👑👑👑
Para pelayan sibuk mempersiapkan pesta minum teh dadakan ini. Kue kering, roti, coklat dan teko teh berbaris rapi di atas meja. Aku dan ratu duduk berhadapan di belakang meja bundar. Ratu menyeruput tehnya dengan anggun. Sementara, aku hanya bisa diam mematung dengan kepala tertunduk.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan pada ratu untuk memulai percakapan. Karena sedari kecil, aku tidak terlalu akrab dengannya. Lebih tepatnya, aku selalu berusaha sebaik mungkin untuk menghindari ratu.
Semua itu terjadi karena para pelayan suka membandingkan aku dengan ratu secara diam-diam. Para bangsawan yang melihat perbedaanku dan ratu ketika pesta kedewasaan Alaric dan si kembar juga ikut membandingkan. Pada akhirnya, ada rumor yang mengatakan jika aku tidak bisa bersikap seperti ratu.
Di kehidupan pertamaku, aku adalah anak tunggal. Ibuku jarang pulang ke rumah. Dan, aku juga lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku sama sekali tidak pernah mendengar diriku dibandingkan dengan orang lain. Ah, mungkin aku hanya belum mendengar karena selalu berdiam diri di kamar. Andaikan aku mau menginjakkan kaki keluar rumah, aku akan mendengar tetanggaku membandingkanku dengan anak-anak mereka. Tentang betapa buruknya aku. Betapa pemalasnya aku. Betapa mereka tahu akan masa depanku yang suram. Padahal, mereka bahkan tidak tahu rupa wajahku. Tapi, mereka bersikap seolah mereka lebih tahu tentang diriku.
Aku... benci sekali dengan orang-orang yang seperti itu.
Apa ratu mengajakku minum teh juga untuk membandingkanku dengan kelima pangeran? Aku tahu kalau aku tidak secerdas Alaric. Atau sehebat si kembar dalam menggunakan pedang. Aku juga tidak sefasih Dimitri soal kemampuan berbahasa. Dan, aku juga tidak seberbakat Euclid yang bisa melakukan banyak hal. Selama ini, yang aku lakukan hanyalah bolos kelas dan bermalas-malasan.
Apa aku juga harus jadi sehebat kelima kakakku? Apa aku harus seanggun ibuku? Apa aku tidak bisa jadi diriku sendiri?
"Ristel...." ucap ratu dengan suaranya yang lembut.
Aku mengangkat kepalaku. Ah, ternyata manik mataku sama dengan milik ratu. Kilauan dan warnanya benar-benar sama. Dan, aku baru menyadarinya setelah sekian lama.
"Iya, Yang Mulia Ratu?"
Aku tahu kalau seharusnya aku memanggil ratu dengan sebutan 'Ibu'. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak terlalu dekat dengan ratu untuk memanggilnya Ibu. Untuk kaum bangsawan, hal seperti ini kan sudah biasa. Jadi, aku rasa ratu pasti bisa menerimanya.
Aku memberanikan diri untuk melihat ekspresi apa yang ada di wajah ratu.
Deg!
Kenapa ratu terlihat seperti terkejut begitu? Wajahnya menunjukkan kalau baru saja terjadi wabah virus yang menewaskan jutaan orang.
"Ristel! Saat di depan Ristel, ibu adalah ibu. Bukan Yang Mulia Ratu atau pun Permaisuri!" Kata Ratu sembari memasukkan beberapa kotak gula ke dalam cangkir tehku.
Lihat! Memasukkan gula saja bisa seanggun itu. Beda sekali kalau aku yang melakukannya. Setengah dari teh itu pasti sudah berserakan dimana-mana.
Apa jiwaku salah masuk tubuh, ya? Kalau dilihat, tubuh ini memang seperti tuan putri. Cantik dan juga manis. Tapi, tetap saja, jiwa yang ada di dalamnya ini adalah rakyat jelata. Darah biru dan darah rendah jelas bukan hal yang bisa bersatu.
Eh?! Apa ratu baru saja bilang ibu? Aku pikir dia tidak suka dipanggil begitu karena kami tidak terlalu dekat.
Aku menatap ratu tak percaya.
"Haha, ibu tahu apa yang Ristel pikirkan! Ristel, mau dekat atau tidak seorang ibu dengan putrinya, itu tidak akan mengubah apapun. Ristel tetaplah putri ibu."
Aku tahu itu. Tapi, tetap saja. Aku takut untuk terlalu dekat dengan ratu. Aku tidak mau mendengar orang lain membandingkanku lagi. Itu terdengar sangat menyakitkan.
Ratu mengangkat daguku lembut.
"Kenapa Ristel selalu menghindari ibu?"
Entah mengapa aku merasakan kesedihan dan kesengsaraan dalam nada suara ratu.
Apa aku harus menjawab pertanyaan ratu dengan jujur? Tapi, memangnya aku sanggup mengatakannya? Tidak! Apapun yang terjadi, aku harus tetap jujur. Aku tidak mau membuat ratu salah paham padaku. Jika ada orang yang terus menghindari kita tanpa alasan yang jelas. Maka, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, kita membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Dan, kedua, orang itu membenci kita.
Aku rasa, ratu percaya pada kedua alasan itu. Dia percaya kalau dia melakukan kesalahan besar padaku. Saking besarnya, sampai aku tidak bisa memaafkan dan jadi membencinya.
"Itu.... orang-orang selalu membandingkan Ristel dan ibu. Jadi, Ristel tidak mau terlalu dekat dengan ibu. Karena, semakin Ristel dekat dengan ibu, semakin orang-orang akan membandingkan." Kataku dengan kepala menunduk.
Aku sudah mengatakan yang sejujurnya. Tidak masalah jika ratu marah atau membenciku. Aku memang pantas menerimanya. Lagipula, itu semua bukan salah ratu. Jadi, tidak seharusnya aku melakukan hal sekejam itu padanya. Ratu pasti sedih karena putri semata wayangnya malah menghindari dirinya.
Ratu berdiri. Lantas berjalan mendekatiku. Aku refleks menutup kedua mataku. Takut jika ratu tiba-tiba menampar atau memukulku.
Mau aku adalah sumber kekuatan kekaisaran, status ratu tetap lebih tinggi dariku. Jadi, aku tidak bisa melakukan apapun jika seandainya ratu memukulku. Karena, itu adalah haknya.
"Ristel....."
Aku terbelalak ketika ratu memelukku. Aku bisa merasakan punggungku basah. Apa ratu menangis? Ah, tanaman di sekitar kami berubah jadi biru. Apa ratu sesedih itu? Padahal, dia sudah bisa mengendalikan kekuatan dan perasaannya dengan sangat baik. Apa aku membuat ratu kembali goyah?
"Ristel tidak perlu jadi seperti ibu. Ristel adalah Ristel."
Aku mendengarkan ucapan ratu. Suaranya terdengar parau.
"Bukan salah Ristel jika Ristel tidak jadi seperti apa yang mereka pikirkan. Salah mereka karena memberikan ekspektasi pada Ristel."
Benar! Ratu benar! Kenapa mereka menyalahkanku karena aku tidak sesuai ekspektasi mereka? Bukan aku yang meminta mereka berekspektasi terlalu tinggi padaku.
"Ibu senang melihat Ristel berlari dari kejaran Tuan Llord. Ibu senang melihat Ristel memanjat pohon. Ibu senang melihat Ristel berenang di kubangan lumpur. Sungguh! Ibu sangat senang melihat Ristel tersenyum dengan bahagia."
Ratu mempererat pelukannya. Aku balas memeluknya.
Aku tidak tahu kalau selama ini ratu diam-diam memperhatikanku. Ah, aku lupa. Spirit ratu kan bisa membuatnya bicara dengan tanaman. Sahabat hijau ratu itu pasti menceritakan semua yang aku lakukan pada ratu. Ah, aku jadi merasa semakin bersalah.
"Jadilah diri Ristel sendiri! Jangan hidup dalam ekspektasi orang lain!"
Air mataku menetes. Aku menangis dengan kencang. Aku sudah menanggung semua masalah ini begitu lama. Padahal, jawaban yang aku butuhkan begitu mudah. Aku hanya harus mengatakan yang sejujurnya. Tapi, kenapa perlu waktu lama untuk melakukannya?
"Maafkan Ristel karena sudah menghindari ibu!"
Kaisar dan kelima pangeran yang melihat pemandangan itu dari jauh tersenyum.
Dinding yang berusaha aku bangun di antara ratu akhirnya runtuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Princess✔ [Sequel BOTP]
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan - END] Aku hanyalah siswi sma biasa yang menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan. Aku mati karena terpeleset kulit pisang. Dan, ketika aku bangun, 7 orang aneh melihat ke arahku. Kalian siapa?!?! Aku dimana?!?! Bayi!!! A...