar lelah sekarang. Memang bukan hanya dia sendiri yang lembur, karena ada karyawannya yang melakukannya.

"Pak!" sapaan itu diberikan kepada karyawannya dan Cokhi hanya mengangguk. Berjalan ke parkiran mobil, dia menemukan Delima di sana.

"Kenapa?" tanyanya kepada gadis itu, yang terlihat menatap mobilnya dengan fokus.

"Ban saya bocor, Pak." Dan Cokhi bisa melihat memang ban bagian belakan mobil Delima terlihat kempes.

"Biar saya antar. Hitung-hitung, sebagai balasan karena kamu pernah menolong saya waktu itu." Itulah Cokhi, tidak pernah dia menimbang lebih dulu apa yang dikatakannya. Dia tidak akan pernah rugi membantu seseorang. Begitulah kita-kira pemikirannya.

"Bapak serius?" sepertinya gadis itu juga tak menyangka jika Cokhi akan melakukan itu kepadanya.

"Tentu. Waktu itu kamu pernah membantu saya ketika saya kesulitan, dan hitung-hitung, saya sekarang sedang membayar hutang." Entengnya. Memberikan isyarat agar Delima masuk ke dalam mobilnya.

Setelahnya, mobil Cokhi melesat keluar dan membelah jalanan kota Jakarta. Mereka berdua sama-sama diam di dalam sana. Delima sesekali melirik Cokhi yang terlihat sangat sangat menawan ketika menyetir mobil seperti ini.

Hanya menggunakan kemeja panjang dengan dasi yang menggantung di lehernya, rambut yang terlihat sudah berantakan namun terlihat lembut, dan bibir yang tertutup rapat, siapa saja akan terpesona melihat pemandangan menyedapkan mata seperti itu.

Lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dan Cokhi mengotak-atik ponselnya. Menghubungi seseorang, dengan headset yang ada di telinganya. Ponselnya di letakkan di holder yang tentu saja Delima pasti bisa membaca siapa yang dihubungi oleh Cokhi sekarang.

Jika Cokhi menatap Delima, dia pasti bisa melihat betapa ekspresi gadis itu yang kaku. MoyMoy, adalah nama kontak yang tertulis di ponsel Cokhi. Delima pasti tahu betul siapa gadis itu.

Satu panggilan tak diangkat. Dua panggilan bernasip sama, dan tiga panggilan benar-benar membuat jengah Cokhi. "Kemana perginya betina satu ini." Dumelnya dengan sebal.

Panggilan kemudian beralih ke kontak lain, dan kali ini nama 'Si Monyet' yang tertulis di sana. Dan panggilan itu diterima.

"Kemana dia?" bukan tanpa basa-basi, Cokhi langsung bertanya. "Berikan sama dia!" perintahnya. Tak sabar.

"Kalau kamu nggak tahu fungsinya HP, nggak usah pakai Hp." Langsung gas pol satu orang itu. Tanpa penundaan atau sebangsanya.

"Aku kesana sekarang." Kemudian panggilan tertutup. Tak mempedulikan Moyla yang mengoemel di seberang sana.

"Dimana rumah kamu?" dia tentu saja tak melupakan keberadaan Delima yang ada di kursi sebelahnya. Delima mengatakan alamat rumahnya dan itu terbilang jauh bagi Cokhi karena dia akan segera menemui Moyla.

"Bapak nggak papa antar saya sampai rumah? Kan Bapak sibuk bukan?" entah alibi atau apa, tapi nada suaranya jelas sekali meyakinkan.

"Nggak papa. Nggak mungkin saya turunin kamu di pinggir jalan." Santai Cokhi. Hening kembali. Cokhi benar-benar fokus sekali dalam menyetir.

"Bapak sudah berapa lama pacaran sama pacar Bapak?" membuka suara, sepertinya ingin mengorek informasi.

"Belum lama," jawab Cokhi. Tak ada imbuhan lagi yang diberikan dalam kalimat tersebut.

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang