21

74 7 0
                                    

AL-QUR'AN SEBAIK2NYA BACAAN.

Tidak semua hal harus tumbuh dan berkembang di waktu yang sama.
Temukan suksesmu di jalan yang berbeda.

- Arah Pulang -

      Aku menatap kakak perempuan ku itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tampak begitu anggun dengan balutan kebaya putihnya. Wanita yang dulu terpaksa harus menjadi sosok ibu di usia kecilnya. Yang harus mengubur ego untuk bermain hanya untuk menjagaku. Kini sudah berada di genggaman laki-laki yang tepat, ya semoga.

Aku menatap tautan genggaman yang menghangatkan perasaanku. Aku berharap Kak Keisya akan bahagia, selalu. Aku bahkan harus merenggut waktunya dengan Papa karena rasa traumaku dulu. Dia memilih untuk tumbuh dan berkembang di sampingku.

"Jingga?" Dia memanggilku agar mendekat, aku mengusap mata yang sudah siap mengeluarkan airnya.

"Jangan nangis." aku terkekeh pelan mendengar itu. Tangannya menarik tubuhku ke dalam dekapan itu. Dekapan yang selalu menghangatkan dan menenangkan.

"Gue bahagia lihat Kak Kei bahagia." dia tersenyum tipis sebelum melemparkan tatapannya pada Mas Faris.

"Cantik," puji Kak Keisya. Dia mengusap pipiku sebelum menciumnya lembut.

"Ah, tetap aja Kak Kei pemenangnya." gurauku membuat dia tertawa kecil.

"Gue ke bawah dulu ya?" aku meminta izin untuk turun dari pelaminan itu.

"Mau kemana? Sebentar lagi mau foto keluarga Ga," aku terdiam menatapnya dengan senyuman tipis.

"Keluarga yang mana?" tanyaku membuat dia terdiam. Tangannya masih menahan lenganku, sampai beberapa orang yang di maksud 'keluarga' oleh Kak Keisya itu naik.

Aku menatap tajam salah satunya. "Jingga, plis." aku menggeleng tegas. Melepaskan cekalannya dari lenganku.

"Kak Jingga!" sial, bocah itu langsung memelukku membuat aku mendecak tak suka. Aku mendorong sedikit tubuhnya, hingga membentur lutut seseorang.

"Senang bertemu dengan kamu Jingga." aku berdecih mendengar itu. Melangkah untuk turun sebelum suara orang itu kembali lagi.

"Bunda saja yang turun. Bunda tahu kamu merasa keberatan. Tolong jangan menghindar kali ini, ini keluarga kamu." aku tak membalas ucapannya.

"Jingga, demi Kakak kamu Bunda mohon." aku memejamkan mata sebelum menatap ia dengan mata tajam yang memerah.

"Berhenti seolah lo orang baik di sini! Dan berhenti memaksa gue untuk manggil lo dengan sebutan Bunda! Lo gak pantes di sebut itu!" bentakku. Beberapa tamu mulai menatap drama keluarga ini.

"Jingga!" suara Papa memberat tanda ia tidak suka dengan ucapanku.

"Asal lo tahu, lo yang menghancurkan keluarga yang udah Mama bangun. Jadi, jangan berusaha untuk terlihat baik di depan gue." aku mencoba untuk turun sebelum tangannya menahan lenganku.

"Maaf, Bunda masuk di dalam keluarga kalian." ucapnya. “Tapi tolong, kali ini ikut berfoto. Bunda yang akan turun." aku menghempaskan tangannya sedikit kasar. Berlalu untuk menuruni anak tangga pelaminan itu.

"Jingga-" satu lengan mencegah agar orang itu tidak membujukku lagi.

"Biarkan. Dia yang merusak keluarganya sendiri." aku masih mendengarnya. Jelas sekali. Aku tersenyum tipis sebelum benar-benar berlalu dari sana.

***

      Aku mengambil sebuah gelas, tanganku bahkan bergetar saat ucapan Papa kembali teringat. Aku tertawa pelan mentertawakan kehidupanku sendiri. Sebelum telingaku salah fokus dengan obrolan seseorang.

Arah Pulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang