Ini adalah pertama kalinya Moyla masuk ke dalam ruangan besar kantor Cokhi. Tidak terlalu kaget dengan apa yang ada di dalamnya, barang yang ada di dalamnya benar-benar terlihat mahal. 'Tapi kenapa di apartemennya malah kosong kayak lapangan sepak bola sih' itu pemikiran Moyla saja. Dia mungkin akan menanyakan pada Cokhi suatu hari nanti.
"Duduk." Kata Cokhi. Memberikan isyarat kepada Moyla ke sofa yang ada di tengah ruangan.
"Terima kasih." Moyla tak langsung mengikuti apa yang Cokhi perintahkan, dia justru melihat rak buku tinggi yang menutupi dinding.
"Kamu serius baca ini semua?" buku-buku tebal yang ada di sana saja membuat Moyla langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Buku setebal-tebal itu, berapa lama orang akan menyelesaikan membacanya. Begitu pikirnya.
"Yang ada di sana, adalah buku-buku penting karya orang-orang hebat dunia. Jelas, aku membacanya." Cokhi duduk di kepada sofa sambil bersidekap dan menatap Moyla yang melihat-lihat jendela dunia tersebut.
"Aku bahkan nggak ngebayangin kalau buku ini dilemparkan ke tikus, sekali lempar mati dia." Asal, Moyla menjawab.
"Sepertinya kamu nggak kenal yang namanya lem tikus, obat tikus, atau apapun itu yang bisa membunuh hewan pengeret itu. Ngapain juga harus membunuh tikus dengan buku?"
"Itu ibaratnya, Ko. Seandainya." Moyla kini melarikan pandangannya kepada Cokhi untuk menatap lelaki itu.
"Kamu ngebayanginnya terlalu berlebihan, Ci."
"Aish, serahmu lah." Katanya kemudian. Percuma saja perdebatan ini terjadi kalau sudah tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya.
"Aku harus balik. Udah waktunya kamu bekerja lagi." Jam kerja Moyla memang tidak seperti orang kantoran yang memiliki jam kerja yang teratur. Tapi dia harus menghormati jam kerja Cokhi dan lelaki itu memang harus segera melanjutkan pekerjaannya.
"Ayo!" Cokhi menarik Moyla,
"Kamu mau kemana?"
"Antarain kamu sampai lobi."
"Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Gini-gini aku juga tahu cara naik lift."
"Bukan masalah naik lift atau apa. Aku harus mastiin kamu naik mobil. Sopir kantor akan antar kamu pakai mobilku."
"Aku bilang nggak usah, Ko. Aku bisa naik taksi." Begitu kukuh si Moyla. Baginya itu sangat berlebihan. Dia tadi datang juga naik taksi, untuk apa sekarang harus diantarkan.
Tapi Cokhi tetap saja tak menghiraukan bantahan itu. Lelaki itu tetap berjalan sampai ke lobi dengan menggandeng tangan Moyla. Sama sekali tak peduli dengan lirikan orang-orang di kantornya.
"Ish, malu-maluin aja sih." Moyla yang merasa tak nyaman dengan pandangan itu bergumam.
"Apa, kamu malu jalan sama aku?"
"Bukan, tapi..."
"Nggak perlu pedulikan orang lain. Kamu nggak punya duit pun mereka nggak bakalan kasih ke kamu." Santainya Cokhi, dan membuat Moyla bungkam. Bukan begitu sebenarnya maksud Moyla. Tapi ya sudahlah.
"Tolong antar Ibu sampai ke tempat tujuan. Pastikan dia selamat sampai tujuan. Kalau terjadi apa-apa, langsung hubungi saya. Paham?" sampai di lobi, sopir kantor sudah ada di sana. Cokhi langsung memberikan wejangan kepada lelaki itu dengan detail. Bahkan dia sudah memanggilkan buat Moyla dengan sebutan 'Ibu' yang menandakan sesuatu.
"Baik, Pak." Jawab lelaki itu.
"Nggak usah berlebihan." Begitu kata Moyla di samping Cokhi.
"Udah, balik sana. Hati-hati. Mata dijaga dari hadas kecil dan besar." Bahkan pak sopir yang ada di sana menyembunyikan tawanya karena ucapan bosnya. Kalau dia tertawa dia takut dimarahai, tapi kalau tidak, itu terlalu kekananakan.
Sedangkan Moyla memberengut saja. Kemudian berlalu dari sana. Diikuti oleh sopir, untuk membukakan pintu mobil. Cokhi masih berdiri di sana dan menatap mobil tersebut berjalan sampai di luar gerbang. Barulah dia berbalik.
"Saya ingin bicara sama Bapak." Dan kebetulan satu orang yang sejak tadi melihat adegan Cokhi dan Moyla, itu dengan berani mendatangi lelaki itu. Entah apa yang ingin dia sampaikan kepada Cokhi. Melihat jam yang melingkar di tangan kanannya, Cokhi menjawab.
"Lima belas menit lagi di ruangan saya." Kemudian lelaki itu berjalan meninggalkan Delima di sana sendirian. Entah masalah apalagi yang akan Delima bicarakan kepada Cokhi, lelaki itupun sama sekali tak paham. Tapi dia akan tetap mendengarkan.
Delima bahkan terus melihat setiap detik jam yang ada di komputernya seolah dia sudah tidak sabar untuk mengungkapkan semua hal yang ingin dia sampaikan kepada Cokhi.
Lima belas menit berlalu, dan Delima langsung meninggalkan meja kerjanya dan masuk ke dalam lift. Memencet tombol agar lift itu bisa segera mengantarkannya di ruangan Cokhi.
"Saya mau bertemu dengan Pak Cokhi. Saya sudah buat janji dengan beliau." Begitu katanya ketika sudah ada di depan sekertaris Cokhi.
"Silahkan masuk." Kata gadis itu. Delima tak membuang waktunya dan langsung membuka pintu ruangan Cokhi.
"Selamat siang, Pak." Sapanya kepada pemilik ruangan yang sedang duduk di singgasananya sambil mengecek berkas yang menumpuk di mejanya.
"Ya. Silahkan duduk." Ucap Cokhi mempersilahkan. Dan langsung disetujui oleh Delima.
"Saya ingin berbicara dengan Bapak sebagai adik dari Moyla." Tembaknya langsung tanpa memberi kisi-kisi terlebih dulu agar orang di depannya itu merasa penasaran.
"Kalau begitu, kamu seharusnya mengatakannya setelah jam kantor. Bukan sekarang." Bahkan Cokhi masih asyik dengan kegiatannya menatap layar laptopnya. Delima tak lagi bersuara, dan Cokhi akhirnya mengalihkan tatapan lelaki itu pada Delima.
"Katakan. Sudah terlanjur kamu ada di sini, kamu bisa mengatakan semuanya."
Delima menegakkan punggunya, menatap Cokhi tepat di matanya, dan berdehem pelan. Bisa jadi, dia berdehem karena dia merasa benar-benar terpesona dengan Cokhi yang terlihat sangat menawan sekali.
"Moyla adalah seorang pembunuh." Hanya satu kalimat, tapi rahang Cokhi sudah dibuat mengetat mendengarnya.
"Pembunuh?" ulang Cokhi, "Pembunuh nyamuk, atau pembunuh semut?" tanggapannya terdengar biasa, tapi itu adalah suatu hal yang digunakan untuk menutupi kegundahannya.
"Membunuh seseorang." Delima menguatkan ucapannya, "Abang kami yang menjadi korban." Jelas padat dan jelas. Cokhi benar-benar mendengarkan dengan seksama tak lagi menerobos ucapan Delima.
"Itulah alasan kenapa Papa dan Mama bersikap seperti itu kepada Kak Moy. Sejak dulu dia sudah menjadi gadis bengal yang nggak bisa diatur sama sekali." Delima mengatakan dengan penuh semangat. Dia mengunggkapkan apa yang dia ketahui.
Cokhi menatap Delima dengan lurus tanpa melirik seincipun ke arah lain. Melihat ekspresi yang dikeluarkan oleh Delima, hal itu benar-benar terlihat pernah terjadi. Hanya saja dia tak tahu apakah itu adalah sebuah kebenaran, atau hanya dibuat-buat.
"Saya hanya tidak mau jika Bapak kemudian menyalahkan kami karena memperlakukan Kak Moy berbeda."
"Apa masalah yang membuat Moyla melakukan itu? saya rasa, itu sangat mustahil."
"Karena Bapak sudah terlanjur mencintai dia. Karena itu, semua hal buruk yang terjadi dengan Kak moy, akan membuat Bapak sulit untuk percaya." Cokhi menyenderkan punggungnya dengan kasar dan tak mengatakan apapun sampai Delima permisi untuk keluar. Semua ini benar-benar membuatnya sakit kepala.
*.*
Yoelfu 12 August 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Simple
RomanceDia bukan lelaki yang suka berbasa-basi. Apa yang ada di kepala selalu diungkapkan dengan kata. Karena memendam hasil pemikirannya di dalam kepala, tak selamanya baik menurutnya. Dan kisahnya akan di mulai. Seri ke lima dari Kimchi. Dimulai tanggal...
