Part 51. Terkadang Mudah Dipahami

458 132 15
                                    

Mereka tak memutuskan untuk pulang atau pergi dari sana. Masih di ruang keluarga, Moyla hanya memasang wajah datar tanpa mengatakan apapun dan tanpa merasa perlu menjelaskan apapun. Cokhi kali ini menjadi anak yang baik dan bijak. Tak ada celetukan yang akan memperkeruh suasana, dan dia hanya berusaha diam meskipun mulutnya sepertinya sudah gatal dan ingin segera berbicara. Tak ada yang tahu jika sebenarnya, ibu Cokhi sedang mengamati dua orang itu dari lantai dua rumahnya. Kamarnya memang tak ada di sana, tapi sepertinya di lantai dua adalah tempat ternyaman untuk memantau kondisi di lantai satu.

Ada sebuah pemikiran muncul, jika putranya benar-benar sudah bertekuk lutut dengan seorang perempuan bernama Moyla. Beliau jelas tahu bagaimana tabiat putranya. Cokhi adalah lelaki yang paling pemilih seperti dirinya. Sifat itu diborongnya dari sang ibu dan tak ada rasa iba sedikitpun untuk menolak orang yang tidak disukainya. Namun, sekali dia jatuh cinta, jangankan hanya membeli satu unit apartemen, hal lain pun akan dilakukan.

"Kenapa kamu nggak bicara?" suara Moyla terdengar begitu bening seolah menggaung di dalam ruangan. Ibu Cokhi hanya perlu melihat interaksi lebih lagi dari dua orang yang sedang dimabuk cinta tersebut. Karena selanjutnya, beliau yang akan ikut berjuang untuk duduk dan meminta izin menikahkan mereka berdua di depan orang tua Moyla.

"Memangnya aku udah boleh bicara?"

"Sejak kapan kamu perlu izin ku hanya untuk berbicara."

"Karena sekarang aku sudah lebih paham apa yang harus aku lakukan ketika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku hanya perlu menutup mulut, dan memberikan kamu waktu yang banyak sampai kamu bisa menyelesaikan semuanya."

"Aku baik-baik saja."

"Aku sudah melihat kamu menyembunyikannya. Jadi aku akan berpura-pura nggak tahu apa yang ada di dalam pikiran dan hatimu." Sama-sama bukan orang yang bisa menyembunyikan kalimat sinisnya, mereka berdua seolah terlihat sedang berdebat padahal keduanya sama-sama mencoba saling memahami.

Perdebatan itu cukup membuat ibu Cokhi yang menjadi pengamat di lantai dua melebarkan bibirnya dalam diam. Beliau tersenyum dan mulai tahu jika Moyla sudah sanggup membuat si kepala batu itu jatuh cinta terlalu dalam dan tak lagi bisa berpaling. Entah kenapa, beliau menjadi ingin bertemu dengan adik Moyla yang tadi sempat menjadi pembahasan. Dan, mungkin sebentar lagi beliau akan tahu bagaimana wujud asli dari perempuan tersebut.

Malam akhirnya sudah kembali menjalankan perannya. Moyla sudah kembali ke apartemennya dan masih dengan kesetiaan Cokhi berada di sisinya. Lelaki itu mengatakan jika dia harus tetap berada di samping Moyla untuk memastikan jika perempuan itu tidak terlalu banyak berpikir dan melakukan hal yang tidak-tidak. Atau itu sebenarnya hanyalah alibi saja karena dia sebenarnya memang ingin terus bersama dengan kekasihnya.

"Kamu nggak ada niatan buat pulang?" pengusiran secara halus. Cokhi hanya melirik kemudian kembali lagi memfokuskan matanya pada ponsel yang sedari tadi sedang menyala karena game.

"Kamu ngusir aku?"

"Dari tadi nggak ngapa-ngapain, cuma game terus kerjanya, bikin orang sakit kepala aja."

"Kamu sakit kepala bukan karena aku main game. Tapi karena ada dua kemungkinan. Pertama karena gugup mau ajak orang tuaku ketemu sama orang tua kamu, dan yang kedua karena kamu hamil."

"Hamil kepalamu!"

"Hamil anakku, kamu nggak ingat kita udah pernah ciuman sebanyak belasan kali?"

"Ciuman nggak akan bisa buat aku hamil."

"Ucapanmu itu seolah mengatakan kalau kamu nggak cukup hanya dengan ciuman, dan menginginkan aku segera menghamili kamu." Satu hantaman bantal sofa mengenai wajah Cokhi sampai debu-debu masuk ke dalam hidung lelaki itu dengan dramatis.

"Pulang sana! Omonganmu udah nggak waras!" Cokhi mematikan ponselnya dan menatap Moyla yang terlihat sedang berapi-api karena emosi yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Tatapannya terlalu tajam, dan Cokhi hanya menggelengkan kepalanya melihat itu.

Tangannya menarik tangan Moyla meskipun perempuan itu menolaknya. Menggenggamnya, dan tak membiarkan kekasihnya itu melepaskan. Moyla mengira, Cokhi akan segera berbicara, nyatanya lelaki itu hanya terus saja menatap Moyla lekat seolah dia akan pergi jauh ke dasar bumi. Tiba-tiba saja, Moyla merasa lemah. Cokhi adalah lelaki pertama yang keras kepala dan terus mendekatinya meskipun dia mendorongnya dan mengatakan 'tidak mau' selama berkali-kali. Meskipun pada awalnya mereka sama-sama tak saling mencintai, tapi dia tahu, sekarang rasa cinta itu sudah tumbuh di dalam hatinya. Begitupun juga sebaliknya.

"Hal yang paling tidak ingin aku lakukan sekarang adalah meninggalkanmu. Aku tahu kamu sudah cukup pintar untuk tidak melakukan apapun hal buruk ketika hatimu sedang tidak baik-baik saja, tapi tetap saja aku ingin menjadi orang yang berada di sisimu ketika kamu mengalami krisis kewarasan seperti sekarang. Apa alasanku sekarang sudah bisa dimengerti?" Tapi setelah itu, Cokhi justru berdiri. Menarik tangan Moyla agar perempuan itu juga ikut berdiri di depannya.

Tanpa banyak kata, Cokhi memeluk Moyla dan mengelus punggungnya dengan lembut. Awalnya, Moyla terlihat menegang, tapi setelahnya tidak lagi. Karena dia membalas melingkarkan tangannya di pinggang Cokhi.

"Kalau kamu ingin menangis, maka menangislah."

"Aku nggak mau nangis. Aku, oke." Jawaban sendu itu diberikan oleh Moyla dan Cokhi tak membantahnya. Dia tahu ada saatnya air mata itu perlu dikeluarkan untuk membuat lega suasana hati yang sudah cukup mencekam. Tapi seringnya air mata itu keluar, menandakan betapa lemahnya orang tersebut. Dan Moyla tidak seperti itu. Dia tahu wanitanya adalah perempuan yang kuat.

Mereka bertahan dalam posisi berpelukan hampir lima belas menit ketika Cokhi mengingat tentang sesuatu. Jadi dia melepaskan pelukan tersebut. Menarik tangan Moyla dan keluar dari unit perempuan itu. Moyla sebenarnya bingung dengan apa yang dilakukan oleh kekasihnya, tapi dia berusaha tak banyak tanya dan mencoba untuk menerima saja apa yang dilakukan oleh Cokhi kepadanya. Mereka masuk ke rumah sebelah dan unit kosong terlihat jelas di mata Moyla. Perempuan itu jarang sekali masuk ke dalam sana dan itu bisa dihitung. Tentu berbeda dengan Cokhi yang setiap hari datang ke unitnya.

Melepaskan genggaman tangannya, Cokhi masuk ke dalam kamarnya dan keluar membawa satu box yang Moyla tidak tahu itu apa. Meletakkan di bawah, Cokhi membuka penutupnya, dan seketika Moyla bisa melihat isinya meskipun samar-samar.

"Aku pernah melihat tas ini dan aku rasa kamu suka. Aku lupa kasihkan ke kamu karena aku sibuk dengan urusan kantor." Cokhi sudah duduk di lantai dan tangannya menarik Moyla agar perempuan itu mengikutinya. Cokhi membuka penutup kertas dan Moyla bisa melihat dengan jelas. "Tas dari lelang yang usianya cukup tua. Sekitar lima tahun, dan ini dibuat oleh pengrajin dari Perancis. Dia hanya buat dua yang seperti ini dan yang satunya dihadiahkan untuk putrinya." Barang itu jelas terlihat mewah dan sangat cantik. Moyla bahkan meneguk lidahnya dengan pelan.

"Kamu menebusnya berapa?"

"Hanya seratus lima puluh?"

"Juta?"

"Karena kalau seratus lima puluh ribu, itu hanya cukup beli satu kolor ku." Ekspresi yang ditunjukkan Cokhi bahkan sungguh mengesalkan.

*.*

Yoelfu 6 Agustus 2021  

Mr. SimpleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang