26

56 5 0
                                    

AL-QUR'AN SEBAIK2NYA BACAAN.

Karena hal yang paling menakutkan adalah hilangnya keimanan.

- Arah Pulang -

       Aku menatap jam dinding, jarumnya tepat berada di angka enam. Aku menaikkan selimut, menutupi sebagian wajahku. Pikiranku bercabang, kenapa kali ini terasa sangat tak imbang saat shalat subuh itu di tinggalkan. Bahkan aku merasa tidak tenang saat tidak pernah merasakan lagi menunduk di hadapan Tuhan?

Aku memejamkan mata sebelum memutuskan untuk menyenderkan punggungku pada ranjang. Sinar mentari masuk dari sela-sela jendela kamar. Aku beranjak, memutuskan untuk membuka gorden. Menatap dan merasakan hangatnya sapaan dari benda berwarna orange itu.

"Jingga? Sarapan." aku mendengar ketukan lembut itu sebelum orang tadi menghilang lagi.

Aku menuruni tangga, kali ini rambutnya aku ikat secara asal. Di sana sudah ada Mas Faiz dan Kak Keisya yang sedang mengambilkan nasi.

Dia meletakan piring berisikan nasi itu tepat di hadapanku dan Mas Faiz. Matanya tampak sembab, mungkin masih merasakan sesaknya kehilangan Papa. "Kamu gak sekolah lagi hari ini?" tanyanya membuat aku terdiam beberapa saat.

"Nggak." jawabku singkat. Entah, aku tidak tahu kenapa harus berpura-pura sedang berduka saat ini. Karena tidak ada aktivitas apapun. Juga tidak sedang menangis dan merenungi diri tentang di panggil-Nya Papa.

“Hanya tiga hari ini. Kakak gak mau kamu terus-terusan bolos." ucapnya. Dia memilih untuk pergi lagi ke dapur.

"Kak Kei gak makan?" tanyaku membuat langkah itu terhenti, ada jeda sebelum ia membalikan diri dan menatapku sambil tersenyum.

"Nanti, ada pekerjaan lain yang belum selesai." Katanya. Aku mengangguk, menatap kembali Mas Faiz yang tengah lahap menikmati masakan itu.

"Makan yang banyak Senja." katanya, tapi tidak aku timpali.

"Ada banyak tugas dan urusan yang belum di selesaikan di dunia ini. Hidup akan terus berjalan. Dan manusia akan selalu datang dan pergi karena begitulah perputarannya." aku mengangguk, memilih untuk tidak menyentuh piring yang berisikan nasi itu.

"Mas berangkat dulu," katanya sambil mengusap pelan kepalaku. Aku diam, pikiranku benar-benar bercabang kali ini. Sebelum aku menatap Kak Keisya yang keluar dapur, berjalan ke ruang tamu dan menatap punggung laki-lakinya itu menghilang.

"Kenapa belum di makan Jingga?" tanyanya membuat aku menarik tangan itu, memaksanya agar terduduk tepat di sampingku. Aku mengambilkannya piring, bahkan membantu menuangkan nasi dan lauk pauknya.

"Itu kebanyakan." komentarnya membuat aku terkekeh kecil. "Biar gendut." dia mendengus mendengar jawabanku.

"Kenapa harus nunggu Kakak?" katanya sambil menyendok makanan.

"Mana bisa gue enak makan, sedangkan cacing di dalam perut lo demonya kedenger sampe sini." dia tertawa kecil mendengar itu. Dia menatapku, tangannya beralih mengusap pipiku.

"Kakak cuma punya kamu di dunia ini Ga." katanya sempat membuat aku terdiam.

"Tolong selalu jadi alasan kenapa Kakak harus tinggal lebih lama di sini." mataku memanas. Aku memutuskan untuk beranjak dan memeluk tubuhnya dari belakang.

Arah Pulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang