Part 29. Sakit Sekali

710 176 30
                                    

Moyla duduk dengan tenang di ruang keluarga di rumah ayahnya. Dia seolah disidang oleh kedua orang tuanya tanpa dia tahu kesalahan apa yang sudah dia lakukan. Atau belum. Karena pembicaraan ini memang belum dimulai.

"Saya dengar kamu sudah memiliki kekasih." Awal ayahnya.

"Ya." Jawab Moyla.

"Kalian tinggal bersama?"

"Tidak." Jawaban itu selalu diberikan singkat untuk lelaki di depannya. Ibu dan adiknya diam tanpa ikut berbicara. Entah memang memberikan ayahnya itu kesempatan terlebih dulu, atau memang tidak ingin ikut campur.

"Tapi siapa yang bisa memastikan kalau hubungan kalian sehat sedangkan kamu hidup di luar tanpa ada pengawasan."

"Siapa yang bilang tidak ada pengawasan," Moyla berani menatap ayahnya dengan tegas, "Aku punya Tuhan yang bisa mengawasiku dua puluh empat jam." Ayahnya diam tapi tatapannya benar-benar seolah ingin memicu peperangan.

"Kamu akan bawa-bawa Tuhan untuk menutupi kesalahanmu?" ayahnya kembali mendesak.

"Lucu sekali." Moyla terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya. "Aku sudah tinggal dan hidup sendiri selama bertahun-tahun. Tapi kenapa Papa baru bertanya masalah seperti ini sekarang?" tanyanya. "Apa ada aduan dari orang lain bagaimana selama ini aku hidup, atau memang Papa yang memata-mataiku?" Moyla tak ingin berbelit-belit membahas masalah ini dan dia memutuskan untuk berani melawan.

"Moy!" ibunya yang memanggil. "Sudah saatnya kamu kembali ke rumah." Katanya dengan lembut. "Kamu sudah cukup umur untuk segera menikah, dan Mama sudah mencarikan orang yang pantas dan cocok untuk kamu." Katanya lagi.

"Mama nggak perlu repot melakukan itu," Moyla menjawab tegas, "Aku tadi udah bilang kan kalau aku udah punya pacar, dan aku akan menikah dengannya."

"Pilihanmu belum tentu baik. Kamu belum mengenal bagaimana keluarganya, apakah dia benar-benar mau menerima kamu atau tidak."

"Mama nggak perlu khawatir akan itu." Tanpa ada lanjutan lain yang Moyla katakan. Dia tak ingin kisahnya menjadi santapan bagi orang yang sebenarnya ingin sekali mendengarnya.

Moyla menatap Delima dan dia tahu siapa biang keroknya. "Apa pembahasan ini sudah selesai? Aku harus bekerja karena aku tidak bisa menggantungkan hidupku kepada siapapun." Baru cukup sampai sana saja pembicaraan itu karena kedua orang tuanya memang tak sekeras itu mendesak Moyla.

Gadis itu keluar dari rumah dan melupakan semuanya. Dia tak mungkin mengingat dan menganalisa kenapa tiba-tiba ayahnya memanggilnya dan tiba-tiba menanyainya tentang kekasih. Kalau tidak ada pihak yang mengadu.

Kembali ke aktivitas semula. Dia bekerja keras. Membuat jadwal Galaksi yang begitu padatnya. Menemani lelaki itu, dan mengurus hal lain yaitu Cokhi. Lelaki yang sudah ingin sekali menikahinya memang selalu membuatnya sakit kepala, tapi itu cukup membuat rasa lelah Moyla berkurang dengan hal-hal absurd yang dilakukan lelaki itu.

"Sehari itu kan dua puluh empat jam. Kenapa, kita hanya sempat bertemu sebentar saja? Malam hari pula." Seperti biasa, ketika malam sudah datang, sudah sama-sama memakai piyama, Cokhi datang ke tempat Moyla hanya untuk bertemu dengan gadis itu.

"Ya kalau kita pengangguran, kita bisa menghabiskan waktu dua puluh empat jam bersama. Sayangnya, endingnya mau beli gincu pun kesusahan." Jika dipikir-pikir, dua manusia tersebut belum pernah kencan berdua ke tempat yang lebih layak. Entah itu menonton, atau hal-hal lain yang biasanya dilakukan oleh dua orang yang sedang berpacaran.

"Ya, aku tetap kerja. Kamu aja yang seharusnya nggak perlu kerja."

"Enak aja." Moyla jelas tak terima dengan ucapan Cokhi. "Aku juga pengen jadi wanita karir dong." Obrolan tanpa faedah itu harus terjeda karena bunyi bel rumahnya. Moyla menatap Cokhi, "Kamu pesan sesuatu?" tanyanya.

"Enggak." Moyla yang juga merasa tak memesan apapun, kemudian berdiri untuk membukakan pintu rumahnya.

Dan yang membuatnya terkaget adalah keberadaan ayah dan ibunya di sana. Sama sekali tak menyangka jika kedua orang tuanya akan datang semalam ini. Dan, dari mana mereka tahu tempat tinggalnya, sedangkan mereka sama sekali tak pernah datang ke sana. Lagipula, kenapa mereka mendapatkan ijin masuk?

"Papa, Mama?" dan semakin buruk, ketika Cokhi berdiri dan menyusul Moyla untuk melihat siapa tamu yang datang. Karena gadis itu tak kunjung kembali.

"Moy!" panggilnya dan matanya mendapati dua orang paruh baya. Karena dia tidak kenal siapa mereka, maka Cokhi bertanya.

"Siapa? Kenapa nggak di suruh masuk?" Cokhi berdiri tepat di belakang Moyla dan menatap kedua orang asing baginya itu dengan heran.

"Ternyata benar. Kalian tiinggal berdua?" ayah Moyla melotot dan wajahnya menunjukkan kegeraman yang luar biasa.

"Kami tidak tinggal berdua, Om." Cokhi jelas langsung membantah karena memang dia merasa bukan seperti itu kenyataan yang sebenarnya.

"Lalu apa ini?" tanyanya lagi, "Ini sudah tengah malam, dan kalian berada di tempat yang sama. Kalian pikir itu pantas?" Cokhi belum menjawab dan mencoba menduga siapa mereka. Sepertinya dia terlalu bodoh untuk tak segera menduga mereka adalah orang tua Moyla.

"Kami memang tidak tinggal bersama," akhirnya Moyla bersuara. "Kamu pulanglah." Usirnya kepada Cokhi karena dia tidak ingin kesalah pahaman ini semakin parah.

"Nggak. Kesalah pahaman ini harus segera diakhiri." Cokhi menolak, dan dia merasa dia perlu menemani Moyla untuk menjelaskan.

"Aku bisa mengatasinya." Moyla bersikukuh, "Kamu pulang aja." Tatapan Moyla benar-benar tegas mengarah pada Cokhi dan Cokhi tahu gadis itu tidak main-main.

Cokhi menurut, dan keluar dari unit Moyla. Namun langkahnya harus terhenti ketika suara ayah Moyla terdengar. "Jangan lagi dekati Moyla, dia akan saya jodohkan dengan lelaki lain." Membuat Cokhi harus mengepalkan tangannya.

Namun sayangnya ketika dia berbalik, pintu unit Moyla tertutup dengan keras dan menelan dua orang tersebut. Cokhi tentu saja tak tenang. Amarahnya seolah bisa kapan saja meledak. Ingin sekali dia masuk ke dalam sana dan mengetahui apa yang terjadi. Sayangnya dia tak bisa sembarangan.

Kakinya tak bisa tinggal diam. Berjalan kesana kemari, karena hatinya merasa tak tenang. Tapi bahkan tidak ada dari mereka yang kembali keluar dari rumah Moyla. "Itu pasti orang tua Moyla." Begitu gumamnya. "Gue tahu mereka pantas marah karena keberadaan gue di sana malam-malam begini, tapi kan kami memang nggak tinggal bareng." Diacak-acaknya rambutnya karena merasa frustasi sendiri.

Dia penasaran dengan apa yang terjadi di dalam, sedangkan dia tak bisa mengetahuinya. Benar-benar keterlaluan sekali memang. Tapi penantiannya benar-benar berbuah manis ketika pintu tersebut terbuka.

Namun yang menjadi masalah adalah, Moyla ditarik paksa oleh ayahnya agar keluar dari rumah tersebut.

"Moy!" panggilnya. "Kenapa anda menarik Moyla seperti itu?" tanyanya tak suka. Siapapun lelaki itu, masa bodoh meskipun beliau adalah ayah Moyla, tapi dia tidak suka kalau kekasihnya mendapatkan perlakuan kasar seperti itu. Dia menatap Moyla. Tak ada jejak air mata di wajah gadis itu, tapi dia tahu Moyla mungkin hanya menahannya.

"Dia akan tinggal di rumah. Saya melarangnya untuk dia tinggal di sini lagi." Moyla berontak dan tak ingin melakukan apa yang ayahnya katakan.

"Aku nggak mau," Moyla masih berusaha melepaskan cekalan tangan ayahnya. "Aku akan tetap tinggal di sini." Katanya dengan keras kepala.

"Bantahanmu tidak akan berguna." Sang ayah kembali bersuara.

"Untuk apa mengurusiku kalau sikap Papa masih begitu buruk. Papa melakukan ini karena aduan anak kesayangan Papa kan? Aku sangat tahu." Dan tamparan di wajah Moyla, membuat suasana seolah beku.

Sakit sekali.

*.*

Yoelfu 29 Juli 2020

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang