Part 48. Panggilan Pagi Hari

923 170 45
                                    

Mobil Cokhi membelah jalanan kota Jakarta. Dua orang yang ada di dalamnya sedang mengobrol ringan entah membahas apapun. Ini benar-benar masih pagi sekali, meskipun tak se- lengang ketika Cokhi tadi berangkat tapi kecepatan mobil Choki benar-benar luar biasa. Itu bertanda, aktifitas kota Jakarta masih benar-benar belum ramai.

Moyla membuka jendela mobil dan melihat keluar, rambutnya berterbangan terbawa angin. Aktifitas di pagi hari sudah terlihat. Penjual sayur yang menggunakan motor, beberapa pasukan kuning yang bertugas membuat lingkungan menjadi bersih, para pekerja berseragam yang melangkah panjang-panjang untuk menunggu bus agar bisa sampai ke kantor tepat waktu, dan masih banyak kegiatan yang lainnya.

Semua terekam di mata Moyla dan membuat secercah senyum terbit. Kesibukan kota ini memang sudah tak bisa diragukan lagi. Semua orang berlomba-lomba mencari nafkah agar bisa menghidupi dirinya dan keluarganya.

"Udah?" pintu mobil kembali tertutup dengan rapat, dan Cokhi yang langsung bertanya.

"Apanya?"

"Menikmati pemandangan kota Jakarta. Itu kan yang kamu lakukan tadi? Bak seorang pengamat yang cerdas dan dermawan." Entah ucapan apa yang sedang lelaki itu katakan. Tapi sama sekali tak berfaedah. Namun Moyla sudah sangat kebal dengan ucapan Cokhi, karena itu dia hanya mendiami lelaki itu.

"Kamu mau tanggung jawab nggak?" justru perempuan itu bertanya sesuatu yang membuat Cokhi berpikiran yang tidak-tidak.

"Kenapa? Anak aku ada di dalam? Kapan buatnya?" Moyla memukul pelan bibir Cokhi dan membuat lelaki itu terkekeh alih-alih marah.

"Aku sekarang lapar karena roti ku sudah masuk semua ke dalam perut kamu."

"Alah, bentar lagi kita makan." Mobil lelaki itu sudah masuk ke dalam perumahan elit Cokhi, dan dalam hitungan detik mereka sampai di pelataran rumah lelaki itu. Cokhi keluar lebih dulu dan disusul oleh Moyla setelahnya. Tak ada adegan si lelaki membukakan pintu untuk si perempuan. Itu terlalu cheesy sekali dan bukan tipe mereka sekali.

Namun meskipun begitu, Cokhi tak akan lupa menggenggam tangan kekasihnya sampai mereka masuk ke dalam rumah orang tua Cokhi. Berjalan beriringan, seolah semesta sedang bertepuk tangan akan bersatunya mereka berdua.

"Assalamualaikun." Mereka berdua berbarengan mengucapkan salam dan langsung menuju dapur. Di sana ibu Cokhi sedang sibuk memasak dibantu oleh Bibi.

"Waalikum salam." Mereka kemudian menjawab dengan serentak dan. Beliau tersenyum untuk menyambut kedatangan Moyla.

"Duduk-duduk, kalian tunggu sebentar, masakan sebentar lagi selesai. Mama panggil Papa dulu." Perempuan paruh baya itu terlihat mirip sekali dengan Cokhi di beberapa bagian wajahnya. Dan Moyla baru menyadari itu. Perpaduan antara ibu dan ayahnya menjadikan Cokhi yang begitu tampan seperti sekarang ini.

Hanya saja, dia tak tahu darimana lelaki itu memiliki sifat kurang warasnya yang selama ini diperlihatkan kepadanya. Untung saja, dia tak bersikap tolol di depan orang banyak, atau mereka akan menggila terutama para gadis. Apalagi jika dia menjadi playboy, maka keyakinan Moyla adalah akan banyak wanita yang bertekuk lutut di hadapan lelaki itu.

"Selamat pagi!" sambutan yang hangat diberikan oleh ayah Cokhi.

"Selamat pagi, Om."

"Pagi-pagi udah diculik sama Cokhi. Jangan marah ya, Moy. Om aja kadang setres melihat tingkah dia." Dan sepertinya perdebatan di pagi hari akan terjadi. Karena Cokhi yang medengus kesal. Namun tak ada kata yang keluar dari dalam mulutnya untuk berbicara. Sepertinya lelaki itu hanya mencoba untuk bersabar.

"Moyla nggak kerja kan?"

"Sebenernya kerja sih, Tante."

"Tapi Tante akan bicara agak lama ya. Nggak papa?"

"Nggak papa Tente, kan saya bukan kerja kantoran. Jadi waktunya bisa disesuaikan." Moyla pun tak paham sebenarnya apa yang sedang ingin perempuan itu bicarakan dengannya. Dia sama sekali tak memiliki bayangan akan hal sekecil apapun tentang permintaan dari perempuan itu untuk datang ke tempatnya.

Setelah mereka selesai sarapan, Moyla merasa sekarang sedang disidang oleh tiga orang yang ada di depannya. Dia pikir, ayah Cokhi akan segera berangkat ke kantor dan tidak akan terlibat dalam pembicaraan pagi ini. Sayangnya perkiraan itu musnah sudah. Nyatanya beliau ikut duduk di sana bersama istri dan anaknya.

"Mungkin sekarang ini, Moyla sedang bingung karena tiba-tiba Tante meminta Cokhi untuk membawa Moyla datang."

Gadis itu mengangguk tanpa sungkan, "Iya, Tante. Saya pikir pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Tante katakan kepada saya." Apa yang ada di dalam pikirannya diungkapkan secara gamblang. Dia tak semunafik itu untuk mengatakan 'tidak' padahal dia merasa penasaran. Dan karakter dia yang blak-blakan itulah yang bisa mengalahkan manusia macam Cokhi.

"Benar. Dan ini tentang kalian. Tentang Moyla dan juga Cokhi. Tentang hubungan kalian, dan tentang keluarga Moyla." Perubahan ekspresi Moyla ketika ibu Cokhi berbicara tentang keluarga, sangat jelas sekali. tapi pertahanannya begitu kuat, sehingga dia masih terlihat sangat tenang. Namun tak ada sedikitpun kata yang keluar dari bibirnya. Bukankah hubungannya dengan keluarganya sangat tidak baik-baik saja? Dan sebenarnya dia ingin menutupnya rapat. Karena bagaimanapun, pertikaian antar anggota keluarga adalah aib. Tapi dia sekarang sedang berhubungan dengan seorang lelaki. Mau tak mau hal itu harus diceritakan.

"Tante semalam bertanya kepada Cokhi tentang hubungan kalian," perempuan paruh baya itu kembali memulai, "Dan Cokhi mengatakan jika dia benar-benar serius kepada Moyla dan bahkan waktu itu sempat heboh di kantor karena Cokhi melamar Moyla dengan cara romantis. Dari hubungan yang sudah terjalin seperti itu, maka pasti akan ada kelanjutannya. Dan ini tentang pernikahan."

Moyla tak sangggup berkata-kata. Hari ini pasti akan terjadi, tapi dia hanya tidak menyangka jika akan secepat ini. "Tante ingin segera datang ke rumah orang tua kamu untuk bersilaturrahmi, sebelum kita akan mengadakan lamaran secara resmi." Kata demi kata yang diucapkan oleh perempuan itu bukanlah hal yang sulit untuk dipahami.

Tapi otak Moyla seolah berhenti tanpa bisa lagi berpikir. Dia diam sedari tadi dan tidak mengatakan apapun. Dia hanya berpikir bagaimana tanggapan dari orang tuanya ketika mereka akan datang ke kediaman mereka dengan membawa orang tua kekasihnya.

Keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka ketika Moyla tak berbicara apapun. Jika orang lain yang melihat keterdiaman Moyla, mereka mungkin beranggapan jika gadis itu enggan mempertemukan orang tua Cokhi dengan orang tuanya, tapi jika Cokhi yang melihatnya tentu itu sangat berbeda. Karena dia tahu apa yang terjadi sebenarnya.

"Kalau kamu memang belum siap, tidak masalah. Kami bisa..."

"Aku bersedia dan aku siap." Begitu keyakinan Moyla, "Kapan Om dan Tante bisa datang kesana?" berat sebenarnya. Tapi keputusan akan tetap diambil. Inilah memang jalan hidup. Tak selamanya dia akan tetap berada pada zona nyamannya dengan terus menghindari keluarganya.

"Kamu serius?" Cokhi masih tidak yakin. Padahal, dialah orang yang sebenarnya sangat bahagia mendengar Moyla yang bersedia untuk pertemuan keluarga.

"Ya. Tentu saja. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku bisa mengatasinya." Moyla adalah perempuan yang tangguh dan Cokhi tahu itu. Maka dia hanya mengangguk, dan kemudian menatap orang tuanya.

"Tentang jadwalnya, terserah Mama dan Papa." Cokhi bersuara. Memberikan keputusan kepada orang tua, akan lebih baik. Dan yang muda yang akan menyesuaikan jadwal mereka. Dan inilah jalan mereka akan dimulai.

*.*

Yoelfu 15 Februari 2021

GES...

LONG TIME NO SEE, YA. Pengen lah cepet selesaiin cerita ini sebenarnya. Tapi terbengkalai semua. Mohon dimaafkan. Yang masih setia dengan Bang Cokhi, sabar ya. Karena saya juga dirundung kesibukan nulis yang lain, makanya ada yang terabaikan.

Kalau kurang puas, juga mohon dimaklumi. 

Salam sayang dari Cokhi. 

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang