Tak ada yang bisa mengalahkan kuasa orang tua terhadap anaknya. Begitu pun dengan Cokhi. Dia hanyalah kekasihnya, bukan suami Moyla. Untuk saat ini, orang tua Moyla lah yang berhak atas diri gadis itu. Dan Cokhi hanya bisa terdiam ketika melihat Moyla ditarik paksa oleh ayahnya. Diikuti oleh ibu gadis itu, mereka tertelan oleh lift yang akan membawa mereka pergi.
"Bagaimana bisa ada orang yang bisa masuk sembarangan ke apartemen ini?" Cokhi langsung menghubungi satpam untuk bertanya bagaimana bisa orang tua Moyla bisa datang kesana tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Biasa memang seperiti itu kan aturan dalam apartemen jika ada orang yang bukan pemilik salah satu apartemen tersebut.
"Mereka menunjukkan bukti jika Mbak Moy memang keluarganya, Pak." Jawab satpam di seberang sana, "Mereka membawa kartu keluarga asli dan KTP. Kami tidak bisa membantahnya." Sudah dipersiapkan. Itulah yang ada di dalam pemikiran Cokhi sekarang.
Karena kalau hanya sekedar ingin bertemu, mereka tidak mungkin melakukan hal sedetail itu hanya untuk bertemu dengan putrinya secara baik-baik.
Panggilannya sudah diakhiri, dan Cokhi duduk dengan kasar di atas kasurnya. Karena sekali lalgi, apartemennya masih sama seperti semula, yang tidak memiliki perabotan.
"Menyelidiki tentang keluarga Moyla, bukan keputusan yang baik." Gumamnya. "Kalau gue nggak lakuin itu, gue akan terus-terusan terlihat bodoh." Cokhi kembali berdiri dan berjalan kesana-kemari. Bingung dengan apa yang harus dia lakukan dengan masalah ini.
Sedangkan Moyla yang sudah berada di dalam rumah orang tuanya, hanya duduk diam di sofa dengan ayahnya di depannya.
"Perbuatanmu itu benar-benar sangat memalukan." Kata ayah Moyla sambil menatap putrinya dengan tajam. "Apa yang ada di dalam otakmu sampai kamu melakukan dosa besar seperti itu."
"Aku nggak tinggal serumah sama dia. Aku nggak peduli kalau Papa nggak percaya. Memang seperti itu kan Papa, sejak dulu ucapkanku tidak pernah dipercayai."
"Karena kamu memang tidak bisa dipercaya."
Moyla terkekeh namun air matanya keluar begitu saja. "Benar, aku memang tidak pernah bisa dipercaya." Meskipun sakit, tapi Moyla tetap mengatakan itu. "Karena memang Delima yang selalu benar." Lanjutnya.
"Pantas saja Papa langsung bertindak, karena memang aduan Delima itu begitu ampuh. Dia tidak mendapatkan respon dariku ketika meminta Cokhi, dan mengadu kepada Papa agar keinginannya bisa terealisasi. Aku benar kan?" Kebungkaman kedua orang tuanya mengatakan jika apa yang dikatakan oleh Moyla adalah kebenaran.
Moyla tertawa sambil bertepuk tangan. "Hebat sekali memang adikku satu itu." Lanjutnya. Dan sangat kebetulan sekali, Delima turun dari lantai dua dan berdiri di anak tangga terbawah.
"Aku nggak akan melakukan apapun dengan masalah ini, Pa. Silahkan lakukan apa yang ingin Papa lakukan untuk anak kesayangan Papa. Karena tidak ada yang lebih membanggakan daripada bisa memenuhi apa yang putri Papa bilang dan membuatnya bahagia."
Moyla berdiri, "Aku ngantuk sekali. Aku akan beristirahat. Good night, Papa, Mama, Delima -- adikku." Kemudian dia berlalu dari sana dan meninggalkan ruangan tersebut. Melewati Delima tanpa menatap gadis itu.
Hati Moyla hancur. Tapi tentu dia tak akan menunjukkan itu di depan keluarganya. Mereka akan merasa senang kalau sampai itu terjadi. Jadi bersikap tegar adalah hal yang harus dia lakukan sekarang. Tidak ada gunanya dia menangis. Biarlah air mata yang jatuh tadi adalah air mata terakhir yang dia keluarkan untuk keluarganya.
Moyla masuk ke dalam kamar, dan mengunci pintunya. Ponselnya di simpan oleh ayahnya, dan dia tak memiliki apapun lagi selain Tuhan.
"Jangan nangis." Katanya pada dirinya sendiri, "Lo udah bilang lo nggak akan bersedih lagi ketika selesai liburan waktu itu, dan lo nggak boleh mengingkarinya." Tekadnya terlalu besar, bahkan air mata yang akan keluar pun mengering kembali.
"Gue terlalu hebat hanya menyelesaikan masalah seperti ini." Keyakinan dirinya terlalu kuat. Tak ada yang sanggup membuatnya lemah. Begitulah yang tertanam di dalam hatinya.
Pagi harinya, ketika orang-orang sibuk sarapan, Moyla turun karena asisten rumah tangga membangunkannya. Duduk di kursi dengan santai seolah hubungan dengan keluarganya sangat baik-baik saja.
Ibunya tersenyum melihat dia mau sarapan bersama. "Mama buatkan ayam kecap kesukaan kamu. Makan yang banyak ya." Katanya.
Moyla mengangguk, "Terima kasih." Jawabnya. Dan mengambil ayam tersebut tiga potong dan menggigitinya satu per satu. Tanpa nasi.
"Dimana Papa simpan hp ku. Aku mau pakai." Pintanya.
"Kamu nggak perlu hp itu lagi."
"Memangnya Papa yang membelikan hp itu?" sambil mengunyah, mulutnya masih aktif berbicara, "Bukan kan? Jadi Papa tidak ada hak untuk mengambilnya dariku." Diliriknya ayahnya sedikit dan melanjutkan kunyanhannya.
"Saya akan membelikannya yang baru buat kamu. Sama persis seperti itu."
"Aku tahu Papa banyak uang. Tapi aku rasa, aku lebih suka menggunakan barang pembelian dari uang kerja kerasku sendiri. Papa nggak perlu repot-repot melakukan itu." Ayah Moyla diam tanpa terpancing dengan apa yang dikatakan oleh putrinya. Tapi setelahnya, beliau bersuara,
"Kamu sudah lama bebas, saatnya sekarang kamu berada di rumah dan lupakan dunia luar. Jangan sampai kamu membuatku malu dengan tindakanmu."
"Aku?" tunjuknya pada dirinya sendiri. Moyla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Harusnya bukan aku yang Papa khawatirkan membuat keluarga ini malu. Tapi Delima. Bukan begitu, Del?" ditatapnya Delima dengan wajah menyebalkan.
"Kenapa aku?"
"Bukannya kamu bepontensi selalu membuat hubungan kakakmu ini berantakan dengan orang lain? sadis kalau aku bilang kamu akan menjadi pelakor unggulan, tapi aku juga nggak tahu nama apa yang pantas aku berikan ke kamu." Santai, tapi sangat menancap di hati Delima ucapan Moyla tersebut.
Bahkan Delima harus mengeratkan rahangnya karena merasa marah.
"Jaga ucapan Kakak." Katanya dengan nada geram. "Aku nggak pernah membuat hubungan Kakak berantakan dengan orang lain."
"Oh ya!" Lembut sekali Moyla ketika mengatakan itu, "Jadi kejadian beberapa tahun silam, sampai membuat Abang harus meninggalkan keluarga ini, apa namanya?"
"CUKUP!" bantingan sendok itu membahana di dalam ruang makan. Tapi Moyla justru menatap ayahnya mengejek.
"Cih," decaknya. "Kenapa Papa bereaksi berelebihan seperti itu?" katanya, "Papa ternyata masih nggak sanggup menerima kenyataan kalau Delima yang bertanggung jawab atas kematian Abang."
"MOYLA!" Bentakan itu menggaum memenuhi ruangan. Namun sama sekali tak mempan untuk Moyla. Ditatapnya Delima dengan tatapan tajam.
"Semua kesalahanmu, aku yang menanggung. Semua hal burukmu, aku yang terima. Dan kamu masih saja mengganggu kehidupanku. Kalau kamu nggak sanggup menjadi adik yang baik, maka harusnya kamu nggak perlu masuk kembali ke dalam kehidupanku."
Tamparan itu kembali Moyla dapatkan. Wajahnya terlempar ke samping kanan dengan denyut nyeri sampai kepalanya. "Jaga ucapan kamu. Dia adalah adikmu." Ayah Moyla menggeram marah. Delima hanya mematung tanpa bisa mengatakan apapun.
Ibu Moyla memberikan perlindungan penuh kepada putri kesayangannya. Dan pemandangan tersebut membuat Moyla sakit sekali hatinya. Tapi air mata pantang untuk keluar.
"Terima kasih sudah membuktikan semuanya, Pa, Ma." Katanya. Tak ada senyum seperti beberapa waktu lalu. "Sekarang aku tahu, siapa putri kesayangan kalian." Matanya beralih menatap ayahnya dengan sungguh-sungguh.
"Moy!" ibunya memanggil gadis itu tapi sama sekali tak diindahkannya. Dia harus kuat untuk dirinya sendiri. Ini sama sekali tak mudah. Karena lawannya adalah keluarganya. Siapa yang sanggup melawan keluarga. Tapi mau bagaimana lagi, dia tak mungkin terus-terusan diam tak melawan kalau semua hal yang bukan kesalahannya justru dilemparkan kepadanya.
Dia jelas akan berontak.
*.*
Yoelfu 30 Juli 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Simple
RomanceDia bukan lelaki yang suka berbasa-basi. Apa yang ada di kepala selalu diungkapkan dengan kata. Karena memendam hasil pemikirannya di dalam kepala, tak selamanya baik menurutnya. Dan kisahnya akan di mulai. Seri ke lima dari Kimchi. Dimulai tanggal...