Moyla tak menyangka orang tuanya datang ke villa tempatnya menginap. Dia bahkan sudah mengusir perasaan sedih yang ditimbulkan oleh mereka. Lalu sekarang, tiba-tiba saja mereka datang saat acara sudah berakhir. Bukankah seharusnya mereka datang saat akad nikah? Bukankah seharusnya pernikahannya disaksikan oleh kedua orang tuanya?
Tiba-tiba saja perasaan buruk Moyla kembali menyerangnya. Haruskah dia memberikan senyumnya kepada mereka yang sudah merampas kebahagiaannya? Ini adalah hari pernikahannya, hari bahagianya. Tapi, kenapa dia harus merasakan kesedihan yang begitu besar mengganjal di dalam hatinya?
"Moy." Cokhi memanggilnya ketika istrinya hanya terdiam dengan tatapan kosong. "Kita duduk?" Cokhi adalah orang yang paling tahu jika istrinya mengalami pergulatan batin yang cukup tinggi.
Lelaki itu menarik tangan istrinya agar mereka duduk dan menyambut 'tamu' yang tiba-tiba datang. Moyla tidak mengatakan apa pun ketika dia duduk. Dia masih linglung. Pikirannya masih bercabang.
"Moyla, maafkan Papa dan Mama yang baru datang. Ada hal yang perlu kami urus. Delima melarang kami untuk datang dan mengatakan akan bunuh diri jika kami nekad untuk melakukannya." Penjelasan itu datang dari ibu Moyla.
Moyla tidak memberikan jawaban apa pun kecuali hanya diam. Tatapannya mengarah pada kedua orang tuanya. Dia masih belum berpikir tentang apa pun karena seperti di dalam hatinya yang terasa penuh, kepalanya juga.
"Mama tahu ini pasti menyakitkan buat kamu. Tapi, Nak, hal-hal seperti ini tidak bisa diprediksi."
Seringaian itu lepas dari bibir Moyla. Delima pasti akan selalu menjadi yang utama dibandingkan dengan dirinya. Dan itu sudah biasa bagi istri Cokhi tersebut.
"Aku tidak pernah mengharapkan kedatangan Mama dan Papa." Suara Moyla terdengar cuek meskipun hatinya seperti dicengkram kuat menimbulkan rasa sesak yang tak berkesudahan. "Aku sudah biasa dengan hal-hal seperti ini sejak dulu. Jadi, aku nggak kaget."
"Kami datang ke sini karena menghormatimu. Jadi jangan mengatakan sesuatu yang tidak berguna seperti itu." Kini ayahnya yang bersuara. Ekspresi lelaki itu tidak berubah. Masih terlihat tidak bersahabat.
"Memangnya aku meminta itu?" tanya Moyla. "Aku sudah tidak lagi berharap apa pun kepada Papa dan Mama setelah semuanya. Aku selama ini di luar tanpa siapa pun. Di saat anak-anak remaja mendapatkan pelukan dari orang tua mereka, aku menggigil sendirian tanpa teman. Di saat mereka bersenang-senang dengan teman-teman mereka, aku berpikir bagaimana aku bisa hidup dengan nyaman. Semua hal buruk sudah aku rasakan. Semua proses kehidupanku tidak ada dari kalian di dalamnya. Sekarang pun sama. Aku sudah memiliki suami. Aku sudah memiliki keluarga baru yang mencintaiku. Aku rasa itu sudah cukup. Kesedihan yang aku rasakan di masa lalu akan terobati seiring jalannya waktu."
Kedua orang tuanya menegang di tempatnya ketika dia mengatakan semua itu. Baginya tidak perlu lagi dia menjaga perasaan siapa pun. Dia bisa sampai di titik ini karena usaha kerasnya. Berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tersungkur dan tersandung, kemudian bangkit kembali dengan sisa-sisa tenaganya.
"Hubungan orang tua dan anak tidak akan bisa terputus begitu saja." Ayah Moyla mengeluarkan suara dengan nada sarkasme. Auranya menguar dingin.
"Aku tidak mengatakan memutuskan hubungan di antara kita. Papa, selama ini siapa yang mendorongku untuk menjauh dari keluarga?"
"Kamu sendiri yang memutuskan untuk pergi dari rumah."
"Itu karena aku sudah tidak tahan dengan perlakuan kalian kepadaku." Moyla mengatakan dengan sarkasme juga. "Kita tidak perlu membahas masalah yang sudah dibahas berkali-kali. Tapi, aku rasa aku perlu mengatakan ini agar Papa dan Mama mengerti. Selama ini kalian masih hidup, tapi aku seperti seseorang yang tidak memiliki keduanya. Ikatan batin di antara kita seperti tidak ada sama sekali. Aku tidak ingin kehilangan kalian, tapi nyatanya kalian yang tidak masalah tanpa aku."
"Moyla, kenapa kamu mengatakan itu?" Air mata ibu Moyla mengalir deras seperti air terjun. Tapi kenyataan yang dirasakan oleh Moyla memang seperti itu.
Cokhi yang sejak tadi di sana hanya mendengarkan saja. Dia merasa belum ingin masuk dalam percakapan mereka karena mereka masih membicarakan masalah keluarga. Tapi genggaman tangannya dengan tangan Moyla sama sekali tak terlepas.
"Lalu aku harus mengatakan apa lagi, Mama?" tanya Moyla. "Katakanlah aku sudah melupakan masa lalu. Kita ambil kejadian tak lama ini. Ketika aku datang ke rumah dan meminta izin untuk menikah. Bahkan Cokhi juga datang ke rumah untuk meminta izin. Bagaimana respon Papa dan Mama? Seolah tidak peduli sama sekali."
Orang tua Moyla tidak bisa mengatakan apa pun setelah itu. Mereka mungkin merasa tertampar dengan ucapan putri mereka yang selama ini disia-siakan.
"Sudahlah. Aku nggak mau melanjutkan permasalahan ini. Aku baru saja menikah dan seharusnya kami sedang menikmati masa-masa indah kami. Mama dan Papa tentu saja memiliki tujuan untuk datang ke sini, kan?"
"Kami ingin menyaksikan kamu di hari bahagia kamu." Ibu Moyla menjawab.
"Aku bahagia sekarang. Aku sudah menemukan seseorang yang akan menjagaku seumur hidupku. Dan aku juga berharap akan segera memiliki anak. Tapi tentu saja aku akan memperlakukan anak-anakku dengan baik. Karena mereka adalah darah dagingku."
Moyla sengaja mengatakan itu dengan lantang seolah dia akan menunjukkan kepada orang tuanya rencana hidupnya. Setelah itu tidak ada lagi yang dikatakan oleh Moyla. Pun dengan kedua orang tuanya. Karena suasana itu begitu canggung, maka orang tua Moyla memutuskan untuk pamit. Moyla sama sekali tidak mengantarkan mereka sampai di depan pintu.
Setelah tidak ada mertuanya, Cokhi bertanya, "Kamu baik-baik saja?"
"Tentu saja." Moyla menutup semua rasa sedihnya dengan senyum. "Apa yang perlu disedihkan? Aku sudah menikah sekarang. Aku punya kamu dan Mama Papa sebagai keluarga. Bukankah itu cukup?"
Mata Moyla tampak merah dan mati-matian dia mencoba untuk tidak meneteskan air matanya sedikitpun. Alih-alih memberikan bujukan kepada istrinya, Cokhi justru ikut ber-akting.
"Kamu benar. Sekarang ada Bang Cokhi yang siap membelamu dalam hal apa pun. Jadi tidak perlu khawatir." Moyla adalah perempuan yang anti lembek. Jadi Cokhi harus mampu mengimbanginya.
"Aku sudah lelah sekarang. Kita tidur sekarang." Moyla berdiri dan menarik tangan Cokhi. Setiap langkah kakinya terasa mengguncang hatinya. Dia sungguh ingin menangis tapi dia tak bisa terus-menerus mengeluarkan air matanya karena keluarganya. Semua sudah berakhir. Kesakitan itu seharusnya tidak ada lagi di dalam hatinya.
Pasangan itu berbaring di atas ranjang. Moyla sama sekali tak merasakan kecanggungan meskipun ini adalah malam pertama mereka.
"Moy, kamu beneran dapat bulan?" tanya Cokhi memecah keheningan.
"Untuk apa aku bercanda masalah begini? Aku bukan remaja usia 17 tahun yang takut malam pertama." Lirikan Moyla membuat Cokhi kesal luar biasa. Lelaki itu membelakangi istrinya dengan bibir yang cemberut. Hal itu membuat Moyla terhibur.
Dia pada akhirnya memeluk Cokhi dari belakang meskipun tidak mengatakan apa pun setelahnya. Namun air mata tak lagi bisa ditahan. Cokhi membelakangi Moyla juga karena dia tahu, istrinya perlu mengeluarkan sesak hatinya. Mereka benar-benar saling melengkapi.
***
Cokhi 💘 Moyla
Yoelfu 14 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Simple
RomanceDia bukan lelaki yang suka berbasa-basi. Apa yang ada di kepala selalu diungkapkan dengan kata. Karena memendam hasil pemikirannya di dalam kepala, tak selamanya baik menurutnya. Dan kisahnya akan di mulai. Seri ke lima dari Kimchi. Dimulai tanggal...