Part 39. Mengkhawatirkan

831 190 27
                                    

Cokhi berusaha mendekat, tapi Moyla justru mundur. Luka itu pastilah dalam melihat bagaimana Moyla begitu berubah menjadi sangat drastic sekarang. Entah kenapa, Cokhi justru merasa takut dengan perubahan tersebut.

"Moy," panggilnya lagi mencari peruntungan, "Aku akan mengatakan apapun yang Delima katakan ke aku waktu itu. Tapi, please, jangan seperti ini." Mohon Cokhi.

"Gara-gara dia, abangku pergi. Gara-gara dia yang gatal, aku harus kehilangan lelaki yang aku sayangi, gara-gara dia, aku kehilangan keluargaku. Mereka sama sekali nggak menganggap aku ada di dunia ini dan aku harus berjuang mati-matian agar aku tidak selalu dipandang rendah oleh orang lain."

"Aku tahu, aku minta maaf."

"Aku membenci semua orang yang mempercayainya. Termasuk kamu di detik sekarang ini." Langkah kaki Cokhi berhenti seketika ketika Moyla mengatakan hal yang paling dibencinya. "Aku memang tidak punya kuasa seperti kamu yang akan sanggup mencari tahu tentang apapun yang ingin kamu ketahui, tapi aku bisa menghilang tanpa siapapun tahu aku dimana."

"Jangan lakukan itu." Wajah Cokhi pias dan itu benar-benar menandakan jika lelaki itu memanglah takut Moyla akan benar-benar meninggalkannya.

Sialan, kenapa dia harus mendengarkan si brengsek Delima. Begitulah pikirannya. Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, dia tak bisa menarik diri dari waktu itu, dan hal inilah yang terjadi sekarang.

"Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Termasuk meninggalkan kamu. Untuk apa hubungan ini dilanjutkan kalau kamu nggak percaya lagi sama aku."

"Aku percaya sama kamu." Jawabnya cepat tanpa jeda, "Aku sangat mempercayai kamu, Moy."

"Nggak ada orang yang mempercayai orang lain dengan melakukan itu."

"Dia hanya mengatakan, dan aku cuma memastikan."

Tatapan Moyla terlalu kelam untuk diajak kompromi. "Orang yang mempercayai orang lain, tidak perlu memastikan apapun. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah, kamu pergi dari sini dan pastikan ini adalah terakhir kalinya kamu menginjakkan kakimu di rumahku." Benar-benar tak bisa diganggu gugat lagi Moyla sekarang.

Dan ditambah lagi, Cokhi yang kepalanya sepertinya blank itu tak bisa mengatakan apapun lagi.

"Moy!" Cokhi benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Kakinya sepertinya terpaku dan tak bisa digerakkan. Terlihat lemah sekali sekarang. Entah kemana perginya jiwa Cokhi yang biasanya pandai sekali membuat Moyla harus mengulur kesabarannya.

Melihat Cokhi yang hanya mematung, Moyla yang bergegas sekarang. Gadis itu yang sudah memakai piyama itu buru-buru mengambil jaket dan kunci mobilnya. Kalau bukan Cokhi, maka dia yang akan keluar dari rumahnya sendiri.

Kakinya melangkah cepat, namun Cokhi akhirnya 'kembali', lelaki itu mencekal tangan Moyla dan tak membiarkan gadis itu pergi kemanapun.

"Kalau kamu pergi dalam keadaan seperti ini, bukan tak mungkin akan terjadi yang hal buruk yang menimpamu."

"Itu bagus. Artinya aku sudah lepaskan urusan dunia ini."

"Jangan keras kepala."

"Inilah caraku hidup selama ini." Kata Moyla dengan sengit, "Kalau memang aku tidak boleh untuk keluar, lakukan itu untukku. Kamu pergilah dari sini. Tak perlu lagi pedulikan aku." Tantangnya dengan berani kepada Cokhi.

"Kalau aku pergi, apa balasan yang akan kamu berikan kepadaku? Apa hubungan kita akan baik-baik saja?"

"Tentu saja kalau kamu tidak melakukan hal yang aku benci."

"Kami hanya bicara, Moyla. Aku mengizinkan dia berbicara agar aku tahu pembelaan apa yang akan dia ungkapkan ke aku."

"Udahlah," Moyla sepertinya mulai lelah, "Aku ingin istirahat sekarang. Kamu pergilah, atau aku yang pergi." Keras kepala sekali memang gadis itu. Membuat Cokhi benar-benar harus mengulur kesabarannya yang hanya sesendok teh.

"Apa maafku sama sekali nggak berarti, sampai-sampai kamu sama sekali tidak mau menurunkan egomu hanya sedikit saja?"

"Ego?" ulang Moyla, "Kamu pikir ini hanyalah sebuah ego? Aku benar-benar membenci Delima yang dengan kurang ajarnya mengatakan aku seorang pembunuh." Gigi Moyla bergemelatuk karena merasa emosinya benar-benar memuncak.

"Dia yang bersalah, kenapa harus mengkambing hitamkan aku?" akhirnya bentakan itu keluar juga dari bibir Moyla. Gadis itu seolah sudah tak bisa menahan apa yang dirasakannya dan sekarang dikeluarkan semuanya.

Tangan yang dicekal oleh Cokhi, kemudian dilepaskannya dengan kasar. Tanpa banyak kata lagi, dia masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya. Mengabaikan saja Cokhi yang mengetatkan rahangnya karena merasa ikut emosi.

Kemudian berteriak dari dalam kamarnya, "Kamu pergi sana, aku nggak mau ketemu kamu lagi." Dengan emosinya yang masih membara. Namun Cokhi tetaplah Cokhi. Menuruti ucapan Moyla bukanlah hal yang mudah untuk dilakukannya. Karena itu, alih-alih membuka pintu unit tersebut, dia justru berjalan ke sofa untuk merebahkan tubuhnya di sana.

Urusan kemarahan Moyla adalah urusan belakangan, karena dia akan tetap di sana sampai Moyla mengatakan jika hubungan mereka baik-baik saja.

Sayangnya itu hanyalah wacana saja. Ketika dia harus bangun di pagi hari, dia justru menemukan secarik kertas yang diletakkan di atas meja dengan tulisan, 'Selamat tinggal. Aku sekarang bukanlah Moylamu lagi'.

Hanya sedikit kata tertulis, tapi maknanya terlalu jelas diartikan. Sampai Cokhi harus merasakan denyutan sakit di kepalanya karena itu.

Berlari keluar unit Moyla, dia masuk ke dalam lift dan turun ke basement untuk mencari Moyla. Dia menanyakan kepada petugas security tapi jawabannya 'tidak melihat Moyla' yang membuat kemarahannya kini meningkat drastic.

Kembali ke unit Moyla, dia mencari gadis itu di kamar, di tempat di mana dia sama sekali tak pernah masuk ke dalam sana. Namun lagi-lagi nihil. Entah merasa Cokhi akan datang ke kamarnya, Moyla justru menulis di sebuah kertas yang diletakkan di atas ranjangnya.

'Aku udah pernah bilang, kamu bisa mencari dimana keberadaanku, tapi aku juga bisa bersembunyi sampai kamu tidak akan pernah menemukanku'

Kertas itu kemudian dalam sekejap menjadi gulungan kecil karena ulah dari tangan Cokhi. Remasan kertas itu membuktikan jika dia benar-benar marah.

"Kita buktikan siapa yang menang, Moyla." Ucapnya sebelum pergi dari kamar gadis itu dan kembali ke unitnya sendiri. Menghubungi David untuk membicarakan masalah ini dan dia tak akan membiarkan wanita itu lolos begitu saja.

Suasana tegang itu terasa begitu kental di dalam ruangan David. Cokhi datang ke kantor sahabatnya itu untuk meminta bantuan. Sama sekali tak menundanya.

"Gue nggak mau tahu, siapapun orang yang lo suruh, dia harus berhasil." Cokhi tak main-main ketika mengatakan itu. Tak ada tatapan jenaka yang biasanya selalu diperlihatkan olehnya. Tak ada Cokhi yang suka sekali bercanda sampai kadang membuat sahabat-sahabatnya muak karenanya.

"Jadi ceritanya lo nggak jadi nikah sama dia? Lo bilang satu bulan setelah gue nikah lo akan nikah. Nggak jadi?" bukannya merasa empati dengan apa yang terjadi oleh temannya, David justru mengatakan hal yang tak berguna.

"Sekarang semua tergantung kerja lo," Cokhi tak mau kalah, "Kalau lo bisa menemukan dia, gue akan nikahin dia. Tapi kalau kerja orang lo lambat, semua itu nggak akan terjadi." David mendecih dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Itu hanya alibi lo yang nggak bisa meyakinkan Moyla untuk nikah sama lo. Gue benarkan? Ini bahkan udah berjalan dua bulan setelah gue nikah, nggak ada itu tanda-tanda gue lihat lo mau nikah." Ejekan itu benar-benar terlontar dari bibir David sampai membuat Cokhi kesal dibuatnya.

"Kalau lo bukan sahabat gue, entah udah gue apakan lo sekarang. Udah tahu kepala gue sekarang ini rasanya berasap, di bakar pula. Sahabat macam apa lo?" pelototnya kepada lelaki itu.

Tapi bukannya menjawa, David justru hanya menyeringai seolah mengejek. Benar-benar menyebalkan memang.

*.*

Yoelfu 18 August 2020

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang