AL-QUR'AN SEBAIK2NYA BACAAN.
Apakah kalian mengira tidak akan di uji, setelah mengatakan 'Aku telah beriman'?
- Arah Pulang -
Aku bertekuk, menatap wajah pucatnya yang sudah di balut kain putih. Aku menatap wajahnya yang terpejam damai menyambut pertemuan dengan Tuhan yang selalu ia percaya.
Aku menyentuh wajahnya, memaksakan sebuah senyuman terakhir meski aku tahu ia tidak melihat itu. “Papa?" ucapku lirih. Ini akan menjadi ucapan pertama dan mungkin terakhir aku memanggilnya dengan sebutan itu setelah kepergian Mama.
Aku berdiri, memundurkan tubuh. Menatap langit yang masih bersedih, entah sama menangisi pulangnya sosok Papa atau malah merayakan kedatangannya di pelukan Tuhan.
Aku memejamkan mata, dadaku terhantam dengan kuat. Meski tangis itu sudah kering, lukanya masih terasa baru. "Apa Papa gak akan bangun lagi Kak?" aku menatap anak kecil itu, memeluk mobil-mobilan yang aku pastikan dari Papa.
"Papa gak bisa temani Fajar main lagi? Nanti siapa yang antar Fajar ke sekolah? Siapa yang bakal marahin Fajar kalo main lumpur? Siapa yang bakal ajak Fajar makan es krim sore-sore?" aku diam. Menatap bola mata kecilnya yang berair.
"Apa Kakak minta Papa buat pergi?" tanyanya membuat aku mengigit bibir. Seseorang menyentuh bahuku, tangannya terulur untuk mengelus kepalaku.
"Semua yang ada di bumi, akan kembali pada-Nya." ucapnya tidak aku balas.
"Dimana Kak Keisya, Mas?" dia menurunkan tangannya dari kepalaku. Matanya melirik ke arah Kak Keisya yang sedang menyambut tamu dengan senyuman tipis.
Bukan tegar, aku tahu serapuh apa dia kali ini. Dia hanya ingin memuliakan tamu dan tidak menambah kesedihan di sana. Dia hanya ingin mengantarkan Papa di peristirahatan terakhirnya dengan ikhlas.
Ah, aku ingin tertawa saat ini. Mengapa dia tidak memberitahu dunia saja bahwa dia sangat tak berdaya kali ini? "Dia baik-baik aja Ja." aku menatap Mas Faiz dengan satu alis terangkat.
Dia mengalihkan tatapan itu, sebelum berkata "Dia kuat Ja." aku menggelengkan kepalaku tak habis pikir, harusnya sebagai seseorang yang telah menghabiskan hampir enam bulan bersamanya, dia paham. Tentang arti tipisnya senyuman itu atau sendunya mata Kak Keisya memandang.
***
Mataku tidak bisa terpejam, aku menatap jam dinding yang jarumnya sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku ikut terhanyut di irama detik yang terus berputar di poros itu, hanya mengitari angka satu sampai dua belas entah sampai kapan. Mungkin sampai baterainya habis, lalu kembali lagi berjalan seperti itu.
Aku menatap bintang dari jendela yang sengaja aku bukakan. Membiarkan dinginnya kota Jakarta menusuk kulitku hingga tulang. Sampai aku tersentak dengan suara dering panggilan masuk dari handphone-ku.
Aku menatap nama yang tertera sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilannya. Hening, satu menit berjalan namun tidak ada yang ia lontarkan.
"Semua baik-baik aja?" tanyanya membuat aku menipiskan senyuman. "Bukankah memang harus baik-baik aja?" balasku. Terdengar suara deru nafas dari sana.
"Semuanya berat gue tahu," ucapnya membuat aku kembali menipiskan senyuman, meski tahu dia tidak akan melihat itu.
"Langitnya indah Senja." ucapnya membuat aku kembali menatap langit. "Ya, sangat indah."
"Kayaknya Tuhan menyambut kedatangan Papa lo dengan begitu indah." aku diam.
"Gue ngantuk Kak." ucapku, tidak ada balasan dari sana. "Gue tutup ya?" aku menutup panggilan itu sepihak, tanpa mendengar persetujuannya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah Pulang [END]
Romance"Kak Ghifar! Suka cewek yang kayak gimana?" "Taat sama Tuhan." "Mau memantaskan boleh?" Dialog yang membuat aku ingin sekali tenggelam di dasar samudra. Dialog awal yang membuka cerita baru dengan ending yang ternyata kembali menguras pilu. Ya, ka...