Mata itu terbuka secara sempurna, hal pertama yang dilihatnya ketika sadar adalah sosok lelaki yang sedang menatap dengan wajah penuh ketakutan dan kekhawatiran.
Ruby memegang dadanya yang berdetak kencang seperti habis lari maraton. Wajah pucat disertai keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhnya. Ruby melirik ke sekeliling, ternyata tempat ini adalah kamarnya.
Meski sempat kebingungan, Ruby memilih bangkit secara perlahan, Langit yang melihat itu dengan sigap membantu Ruby untuk duduk. Langit mengambilkan air di atas meja, menyuruh Ruby meminumnya berharap agar gadis itu tampak lebih tenang.
"Gue kenapa?" ujarnya terlihat linglung.
"Seharusnya gue yang nanya kayak gitu. Lo kenapa? Sakit? Lo nyembunyiin sesuatu, ya, dari gue?"
Ruby menggeleng, memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. "Gue gak papa, cuma mimpi buruk."
"Lo hampir bukan kayak orang lagi tidur, By," sahut Langit. Ia tau, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi.
"Gue panggilin dokter, ya? Biar lo diperiksa," ujarnya.
Lagi-lagi Ruby menggeleng. "Gue gak papa, gak usah lebay."
"Lebay? Lo gak tau tadi gue panik setengah mati? Dan lo bilang itu lebay? Gue cuma takut lo kenapa-napa, itu aja!" Langit mulai terlihat tegas.
"Gue cuma mimpi buruk, Langit. Gak kenapa-kenapa! Lagian lo liat, kan, sekarang gue baik-baik aja. Tadi itu cuma efek kecapean aja," sahut Ruby berusaha meyakinkan.
"Mimpi buruk? Gimana gue bisa yakin kalau itu cuma mimpi buruk? Akhir-akhir ini lo aneh, lo sering bilang bisa liat hantu, gue jug hampir setiap hari pernah ngeliat lo ngelamun dan gak seceria dulu, muka lo juga seringnya kelihatan pucat. Gue takut lo punya masalah yang gak bisa lo ungkapin. Gue pengen ngajak lo ke psikiater buat meriksa, tapi pasti lo gak bakal mau," ungkap Langit.
"Gue gak papa, sumpah! Gue gak punya masalah terberat dalam hidup, kecuali kehabisan duit. Itu satu-satunya masalah terberat yang gak bisa disembuhin meskipun ke psikiater sekalipun. Tapi lo liat, kan, sekarang gue punya duit? Gue gak papa."
Langit menghela nafas panjang, merasa tertekan menghadapi sifat keras kepala gadis itu. "Gue cuma mau lo terbuka sama gue."
"Apanya yang terbuka?" tanya Ruby dengan tampang polosnya.
"Ahh! Maksud gue, terbuka. Semua masalah jangan di pendam sendiri. Lo punya gue, bunda, ayah. Jangan mikirin masalah lo sendiri, banyak orang yang sayang sama lo terutama gue, gue selalu ada di sisi lo buat melindungi adik kecil gue," jawab Langit mengusap lembut surai panjang adiknya.
Ruby manggut-manggut mendengar penjelasan Langit. Bagaimana dia ingin menceritakan masalahnya kepada orang lain, itu sama saja membongkar rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang. Jika mereka tau dia bukan Ara, bisa-bisa nanti Ruby diusir dari rumah dan jadi gembel selamanya.
"Pokoknya lo gak usah khawatir. Gue bisa mengatasi masalah gue sendiri," ucapnya.
Langit menatap Ruby tak biasa. Gue tau, Ruby. Gue udah tau semuanya tanpa lo kasih tau. Gue cuma pengen kita semakin dekat, gue pengen jadi seseorang yang berarti di hidup lo.
***
Langit memanggil Ruby sedikit berteriak agar gadis bandel itu bisa mendengar ucapannya. Baru saja sembuh dari sakit gadis itu sudah lari-larian. Padahal Langit sudah melarang Ruby bersekolah hari ini, namun yang namanya Ruby, siapapun tak ada yang bisa mengaturnya kecuali atas kemauannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Gadis Gila [END]
Teen FictionBELUM DIREVISI!! Bagaimana jadinya jika seorang gadis yang memiliki sifat bandel, bar-bar, suka membuat onar, dan sedikit tidak waras mengalami transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di dalam novel yang baru saja ia baca sebelum meninggal? Sudah ka...