08

63 6 0
                                    

AL-QUR'AN SEBAIK2NYA BACAAN.

Karena saat jatuh cinta,
perasaan berkuasa atas segalanya.

-Arah Pulang-

     Jika bisa mengutuk, aku ingin meniadakan hari Senin. Bukankah begitu bagi sebagian besar pelajar? Padahal dalam Islam, hari Senin adalah hari lahir dan wafatnya Nabi. Hari yang paling di sukai, karena pembuka hari-hari selanjutnya.

Hari pertama setelah libur yang seharusnya menjadi hari paling bersemangat karena energi masih terisi full. Tapi nyatanya tidak. Menjadi hari paling menyebalkan, dimana segala aktivitas kembali di tuntutkan.

Aku membencinya bukan karena hari ini ada upacara. Bukan juga karena fisika dan matematika di satukan untuk mengisi hari Senin yang luar biasa.

Bukan karena itu. Tapi karena Senin telah membuat aku membenci mengingat kalimat yang tidak pernah ingin aku dengar sebelumnya.

"Anak OSIS woy!" aku diam, menatap lalu lalang manusia yang sudah berlarian entah kemana. Aku hanya menghela nafas, sebelum kembali melanjutkan sarapanku di kantin pagi itu.

"Diam di tempat! Jangan ada yang gerak!" aku menatap laki-laki bertubuh jangkung di ujung sana. Namanya Kak Alan, laki-laki yang pernah menolongku saat ribut dengan Kak Fitri dulu.

Namun, sentakkan itu malah membuat siswa yang berada di kantin semakin mengibrit lari. Bahkan mereka mengidahkan suara berat yang menggema di area kantin.

Aku masih menikmati pemandangan itu, tertawa kecil saat para pengurus OSIS mulai mengejar beberapa siswa yang sengaja bolos upacara sepertiku. Saling berkejaran layaknya taman bermain kanak-kanak. Sampai mataku terhenti. Tepat di sebuah retina yang membuat aku diam seketika.

Kali ini aku yang memutuskannya, memilih untuk tetap bersikap tenang dan melanjutkan memakan bubur itu.

"Lo gak kabur kayak yang lain?" aku mendongkak, menatap Kak Alan yang menatapku dengan kedua tangan di lipat.

"Lo gak asing sama muka gue kan? Percuma gue lari, endingnya tetep bakal dapet hukuman kan?" tanyaku tak minat.

Dia mendengus mendengar itu, "Lo udah empat kali gak ikut upacara Ja. Lo langgar kewajiban siswa untuk menghargai bangsa dan negaranya." aku tertawa pelan mendengar kalimat itu.

"Loh, bangsa dan negara gak perlu di hargai dengan upacara bendera. Toh saat upacara para siswanya aja gak khidmat kan? Tetep ada tuh yang ngobrol bahkan membahas asmara yang endingnya masih tanda tanya."

"Upacara tu cuma di jadikan ajang rutinitas setiap Senin Kak. Gak ada feed backnya. Mereka berdiri di sana cuma sebagai simbol rutinitas mingguan. Coba tanya apa maksud dari di adakannya upacara itu? Dan kenapa harus hari Senin, padahal kita merdeka di hari Jum'at." lanjutku.

"Lagian, bangsa kita tu gak perlu rutinitas kayak gitu kalo para pemudanya aja gak tahu tujuan mereka. Negara butuh pemuda yang mengenal ideologinya. Bukan yang berdiri dan hormat pada bendera yang mereka sendiri gak tahu akan maknanya." dia masih menatapku membuat aku mendengus.

"Hukumannya apa?" dia menatap ke arah belakang sebelum kembali menatap ke arahku.

"Kamar mandi seperti biasanya?" dia kembali menatapku tanpa kata membuat aku berdecak. Bahkan aku tidak sadar bahwa sedari tadi, Kak Ghifar memerhatikanku.

"Rooftop." aku mengangguk. Menyempilkan lembaran uang di bawah mangkuk bubur itu sebelum berlalu keluar kantin. Sempat sedikit gugup saat melewati tubuh itu. Tubuh yang masih menatapku dengan tenang. Meski rasanya aku ingin sekali mencabik wajahnya yang anehnya selalu membuat aku terpesona.

***

      Aku melemparkan sapu pada pojok dekat pintu. Menyeka keringatku sambil mengibas-ibaskan wajah dengan telapak tangan. Hari Senin pagi yang begitu indah bukan? Aku dengan rajin membersihkan rooftop ini. Tidak ada yang salah, ini pilihanku. Keputusan untuk menghindar dari Kak Ghifar sejenak, meski semuanya sia-sia karena dia malah hadir di kantin tadi.

"Harusnya perasaan gue tu biasa aja. Harusnya gue tu benci sama dia. Ni hati gue emang gak bisa di ajak normal apa ya?" aku berdecak, merutuki diri sendiri saat masih sadar bahwa perasaan itu masih Kak Ghifar.

"Selama satu bulan ini harusnya gue tu udah nemu gebetan baru gitu. Kenapa ini perasaan gue masih sama atau bahkan malah semakin gede?" aku menendang satu kaleng yang tak sempat aku buang. Melenting pada tembok pagar penghadang menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

"Mana tadi di kantin dia cakep banget lagi. Akh!! Bisa gak si sehari aja dia biasa aja di mata gue? Aaa!!! Kenapa Kak Ghifar cakep banget?!!" teriakku sambil menghentak hentakkan kaki. Sebelum tubuhku menegang dengan suara deheman seseorang.

Aku berbalik, menatap satu pasang mata yang menatapku di depan pintu rooftop sana. Aku menelan ludah, bahkan aku merasa mulutku kelu. Dia mulai menatapku.

Aku berdecak sebelum berniat untuk keluar dari rooftop itu. Naas, dia malah menghalanginya membuat aku mendengus.

"Hauskan?" tangan itu mengulurkan sebotol mineral membuat aku menatapnya tanpa berniat untuk menerima.

Dia diam, kembali menarik botol mineral di tangannya. "Gue mau keluar. Awas!" ucapku ketus. Tangannya masih menahan pintu rooftop agar tidak terbuka.

"Lo-.. Akh!!" aku tidak kuasa untuk mengatakan hal lain karena puncak kesal, kecewa, marah dan rindu itu menyatu.

"Maaf," suara itu rendah, begitu rendah sampai rasanya hampir terbawa angin sepenuhnya. Aku menatap ia yang mulai menatap ke segala arah.

"Ucapan gue ke lo waktu itu cukup buat lo sakit kan?" aku melengos mendengarnya. Haruskah aku jelaskan padanya tentang itu?

"Gak seharusnya gue bilang kayak gitukan?" aku menatapnya. Dia mulai menatap wajahku meski lagi, tak berani menatap bola mata itu.

"Gak salah, bukannya benar gue itu barang bekas?" dia diam.

"Gue gak bisa minta lo buat lupain ucapan itu karena itu emang bakal selalu membekas dalam ingatan yang lo punya. Gue hanya ingin sedikit meringankan beban ingatan itu. Gue minta maaf, benar-benar minta maaf atas ucapan yang gak seharusnya gue lontarkan."

Aku mengangguk, tak ingin terlibat obrolan dengannya kali ini. Memaksa untuk kembali membuka pintu rooftop namun kembali ia tahan.

"Senja?" aku memejamkan mata. Dia tahu bahwa aku selalu kalah saat dia memanggil namaku dengan jelas.

"Gue gak bisa kontrol emosi waktu itu." tanganku yang sedang berusaha membuka pintu terhenti. Menatapnya dengan senyuman sinis.

"Bisanya kalo orang lagi emosi itu ucapannya jujur Kak." dia diam.

"Gue gak tahu harus bersyukur atau gimana. Tapi sialnya gue harus sadar bahwa gue masih cinta sama lo."

"Minggir! Gue mau lewat!" ucapku ketus sebelum kembali memaksa keluar. Kali ini tangannya membiarkan aku menghilang dari pandangannya.

Aku berjalan sedikit cepat, lalu lalang berhamburannya anak-anak setelah upacara bendera masih membuat aku merasa hening di tengah riuh detak jantung yang menggila.

Kadang aku merasa tak waras. Mencintai laki-laki yang bahkan tidak pernah memberikan feed back untukku. Merasa sempurna saat berada di dekatnya di saat mati-matian dia membuat aku tak nyaman.

Boleh aku membuka isi pikiran dan otakku? Mengapa bisa sebodoh itu untuk mencintai laki-laki seangkuh Kak Ghifar? Mengapa bisa sebodoh itu untuk bertahan di tengah tancapan duri yang tajam?

Bukankah ini hal gila?

________________________

📝desyaulia213
📚Kuningan, 20 Desember 2022

Jazakumullah khairan🤍
Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan UTAMA!

Arah Pulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang