29

70 6 4
                                    

Al-QUR'AN SEBAIK2NYA BACAAN.

Harusnya aku bahagia,
tapi lupa karena kamu selalu menyelipkan tangis di sana.

- Arah Pulang -

      Hariku berjalan seperti biasanya, karena memang harus berjalan seperti itukan? Ini tepat dua bulan aku tidak tahu kabar Kak Ghifar. Bahkan aku tidak di beri izin untuk sekadar mencari informasi.

Kami sudah duduk di bangku kelas sebelas. Aku dan Bela berada di kelas IPS sedangkan Ana, Zaki dan Raka masuk di kelas MIPA.

Persahabatan kami tetap baik, sedangkan imanku masih naik turun. Aku bahkan masih berusaha tertatih untuk bisa beribadah, meski dalam lima waktu itu selalu ada yang aku lewatkan.

"Bakso?" aku mendongkak, menatap Raka yang baru menyodorkan piring yang berisi tusukan bakso bakar.

Tanggal merah yang berada tepat di hari Jum'at akan menjadi surga dunia untuk para siswa. Karena libur akan terjadi tiga hari berturut-turut. Maka dari itu, kami memutuskan untuk berlibur di puncak. Di vila milik Bela.

"Jangan bengong Bun, bisa kemasukan." ujarnya membuat aku menipiskan senyuman. Dia mengambil alih tempat di sampingku, bahkan sampai saat ini aku belum bisa untuk sedikit menjaga jarak dengannya.

"Lo bakar sendiri?" tanyaku sambil mengambil satu tusuk bakso itu membuat dia mengangguk pelan. Aku mulai memakannya sambil menikmati pemandangan.

"Lo ada masalah?" kunyahanku terhenti, sempat terdiam beberapa saat sebelum menatap Raka dengan gelengan pelan.

Dia menghela nafas melihat itu, "Gue senang kalo lo mau berbagi masalah itu dengan gue Bun." katanya membuat aku terkekeh kecil.

"Gue emang lagi gak ada masalah Ka." balasku dusta. Aku bahkan masih merekam jelas percakapan dengan Kak Ghifar tempo itu.

"Lo suka hutan atau laut?" katanya membuat aku meluruskan kaki. Kali ini kami sedang terduduk di atas rerumputan depan vila.

"Sebenarnya dimana pun itu, kalo kita di sana dengan orang yang kita suka. Gue rasa gak ada pilihan." dia mengangguk meresponnya.

"Lo lebih pendiem sekarang." dia berkomentar membuat aku tertawa pelan, meskipun mungkin sangat kentara tawa itu aku paksakan.

"Bun," tubuhku teraentak, Raka mengambil alih tanganku ke dalam genggamannya. "Gue harap lo bener lagi baik-baik aja." katanya sambil mempererat genggaman itu.

Aku tersenyum tipis, mencoba melepaskan genggamannya dengan berpura-pura akan kembali mengambil tusukan basko. Agar tidak ada alasan lagi untuk terlalu dekat dengannya.

Kak Ghifar benar, bagaimana mungkin aku menyamaratakan pertemanan antara perempuan dan laki-laki jika menatap dia berbicara dengan perempuan lain pun aku cemburu hebat.

'Dia mau jadi yang pertama untuk menggenggam tangan lo Bun.' ucapan Ana waktu itu terngiang di telingaku.

Aku beranjak, menatap Raka yang masih menatapku saat itu. "Ayok masuk, udah mau gelap." ucapku mendahului. Saat itu ia ikut beranjak, merangkul bahuku membuat aku tersenyum canggung.

Arah Pulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang